Sumber: | Editor: Dikky Setiawan
Kantong-kantong sentra pembuatan dan penjualan tas bukan hanya ada di Bogor, Bandung, dan Jakarta. Cobalah datang ke Tangerang. Kota di sebelah barat Jakarta ini juga memiliki sentra produksi tas yang tak kalah ramainya dan sudah ada sejak lebih dari 15 tahun silam.
Wilayah di pinggiran Jakarta bukan saja menjadi lokasi tempat tinggal yang banyak diminati masyarakat. Kota-kota yang mengelilingi Ibukota ini juga menjadi lokasi pusat usaha nan strategis sebagai penyangga perputaran bisnis Jakarta.
Wajar saja bila muncul sentra industri di kota-kota di pinggir Jakarta, entah berskala raksasa maupun kampung perajin kelas UKM. Di Tangerang, sebagai contoh, ada Pasar Kemis, di daerah Kutabumi. Di sana terdapat beberapa sentra industri rumah tangga yang patut dilirik. Salah satunya adalah sentra produksi tas yang dikerjakan puluhan pengusaha kecil.
Sentra tas Pasar Kemis berdiri sekitar tahun 1990-an. Semula, beberapa perajin tas berdiri di daerah tersebut. Kebanyakan pembuat tas ini adalah perantau asal Sumatera Barat. Tak butuh waktu lama, usaha pembuatan tas di sana langsung menjamur. "Yang tadinya karyawan akhirnya mencoba mandiri," kata Asril Caniago, salah satu pembuat tas dengan mengusung merek Rilex 2000.
Asril memulai produksi tas sejak tahun 1991. Saat itu, ia masih bermukim di Pasar Minggu sebelum berpindah lokasi ke Kutabumi lima tahun kemudian. Awal memulai usaha, Asril hanya bermodalkan satu mesin jahit dan sedikit uang untuk membeli bahan baku di Pasar Tanah Abang. Total modalnya sekitar Rp 300.000, sudah termasuk mesin jahit yang waktu itu seharga sekitar Rp 50.000 per unit.
Pertama berusaha, dia membuat selusin tas per hari. "Keuntungannya Rp 500 per tas," kenang Asril. Sehari, ia cuma mengantongi Rp 6.000. Asril mengkhususkan usahanya pada produksi tas sekolah dengan desain kartun. Dia sengaja menyasar segmen anak-anak. Kini, dia memiliki empat karyawan khusus untuk pembuatan tas.
Kisah Burial juga mirip sejarah Asril. Produsen tas merek Pluto ini memulai usahanya di Kutabumi. "Kurang dari satu tahun saya kerja sendiri, hingga akhirnya punya karyawan," kata pria yang mulai memproduksi tas sejak 10 tahun lalu. Saat ini, Burial memproduksi berbagai tas, dari tas ukuran kecil, tas sekolah, hingga tas ransel berukuran besar. Ia memiliki sekitar 17 orang karyawan untuk proses produksi, mulai dari memotong bahan, menjahit hingga pengepakan.
Selain dijual di Kutabumi, tas-tas tersebut juga banyak dikirim ke pasar grosir di Jakarta dan sekitarnya. Bahkan, banyak juga yang dijual ke luar kota. "Dari Surabaya hingga ke wilayah Indonesia Timur," kata Burial. Ia juga menjual barang produksi di dua tokonya sendiri yang berlokasi di Kutabumi dan Jatake, Tangerang.
Sedangkan Asril menjual produksinya di toko grosirnya di kawasan Senen. Untuk memperbesar pasarnya, dia juga menjual ke luar kota, khususnya ke Sumatera. Kawasan pemasarannya di Lampung, Palembang, Jambi, Pekan Baru, dan Medan. "Kami membawa stok yang ada dengan mobil sendiri dan kembali 20 hari kemudian," katanya. Selain membawa tas produksi sendiri, Asril juga membawa serta tas-tas buatan produsen lain asal Kutabumi.
Kalau dulu Asril hanya bisa memproduksi satu lusin per hari, saat ini ia bisa memproduksi hingga 50 lusin tas per minggu atau 200 lusin per bulannya. Dari penjualan itu, Asril mendapatkan omzet rata-rata Rp 2 juta hingga Rp 3 juta per hari.
