Reporter: Dian Sari Pertiwi | Editor: Dadan M. Ramdan
JAKARTA. Tanda tangan digital menjadi lahan subur bagi startup PrivyID. Pasalnya, belum banyak yang menggarap segmen ini. Kemajuan pengiriman dokumen lewat jalur digital seperti email tak dibarengi perkembangan platform tanda tangan online. Marshall Pribadi, CEO platform tanda tangan digital PrivyID menyebut saat ini orang kerap salah kaprah soal pembuatan tanda tangan digital. "Kebanyakan masih pakai metode scan atau mengcapture tanda tangan dan mengubahnya menjadi digital," kata dia.
Padahal, bentuk sertifikat dan tanda tangan digital bukan dokumen yang dipindai (scan). Tapi, dokumen yang diproses melalui aplikasi di komputer untuk menjamin keaslian agar tidak dapat diubah oleh oknum yang tidak berkepentingan dan tidak bertanggung jawab.
Tanda tangan elektronik yang legal, otentik dan aman harus sesuai Pasal 11 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik. Nah, melihat potensi itu, Marshall membuat platform PrivyID dan menawarkan jasa perekaman tanda tangan elektronik. Caranya, dengan merekam data informasi terkait penanda tangan. Seperti data diri, nomor telepon, alamat rumah, alamat IP publilk hingga lokasi di mana penandatanganan itu berlangsung.
Marshall bilang, dokumen yang masuk ke PrivyID melewati serangkaian proses enkripsi dokumen digital yang dikunci. Sehingga kecil kemungkinan terjadi pemalsuan dokumen dan tanda tangan. privyID optimistis punya potensi pasar yang begitu gemuk. Ada sekitar 400.000 kontrak di industri pembiayaan, 5 juta tanda tangan nasabah di industri perbankan, 50.000 kontrak per bulan di industri financial technology (fintech), 500.000 tanda tangan per bulan di setiap bagian personalia perusahaan, 100.000 tanda tangan di perusahaan jasa logistik, dan sekitar 30 juta aktivitas login di industri marketplace dan e-commerce.
Saat ini, klien PrivyID mayoritas berasal dari perusahaan konvensional yang masih mengandalkan kertas dalam kegiatan operasionalnya. Seperti perbankan, pembiayaan dan layanan jasa yang butuh tanda tangan basah untuk persetujuan kontrak dengan konsumennya. Hanya saja, saat ini PrivyID baru bisa menggarap beberapa perusahaan. Sebab, ada faktor kunci yang membuat perusahaan tersebut mau jadi klien PrivyID: penghematan anggaran.
Umumnya perusahaan butuh anggaran Rp 2 miliar sampai Rp 3 miliar per tahun untuk biaya pembuatan dan penyimpanan dokumen legal. Sementara, PrivyID mengutip biaya mulai Rp 50.000 per 15 dokumen, hingga Rp 850 juta per satu juta dokumen. "Perbankan pun sudah tertarik sehingga ke depan nasabah tak perlu lagi tatap muka kalau mau buat rekening selama punya akun di PrivyID mereka otomatis terdaftar tak perlu datang dan antri isi berkas dan tanda tangan," kata Marshall.
Selain tanda tangan perseorangan yang masuk dalam kategori PrivySign, PrivyID juga menawarkan layanan pada organisasi untuk membuat dan menandatangani dokumen yang mengikat secara hukum dengan pihak ketiga di luar organisasi tersebut. Per badan hukum biayanya Rp 2 juta. Per hari tak kurang dari 1800-an dokumen yang berseliweran lewat PrivyID. Dengan akun sekitar 95.000an yang berasal dari beberapa klien perusahaan pembiayaan seperti Bussan Autofinance, Telkom Indiehome dan lain-lainnya.
Marshall mengklaim omzet PrivyID mencapai Rp 200 juta sebulan. Pada 2017 ini, PrivyID akan menggarap pasar bagian personalia perusahaan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News