kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.914   16,00   0,10%
  • IDX 7.199   58,54   0,82%
  • KOMPAS100 1.106   11,37   1,04%
  • LQ45 878   11,64   1,34%
  • ISSI 221   1,06   0,48%
  • IDX30 449   6,23   1,41%
  • IDXHIDIV20 540   5,82   1,09%
  • IDX80 127   1,42   1,13%
  • IDXV30 134   0,44   0,33%
  • IDXQ30 149   1,71   1,16%

Profit cantik mengolah sampah plastik


Sabtu, 28 November 2015 / 10:04 WIB
Profit cantik mengolah sampah plastik


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Plastik merupakan salah satu bahan yang sering digunakan untuk pembuatan peralatan, mulai dari lingkup rumahtangga hingga industri. Bahan plastik kerap digunakan lantaran tak mudah rusak oleh pelapukan. Kendati ada manfaat itu, plastik juga punya dampak buruk ketika sudah jadi sampah atau limbah.

Merujuk pada data persampahan domestik Indonesia, jenis sampah plastik menduduki peringkat kedua terbanyak. Kontribusi sampah plastik mencapai 14% atau sebanyak 5,4 juta ton per tahun.

Sampah plastik jadi momok bagi lingkungan karena sulit terurai. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa untuk bisa terurai, sampah plastik butuh puluhan tahun hingga ratusan tahun. Dengan jumlah yang besar, pengelolaan sampah plastik jadi masalah tersendiri bagi banyak kalangan, terutama pemerintah.

Namun saat ini, banyak orang yang melirik potensi dari sampah atau limbah plastik untuk diolah jadi pundi-pundi rupiah. Dengan daur ulang plastik (DUP), sampah berpeluang mendatangkan keuntungan. Seperti Saut Marpaung yang sudah sejak 2010 malang melintang mengurus limbah plastik.

Saut mengolah limbah plastik  sehingga bernilai ekonomi. Dia melanjutkan usaha yang dirintis ayahnya pada 2006 dengan nama usaha UD SAAM Jaya di Pasuruan, Jawa Timur. Pabrik bijih plastik yang dimilikinya fokus pada proses pelet atau meleburkan limbah plastik jadi bijih plastik. Hasil produksinya berjenis PE (LDPE), EVA, dan LD (LLDPE).

Saat ini, Saut menjabat sebagai Ketua Asosiasi Pengusaha Daur Ulang Plastik Indonesia (APDUPI). Anggota asosiasi tersebut hampir 150 orang, terdiri dari pengusaha plastik dari hulu, yaitu pabrik penghasil bijih plastik, hingga hilir, misalnya produsen barang-barang dari plastik seperti ember, gayung, dan lain-lain.

Saut mengatakan, pelemahan ekonomi dalam negeri turut menekan pertumbuhan usaha daur ulang plastik (DUP). Lantas, krisis ekonomi di China jadi pukulan berat bagi para pelaku usaha. Pasalnya, China merupakan tujuan utama penjualan bijih plastik.

Pemain lain, Indra Novint Noviansyah, juga mengatakan hal serupa. Pria 26 tahun ini bilang, penurunan harga minyak turut menggerus harga jual bijih plastik. Indra sudah mendirikan pabrik bijih plastik sejak 2008 di Pontianak, Kalimantan Barat. Kapasitas produksi pabriknya mencapai 10 ton per bulan. Meski tak menyebutkan omzet, Indra bilang, margin dari usaha berkisar 40%-60%.

Mulai 2015, menurut Saut, pertumbuhan usaha DUP tak terlalu bagus karena persaingan yang semakin ketat. “Saat ini para pemain masih jalan, tapi kalau bertumbuh tidak, karena sudah melambat sejak 2014,” ucapnya.

