kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Produsen jas hujan diguyur pesanan berlipat jelang musim hujan


Minggu, 04 November 2018 / 06:30 WIB
Produsen jas hujan diguyur pesanan berlipat jelang musim hujan


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Meski terlambat datang, hujan-hujan yang mengguyur beberapa hari terakhir menjadi penanda bahwa musim hujan telah tiba. Musim inilah waktu yang ditunggu-tunggu para produsen jas hujan. Pasalnya, permintaan jas hujan bakal meroket dari bulan-bulan biasanya.

Eka Riski Indriyani, produsen jas hujan bermerek Sheba asal Tangerang, Banten mengamini hal tersebut. Memasuki musim hujan, permintaan jas hujan buatannya bisa naik sampai empat kali lipat dari bulan biasa atau saat kemarau.

Di musim hujan, biasanya permintaan mencapai 1.200-1.800 helai. "Sejumlah agen sudah mulai mengambil barang sejak bulan September karena konsumen sudah banyak mencari jas hujan di bulan Oktober," jelasnya pada KONTAN.

Puncak belanja konsumen akan terjadi pada pertengahan bulan Desember. Melewati pengujung tahun permintaan masih akan tinggi, hingga bulan April atau Mei, menjelang musim kemarau.

Dengan tingginya permintaan jas hujan, perempuan berusia 27 tahun ini optimistis dapat mencapai target penjualan sebesar 36.000 sampai 40.000 jas hujan sepanjang tahun 2018. Tercatat sampai dengan bulan Oktober, prosentase penjualan sudah mencapai 60% dari target.

Untuk memenuhi seluruh kebutuhan pasar tersebut, Eka yang mempekerjakan 25  karyawannya mulai meningkatkan produksinya sekitar 30% sejak bulan September.

Dia mengaku, peningkatan produksi akan dilakukan secara bertahap dengan melihat jumlah kebutuhan pasar. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi keterbatasan gudang.

Jas hujan Sheba dijual dengan kisaran mulai dari Rp 325.000 sampai 375.000 per buah. Konsumennya datang dari seluruh Nusantara, namun Jabodetabek dan Kalimantan menjadi Dominasi pelanggan yang paling banyak membeli produknya.

Bimo Atiflu, founder sekaligus owner Ame Raincoat merasakan hal yang sama. Selama musim hujan, permintaan konsumen dapat meningkat sampai dua kali lipat dari bulan biasa yang mencapai ratusan stel jas hujan.

"Kebanyakan konsumen belanja saat hujan sudah datang satu minggu berturut-turut," katanya. Namun, puncak belanja konsumennya pada akhir tahun.

Laki-laki 25 tahun ini mengatakan, tidak lantas menaikkan jumlah produksinya saat permintaan tinggi. Keterbatasan bahan baku jas hujan jadi alasannya. Ame Raincoat menggunakan bahan polyester khusus. Selain itu, dia juga harus menyesuaikan jumlah penjualan per bulannya.

Sebagai pemain baru, Bimo memilih bermitra dengan konveski di Bandung untuk memproduksi seluruh koleksi jas hujannya.

Dia membanderol harga jas hujannya mulai dari Rp 425.000 sampai Rp 499.000 per helai. Konsumennya di dominasi dari Jakarta, Surabaya, Medan, dan kota besar lainnya.         

Stok bahan baku agar biaya tak membengkak

Nilai tukar rupiah terhadap dollar yang tidak kunjung menguat, berimbas pada bisnis produsen jas hujan. Pasalnya, mereka masih andalkan kain impor sebagai bahan bakunya. Harga kain impor pun ikut merangkak naik.

Eka Riski Indriyani, Produsen jas hujan merek Sheba asal Tangerang, Banten mengakui hal itu.  Beruntung, dia belum terdampak efek naiknya harga bahan baku karena gudangnya masih penuh. "Saya selalu penuhi gudang, untuk mengamankan kebutuhan dan mencegah biaya belanja bahan tiba-tiba membengkak," jelasnya.

Strategi lainnya adalah menggandeng pemasok bahan baku yang punya stok dalam jumlah besar. Dengan begitu saat persediaan materialnya mulai menipis, dia bisa mendapatkan bahan dengan mudah serta harga barang lama. "Biasanya saya memilih untuk keep barang sejak jauh hari dengan melihat harga yang ada di pasaran," katanya. Sekedar info, Eka memakai kain yang berasal dari Korea.  

Perempuan berusia 27 tahun ini sangat jarang menaikkan harga jual. Ini menjadi strateginya  untuk mempertahankan pelanggan dan menarik konsumen baru.

Selain itu, Eka juga mengembangkan bisnisnya melalui inovasi desain jas hujan. Yang paling baru, jaket jas hujan yang nyaman digunakan saat travelling.  

Selain itu, beberapa bagian juga dibuat sistem bongkar pasang seperti hoodie dan lengan yang dapat dipasang dan dilepas sesuai dengan kebutuhan. Dia juga melengkapinya dengan kaos tangan yang dihiasi dengan pita sehingga tetap terlihat cantik. Model baru ini baru diluncurkan pada Ramadhan 2018 lalu.

Berbeda dengan Eka, Bimo Atiflu, founder dan owner Ame Raincoat memilih material lokal untuk memproduksi seluruh jas hujannya. Sayangnya, harga kain polyester yang dia gunakan ikut-ikutan naik sejak  September 2018 lalu. Namun, kenaikanna tak terlalu besar, masih dibawah 10% dari harga biasanya.

Sampai sekarang, Bimo belum menaikkan harga jual. Dengan harga lama, dia ingin menjaga loyalitas konsumen dan memperluas jangkauan pasar. Maklum, usaha ini baru dimulai tahun 2015 lalu di Bandung, Jawa Barat.

Bimo pun memfasilitasi para travelling lewat desain jas hujan yang kasual. Selain itu, model kasual khas anak muda juga nyaman digunakan saat berjalan-jalan atau berpetualangan. Karena, desainnya seperti jaket. Bimo mengaku terinspirasi desain-desain fesyen  Jepang untuk setiap model jaket jas hujannya.

Kerja kerasnnya berbuah manis. Presiden Joko Widodo membeli jas hujan Ame Raincoat saat datang ke acara IdeaFest di Jakarta Convention Center, minggu lalu.

Dia mengaku sejak itu pesanan jaket jas hujan mulai meningkat. "Pesanan yang masuk banyak banget. Ini menjadi promosi gratis," katanya sambil tertawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×