kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.504.000   5.000   0,33%
  • USD/IDR 15.935   0,00   0,00%
  • IDX 7.246   -68,22   -0,93%
  • KOMPAS100 1.110   -11,46   -1,02%
  • LQ45 880   -11,76   -1,32%
  • ISSI 222   -0,92   -0,41%
  • IDX30 452   -6,77   -1,48%
  • IDXHIDIV20 545   -7,80   -1,41%
  • IDX80 127   -1,32   -1,03%
  • IDXV30 136   -1,06   -0,77%
  • IDXQ30 150   -2,29   -1,50%

Pilih bisnis fesyen karena mengikuti jejak ibu (1)


Rabu, 19 Juni 2013 / 08:01 WIB
Pilih bisnis fesyen karena mengikuti jejak ibu (1)
ILUSTRASI. Karyawan melintas dengan latar layar pergerakan indeks harga saham gabungan (IHSG) di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI). TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN


Reporter: Revi Yohana | Editor: Havid Vebri

Bagi Shintamie Suryaputri, bisnis fesyen sudah tak asing lagi. Kebetulan, sang ibu merupakan seorang pengusaha fesyen yang memproduksi tas kulit sejak tahun 1976.

Ia mengaku, sejak kecil, terbiasa melihat segala aktivitas ibunya dalam menggeluti bisnis tersebut. "Terus terang saya banyak belajar dari ibu," kata wanita kelahiran 1985 ini.

Kendati ibunya pengusaha fesyen, bisnis yang digeluti Shintamie bukan warisan sang ibu. Soalnya, ibunya sudah menghentikan produksi tas kulit sejak 2002. "Ibu saya memilih fokus membesarkan perhiasan perak," katanya.

Kendati ibunya tidak produksi tas kulit lagi, Shintamie meyakini bisnis ini masih memiliki peluang yang bagus untuk digeluti. Itulah sebabnya, saat masih duduk di bangku kuliah, ia memikirkan untuk menggarap bisnis yang pernah digeluti ibunya itu.

"Kebetulan kakak saya waktu itu baru kembali dari Australia dan ingin berbisnis," jelas Shinta. Setelah mencari dan mempertimbangkan bisnis apa yang ingin digeluti, Shinta bersama sang kakak, Amie Dewi Amie memutuskan untuk memproduksi aneka produk fesyen berbahan kulit.

Kakak beradik ini kemudian mulai merintis usaha tahun 2007 dengan mendirikan AS Java Leather. Shinta mengaku, beruntung banyak mendapat ilmu dari sang ibu seputar seluk beluk bisnis ini. 

Namun, bukan berarti mudah baginya untuk bisa menembus pasar yang telah lama ditinggalkan. Syukurnya, ia tak perlu merogoh kocek terlalu besar buat modal usaha.

Untuk permesinan, misalnya, tak perlu beli lagi karena ada peninggalan ibunya. Sementara kegiatan produksi dilakukan di rumah, sehingga tak perlu menyewa tempat. "Modal awal saya tak lebih dari Rp 50 juta," ujar Shinta yang berdomisili di Yogyakarta ini. 

Uang sebesar itu didapat dari hasil patungan Shinta dan Amie. Kebanyakan modal dipakai buat membeli bahan baku kulit, seperti kulit kambing, kulit sapi dan kulit ular.

Ia memperoleh bahan baku kulit dari sejumlah daerah di Pulau Jawa. Awal merintis usaha, Shinta mempekerjakan sebanyak tujuh karyawan.  Di luar itu, ada juga karyawan tidak tetap berjumlah 20 orang. Mereka ini bekerja di rumah masing-masing. "Seluruh bahan saya disediakan," ujar Shinta. 

Setelah enam tahun berselang, bisnisnya terus berkembang. Jumlah karyawannya pun terus bertambah. Jumlah karyawannya pun terus bertambah. Untuk karyawan tetap ada 15 orang dan karyawan tidak tetap 40 orang.

Dengan jumlah karyawan tersebut, ia mampu memproduksi 500 - 1.000 pieces per bulan, dengan harga jual mulai Rp 100.000 - Rp 3 juta per produk. Produk fesyen yang dihasilkan juga kian beragam, seperti dompet, ikat pinggang, dan tas. 

Di dalam negeri, aneka produk fesyen itu telah merambah sejumlah kota, seperti Yogyakarta, Jakarta, dan Bali. Sementara di luar negeri, sudah merambah Malaysia, Australia dan Eropa. 

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×