Padahal sebenarnya, peluang usaha DUP ini sangat cemerlang. Pasalnya, menurut pengalaman Saut, permintaan jauh lebih tinggi dibandingkan stok atau hasil produksi. “Tak terlalu sulit untuk cari order karena klien sangat membutuhkan bijih plastik,” kata dia.

Proses daur ulang plastik meliputi kegiatan pengumpulan sampah, penyortiran, pembersihan, dan pemrosesan material baru untuk proses produksi. Dengan daur ulang, sampah yang tadinya tak berguna disulap menjadi produk baru bernilai guna sama atau produk baru dengan fungsi berbeda.

Kapasitas produksi bijih plastik milik Saut sekarang mencapai 150 ton per bulan. Harga jualnya beragam, mulai Rp 10.000–Rp 15.000 per kg. Saut bilang, dari usaha ini, ia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 2 miliar per bulan. “Laba bersih setelah bayar pajak sekitar 5%,” ujarnya.


Modal besar
Secara jangka panjang, DUP punya cakupan yang luas. Selain mengurangi penggunaan bahan baku baru, daur ulang juga mengurangi penggunaan energi, kerusakan lahan, dan polusi serta emisi gas rumah kaca. Di negara-negara maju, daur ulang merupakan hal yang lumrah. Bahkan, tiap rumahtangga melakukannya dimulai dengan memilah plastik organik dan non-organik. Selanjutnya, masyarakat negara maju juga lebih menghargai barang-barang yang dibuat dari hasil
daur ulang.

Menurut Indra, kondisi itu belum terjadi di Indonesia. Akan tetapi, kehadiran para pengusaha sampah ini turut menyadarkan masyarakat pentingnya pengelolaan sampah yang baik.

Indra menegaskan, faktor utama usaha DUP ini merupakan bahan baku, yakni limbah plastik. Sejatinya, selama masyarakat masih menggunakan barang-barang dari bahan plastik, tentu akan ada limbahnya. Lantas, usaha DUP bisa terus bertumbuh.

Sebelum diproduksi jadi bijih plastik, titik awal pengumpulan bahan baku dilakukan oleh para pemulung. Limbah plastik juga bisa didapatkan dari buangan kantor, toko, hotel, dan lain-lain. Selanjutnya, hasil pengumpulan pemulung dan buangan ini dikumpulkan oleh pengepul. “Dari pengepul, lalu masuklah limbah plastik ini ke penggiling sebelum masuk ke pabrik bijih plastik,” terangnya.

Saut mengatakan, di kota-kota besar, sudah ada pemain yang menguasai stok limbah plastik. Untuk itu, pengusaha sampah harus pintar-pintar mencari tempat baru yang menghasilkan bahan baku alias sampah plastik.

Terbatasnya bahan baku dan banyaknya pengusaha DUP jadi kendala tersendiri bagi bisnis ini. Dus, para pemain punya strategi khusus, yaitu bermitra. Indra misalnya, menawarkan kemitraan untuk orang-orang yang tertarik jadi pemasok bijih plastik. “Mereka beli mesin di saya dan saya menjamin akan membeli olahan bijih plastik dari mereka,” ujar Indra.

Saat ini, Indra memiliki sekitar 30 orang mitra yang tersebar di daerah terpencil di dalam negeri, misalnya Kepulauan Anambas dan Manokwari. Masing-masing mitra, kata Indra, bisa menghasilkan 10 ton bijih plastik per bulan.

Hal serupa dilakukan Saut. Dus, baru-baru ini ia membuka cabang usaha DUP di Semarang, Jawa Tengah, dengan sistem bagi saham. “Tujuannya membesarkan omzet karena semakin sulit mendapat bahan baku di Jawa Timur,” ucapnya.

Untuk pemasaran, Saut juga fokus pada pasar dalam negeri. Ia menyasar pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) yang membutuhkan bijih plastik untuk membuat kantong kresek (plastik), khususnya di luar Jawa. “Klien saya ada di beberapa kota, seperti Medan, Banjarmasin, Makassar, dan Ambon,” sebut dia.

