kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.986.000   17.000   0,86%
  • USD/IDR 16.835   40,00   0,24%
  • IDX 6.679   65,44   0,99%
  • KOMPAS100 965   12,40   1,30%
  • LQ45 750   8,15   1,10%
  • ISSI 212   1,80   0,86%
  • IDX30 390   4,00   1,04%
  • IDXHIDIV20 468   2,84   0,61%
  • IDX80 109   1,41   1,31%
  • IDXV30 115   1,81   1,60%
  • IDXQ30 128   1,06   0,84%

RAJA BUAYA TURUN TAHTA, SANG ANAK JADI PENERUSNYA


Minggu, 24 Januari 2010 / 06:05 WIB
RAJA BUAYA TURUN TAHTA, SANG ANAK JADI PENERUSNYA


Sumber: | Editor: Uji Agung Santosa

Sebagian besar dari kita hanya mengenal buaya sebagai hewan buas yang berbahaya. Tapi, bagi Erika Wiradinata, buaya adalah segalanya. Sebab, dari reptil bertubuh besar inilah Erika sukses mengitegrasikan bisnis buaya, mulai dari penangkaran sampai produksi barang jadi.

Tapi, kerja keras Erika membesarkan bisnis penangkaran buaya dan aksesori kulit buaya tidak lepas dari kerja keras Rachmat Wiradinata, ayah Erika. Pada tahun 1990, Rachmat yang saat itu bekerja sebagai Kepala Cabang PT United Tractors berminat terjun ke bisnis aksesori dari kulit binatang.

Keinginan yang awalnya hanya coba-coba itu muncul saat pria kelahiran Aceh, 3 Maret 1948, itu bepergian ke Eropa. Di Paris, ia banyak melihat produk fashion dari kulit reptil. Rachmat pun teringat bahwa bahan baku kulit begitu melimpah di Indonesia.

Di sela-sela kesibukannya, Rachmat merintis usaha sebagai eksportir kulit reptil. Modal awalnya sekitar Rp 360 juta dari pinjaman bank. Dana itu dipakai untuk membeli tanah dan mesin penyamakan bekas. Sedangkan bahan baku kulit reptil, seperti buaya, biawak, dan ular, dia peroleh dari pengepul di Irian Jaya (Papua).

Bermodalkan kemampuan bahasa Jepang yang dia dapatkan saat belajar di Negeri Matahari Terbit, Rachmat dengan mudah menjajaki pasar di sana. Awalnya, Rachmat mengekspor kulit reptil sekitar 50–100 lembar saban bulan.

Lantaran bisnisnya kian membesar, Rachmat memutuskan berhenti bekerja. Sejak saat itu, ia serius menjadi eksportir kulit buaya. Kulit buaya ia pilih karena lebih eksotis ketimbang kulit reptil lain. Sedangkan kulit ular dan biawak sangat bergantung pada tren fashion yang sedang digemari.

Tak puas menggeluti penyamakan kulit buaya, Rachmat mulai menjajaki usaha pembuatan aksesori dari kulit buaya. Sebutlah tas, ikat pinggang, dan dompet. Agar barang jadi yang dihasilkan itu punya nilai jual, ia mencoba desain yang mampu memenuhi tiga kriteria. Yakni, nilai seni, kegunaan, dan teknik pembuatan.

Bisnis aksesori kulit buaya Rachmat kian bersinar. Bahkan, saat pertemuan APEC pada 1994 di Bogor, Rachmat dipercaya membuat tas dengan bahan kulit buaya untuk 18 kepala negara anggota APEC.

Dari sisi desain, Rachmat terus melakukan penyegaran dengan menciptakan desain baru. Agar tidak ketinggalan perkembangan mode, ia dibantu sang istri dan anaknya, Martinus Wiradinata. Sementara, dua anaknya yang lain, Erika dan Erick Wiradinata, bertugas menangani pemasaran.

Lama bermain di bisnis barang jadi, Rachmat mulai tertarik membangun bisnis terintegrasi. Ia mengucurkan uang Rp 1,3 miliar buat pengadaan induk dan bibit buaya untuk penangkaran buaya.

Bertempat di Parigi, Cikande, Kabupaten Serang, Banten, buaya muara (Crocodylus porosus) dan buaya air tawar (Crocodylus novaeguineae) yang ia pelihara sejak 1999 bisa juga bertelur. Hingga kini, Rachmat sudah memiliki 3.500 ekor buaya dan ratusan induk jantan serta betina.

Langganan buyers Italia

Usaha Rachmat di bawah bendera PT Ekanindia Karsa Raflo kini diteruskan Erika Wiradinata dan Erick Wiradinata. Tak hanya tas, dompet, dan ikat pinggang, kulit buaya dari penangkaran juga disulap Erika menjadi sampul handphone dan sampul agenda. Semuanya diberi label Raflo. Raflo adalah gabungan nama orangtua Erika: Rachmat Wiradinata dan Flora Wiradinata.

Erika menuturkan, kulit buaya dari penangkaran menjadi langganan empat buyers di Italia sejak ayahnya masih menjalankan bisnis. Setiap bulan, setiap pembeli itu memesan 400 lembar kulit buaya. Harga kulit berkisar antara US$ 500 sampai US$ 1.000, tergantung ukuran.

Selain area penangkaran seluas 1,5 hektare (ha), Raflo Indonesia juga memiliki pabrik pembuatan aksesori kulit buaya dengan jumlah karyawan sebanyak 50 orang.

Saban bulan, Raflo memproduksi 350 tas. Itu belum termasuk barang jadi lainnya. Menurut Erika, produksi barang jadi memang tidak begitu besar lantaran butuh waktu lama. “Dari kulit mentah sampai jadi siap jahit saja, butuh waktu 1,5 bulan,” terang Erika.

Wajar saja harga jual produk fashion Raflo terbilang mahal. Untuk tas kulit buaya dibanderol antara Rp 5 juta sampai Rp 35 juta per buah. Sedangkan dompet, ikat pinggang, bungkus handphone, sampai sampul agenda berkisar Rp 500.000 sampai Rp 2,5 juta per buah. Tak heran, pembeli tas Raflo sebagian besar berasal dari kalangan atas, seperti istri para pejabat sampai turis asing.

Meski enggan menyebutkan detail omzet, Erika mengakui pendapatan perusahaannya bisa mencapai puluhan miliar setiap bulannya. Dari ekspor kulit buaya ke Italia saja, Raflo bisa mengantongi Rp 8 miliar.Sedangkan dari penjualan 350 tas, Raflo minimal meraup Rp 1,75 miliar per bulan.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Practical Inventory Management (SCMPIM) Negotiation Mastery

[X]
×