Tak mengenal musim ramai dan sepi
Tidak seperti bisnis makanan atau minuman, bisnis tas mengenal musim ramai dan musim sepi. Terutama untuk produk tas sekolah. Apalagi masa pakai tas termasuk cukup lama, tak habis dalam satu bulan atau dua bulan saja. Nah, musim panen produsen tas baru datang ketika masa sekolah dan Lebaran tiba.
Dalam kondisi ekonomi sulit, konsumen tentunya tak akan sering membeli tas. Asril Caniago, pemilik PD Paris Jaya Makmur di Kutabumi, Pasar Kemis, Tangerang, merasakan para produsen tas seringkali merugi pada hari-hari biasa.
Produsen tas lebih banyak menikmati keuntungan ketika musim liburan berakhir, menjelang masuk sekolah. "Kalau pas ramai, penjualan bisa Rp 4 juta per hari," katanya. Namun, masa ramai konsumen itu sangat jarang terjadi. Momen paling ramai terjadi seminggu sebelum masa masuk sekolah.
Sementara Burial, pemilik usaha CV Jasa Ayah Bunda, mengaku memperbanyak produksi tas sekolah ketika musim liburan sekolah. Sementara, di musim hari raya atau menjelang Hari Lebaran, dia membuat beragam tas berukuran besar yang laku di pasaran.
Saat ini, Jasa Ayah Bunda bisa memproduksi hingga 100 lusin tas setiap pekan. Kalau pasar sedang sepi, produksi turun hingga tinggal sekitar 50 lusin per pekan. "Paling laku ransel berukuran 50 cm x 35 cm," kata Burial. Harga jual tas produksi Jasa Ayah Bunda ini antara Rp 20.000 hingga Rp 50.000 per tas. Dia membidik konsumen berbagai usia dengan segmen menengah.
Kebanyakan produksi tas Burial adalah tas yang memiliki desain sporty dan kasual. Dia kerap mendesain tas sendiri, atau mengikuti desain yang sedang menjadi tren di pasaran. Burial menyatakan, setiap pekan omzet penjualannya Rp 50 juta. Dari penjualan itu, nilai keuntungannya sekitar Rp 5 juta per pekan.
Salah satu kendala industri rumahan tas ini adalah tenaga kerja yang terbatas. Industri rumahan tas ini memerlukan pekerja yang sudah memiliki keahlian. Terutama, keahlian menjahit. "Persaingan bisnisnya ketat, tenaga kerjanya juga susah," kata Asril.
Semula, Asril memiliki sekitar 20 pekerja. Kondisi usaha yang sulit memaksanya mengurangi pekerja hingga sekarang tersisa empat orang. Nah, ketika masa ramai penjualan tas, Asril perlu tenaga kerja tambahan. Tapi, stok karyawan yang berkualitas tidak ada. Alhasil, "Saat ini ada beberapa mesin jahit yang menganggur tak terpakai," keluhnya.
Untuk mendapatkan karyawan pun sulit. Apalagi tidak ada jaminan bahwa setelah masa ramai selesai para karyawan masih bisa bekerja di tempat tersebut. Kebanyakan pekerja di sentra pembuatan tas Kutabumi ini juga pekerja pendatang yang berasal dari Sukabumi dan sekitarnya.
Kadangkala, ada pekerja yang berpindah dari satu produsen ke produsen lain di sentra produksi tas Kutabumi. Para pekerja yang rata-rata berusia 18 tahun–25 tahun dan kebanyakan belum berkeluarga ini sering bolos kerja tanpa alasan jelas. Pada industri rumahan, jumlah pekerja ini sangat berpengaruh pada jumlah produksi. Sistem kerjanya borongan, mengikuti jumlah tas yang bisa dihasilkan satu pekerja, sebesar itu pula dia dibayar. "Ongkos pekerjanya sekitar Rp 40.000 per lusin tas," kata Burial.
Rata-rata gaji pekerja tas di Kutabumi antara Rp 350.000 hingga Rp 400.000 per pekan. Gaji pekerja ini diberikan setiap akhir pekan. Begitu juga penghitungan penjualan dan omzet, yang biasa dilakukan para produsen tas.