Saut menambahkan, peluang untuk pemain baru masih ada, dengan catatan, persiapan dilakukan dengan matang. Ini menyangkut modal juga. Lantaran, pemulung atau pengepul sampah plastik biasanya sudah punya klien tersendiri. “Untuk merebutnya tentu harus menawarkan harga di atas yang sudah ada,” kata Saut.

Kondisi inilah yang mengakibatkan kebutuhan modal cukup besar. Sebab, sebelum beroperasi, pengusaha DUP harus memastikan pasokan bahan baku terlebih dulu. Tujuannya, supaya produksi bisa dilakukan setiap hari. Indra bilang, lantaran persaingan yang ketat, pasokan bahan baku berkurang dan ini berakibat banyak pengusaha DUP yang gulur tikar.

Menurut perhitungan Saut, bagi pemain baru, modal yang dibutuhkan untuk merintis kira-kira Rp 2 miliar. Modal itu untuk pabrik dengan kapasitas di atas 100 ton dan belum termasuk tanah dan bangunan. “Sebanyak Rp 1 miliar untuk perputaran usaha, sisanya untuk membeli mesin,” tuturnya.

Adapun mesin yang digunakan untuk mengolah sampah plastik terdiri dari dua bagian. Bagian pertama ialah mesin giling cuci yang terdiri dari mesin giling, conveyor, sentrifugal, dan oven pengering. Saut bilang, kadang pengeringan bisa dilakukan secara manual dengan menjemur. Namun, pada musim hujan, oven pengering yang bisa diandalkan. Selanjutnya ialah peletizer, yaitu mesin untuk meleburkan plastik hingga berbentuk bijih plastik.

Mesin untuk mengolah sampah plastik ini, menurut Saut, bisa didapatkan di dalam negeri, tapi dengan kualitas yang tak terlalu bagus. Dus, kebanyakan pemain mengimpor mesin produksi dari China dan Taiwan.

Di sisi lain, Indra menawarkan kemitraan dengan paket investasi Rp 39,5 juta, Rp Rp 49,5 juta, dan Rp 59,5 juta. Biaya investasi itu untuk pembelian mesin pencacah plastik, saringan standar, sasis mesin potong, mesin penggerak, mesin pompa air sirkulasi, vanbelt, kunci, dan mesin dinamo.

Cara kerja mesin pencacah cukup sederhana. Limbah plastik yang terkumpul akan dibersihkan dan dikelompokkan berdasarkan jenisnya. Kemudian, sampah plastik dimasukkan ke dalam mesin yang menyala. Indra mengatakan, mesin yang ia gunakan merupakan mesin buatan sendiri. “Selagi mencacah, sampah plastik sekaligus dibersihkan sehingga hasilnya berkualitas dan bisa langsung digunakan oleh perusahaan-perusahaan plastik,” tambah dia. Bijih plastik yang bersih merupakan incaran perusahaan molding plastik.

Indra berharap, tahun depan, ia bisa menjangkau mitra di kota-kota besar di Indonesia serta kawasan Asia Tenggara. Selain itu, ia tengah mengembangkan aplikasi ponsel untuk mengumpulkan sampah di berbagai daerah. Melalui aplikasi itu, ia ingin masyarakat juga terjun langsung dalam pengumpulan sampah yang akan didaur ulang.

Ia melanjutkan, aplikasi ini sudah bisa diunduh di Playstore untuk pengguna Android. Sejauh ini, ada 1.300 pengguna yang sudah mengunduh aplikasi Trash Bank tersebut. Akan tetapi, menurut Indra, belum sampai 100 pengguna yang mengumpulkan sampah untuk dijual ke Limbahagia. "Sekarang masih dikembangkan terus, awal tahun depan baru kami luncurkan," ucapnya.

Apakah Anda tertarik mengolah sampah plastik?    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×