Mulai mandiri
Beberapa tahun lalu, masih banyak produsen tas di sentra Kutabumi yang memanfaatkan limbah dari pabrik tas di sekitar wilayah Tangerang. Dari limbah berupa kain itu, para produsen tas di sentra Kutabumi mengolahnya kembali menjadi produk tas. Merek tas itu sama seperti merek asli dari pabrik asal limbah tersebut.
Sekarang, daur ulang limbah tas ala produsen tas di sentra Kutabumi telah menjadi cerita usang. Maklum, saat ini kondisinya sudah berubah. Para produsen tas di sini lebih banyak menggunakan bahan baku yang dibeli dari pemasok. Besarnya kebutuhan bahan baku tas tersebut dijadikan peluang bisnis bagi Asril Caniago, salah satu produsen tas di sentra Kutabumi.
Namun, margin keuntungan dari penjualan bahan baku tas lebih tipis ketimbang produk tasnya sendiri. "Keuntungan dari menjual tas bisa 10%–15%. Tapi, keuntungan dari penjualan bahan baku hanya 5%-10%," katanya. Menurut dia, tipisnya laba itu antara lain karena tingkat persaingan bisnisnya cukup ketat. Selain itu, kalau harga bahan baku mahal, keuntungan produsen tas menciut.
Pengalaman pahit itu juga pernah dirasakan Asril. Akibat mahalnya bahan baku, dia pernah berhenti memproduksi tas pada tahun 1999. "Masa kronisnya pada tahun 2004. Ketika itu, saya sempat bangkrut," imbuhnya. Tapi, setahun kemudian dia mencoba lagi masuk ke bisnis tas. Bukan hanya di sektor produksinya, tetapi juga penyediaan bahan baku hingga penjualan grosir.
Asril menuturkan, perluasan usahanya itu merupakan hasil jerih payahnya dalam menyisihkan sebagian laba penjualan tas. Menurut dia, sebagian besar produsen tas di sentra Kutabumi memang mengandalkan modal sendiri untuk mengembangkan usaha. "Ada beberapa perajin tas yang mendapatkan kredit perbankan, tapi lebih banyak yang tidak tersentuh," kata Asril.
Kalaupun ada peluang mendapatkan kredit bank, para perajin harus berpikir dua kali sebelum menerima pinjaman. Maklum, bunga kredit bank cukup tinggi. Kendala lainnya adalah perputaran duit di bisnis tas tergolong lambat. Sehingga, sebelum perajin menerima hasil penjualan, terlebih dahulu harus membayar cicilan utang.
Sekitar tahun 2005, ketika sentra pembuatan tas ini semakin ramai dikunjungi pembeli, para pengrajin tas pernah membangun koperasi dan sempat merasakan manfaatnya. Koperasi ini juga mendapat dukungan dari berbagai pihak. Di antaranya, dari pemerintah daerah setempat. "Waktu itu pernah ada bantuan mesin," kata Burial, pemilik CV Jasa Ayah Bunda di Kutabumi.
Permodalan juga sempat mengalir dari kas perusahaan Badan Urusan Milik Negara (BUMN) pengelola bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, yakni PT Angkasa Pura. Bukan cuma itu, Departemen Perindustrian pun sempat membantu proses perizinan pendirian usaha industri rumahan di Kutabumi. Bantuan itu termasuk memperkenalkan penggunaan merek sendiri.
Nah, sejak saat itu produsen tas di sentra Kutabumi lebih memilih menggunakan merek sendiri dan meninggalkan merek-merek lama dari limbah pabrik sebelumnya.Tapi, kini koperasi perajin tas Kutabumi vakum. Salah satu penyebabnya adalah banyaknya anggota koperasi yang berpindah lokasi usaha.
Padahal, menurut Burial, keberadaan koperasi sangat penting. Apalagi, di Kutabumi tidak ada wadah organisasi atau perkumpulan para perajin tas. Kalaupun ada, hanya perkumpulan para perajin yang berasal dari daerah rantau. Jadi, lebih bersifat kekeluargaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News