kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Rangga mengemas pecel lele menjadi lebih modern


Jumat, 01 Oktober 2010 / 13:21 WIB
Rangga mengemas pecel lele menjadi lebih modern


Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Tri Adi

Meski penjual pecel lele sudah banyak, Rangga Umara terbukti mampu mencetak omzet gurih dari bisnis ini. Kuncinya, ia mengemas pecel lele lebih modern. Hasilnya, saat ini ia memiliki 21 gerai Lele Lela yang tersebar di wilayah Jabodetabek.

Pecel lele menjadi salah satu hidangan pinggir jalan yang gampang ditemukan. Penyajian makanan ini memang cenderung simpel dan setiap orang bisa melakukannya. Tapi, Rangga Umara mampu menawarkan konsep berbeda dan sukses di bisnis ini.

Hanya dalam empat tahun, bisnis pecel lele Rangga yang dia beri nama Lele Lela – “lela” adalah kependekan “lebih laku” – semakin menggurita. Kini dia sudah memiliki 21 gerai di Jabodetabek. Total omzet yang bisa diraih dari bisnisnya sekitar Rp 1,8 miliar per bulan.

Sukses Rangga memang di luar dugaan. Padahal, usaha itu berdiri berawal dari kepepet. Empat tahun lalu, Rangga masih saat menjadi karyawan sebuah perusahaan pengembang perumahan di Bekasi dan Tangerang. Terancam jadi korban pemutusan hubungan kerja, ia bertekad membuka bisnis. “Kalau hanya kerja di perusahaan, hasilnya akan sama dan tidak bisa maju,” pikir dia.

Pria berusia 31 tahun ini lantas memutar otak, mencari peluang bisnis yang bermodal cekak, tapi pasarnya menjanjikan. Ia kemudian berpikir membuka bisnis kuliner. Terlintas di benaknya membuka warung pecel lele. Alasannya, nama dan rasa pecel lele sudah sangat dikenal masyarakat. Ini modal besar untuk berbisnis. “Saya tidak perlu lagi mengedukasi pasar," ungkap Rangga.

Dengan modal Rp 3 juta dari uang simpanannya, Rangga lantas menggandeng temannya yang pintar meracik bumbu. Warung pertamanya berdiri di Pondok Kelapa, Jakarta Timur. Dengan tempat seukuran 2 meter x 3 meter, ia menamai warungnya Lele Lela. Bapak dua anak ini menyatakan tak banyak perhitungan saat penemuan nama ini. Pertimbangannya kala itu hanya mencari nama yang gampang diingat.

Awalnya, usaha ini tidak lancar. Rangga mengaku beberapa kali memindahkan tempat usahanya lantaran mencari tempat yang cocok dan memadankan antara omzet usaha dan biaya operasional, khususnya sewa tempat usaha. Ia bahkan pernah terlilit utang ke rentenir.

Meski begitu, lulusan Sekolah Tinggi Manajemen Informatika dan Komputer (STMIK) di Bandung, Jawa Barat, ini tetap yakin bisnis ini menjanjikan. Anak seorang ustaz ini terus membenahi jualannya.

Rangga mencoba menggarap konsep berbeda dari bisnis pecel lele dengan menawarkan berbagai variasi rasa. Tak sekadar lele plus sambal dan lalap, dia juga membuat aneka hidangan, seperti lele saus padang, lele saus tiram, serta lele goreng mentega.

Rangga juga berusaha membangun komunitas pencinta lele untuk memperkuat pasar. Maklum, di awal usahanya, menu ayam di gerainya jauh lebih laku ketimbang lele. Makanya, untuk memperkuat fokus bisnisnya, ia membuat logo Lele Lela dengan menonjolkan gambar lele.

Pelan-pelan, bisnis pecel lele Rangga berkembang. Semakin banyak pelanggan yang datang dan mengakui menu lele di Lele Lela memang beda. Alhasil, beberapa orang tertarik menyebarkan konsep bisnis Rangga ini dengan meminta menjadi mitra usaha. Setelah itu, satu per satu, gerai Lele Lela menyebar di berbagai wilayah. Sebagian besar memakai konsep kemitraan.

Ada empat hal yang menjadi kunci Rangga: product, sense, price, dan destination. Selain produk yang sudah dikenal luas, menurut dia, kemasan menarik juga mampu menarik perhatian orang yang lewat.

Menjual lebih mahal

Tak kalah penting adalah penentuan harga. Rangga mematok harga tiap menu lele sekitar Rp 12.000 per porsi. Sementara itu, harga menu berbahan daging ayam rata-rata Rp 10.000. Harga lele jauh lebih mahal lantaran mempertimbangkan kualitas dan biaya operasional.

Bagi Rangga, banyak komponen tak terlihat yang harus dipertimbangkan. “Bisnis makanan itu jahatnya di dapur. Banyak pebisnis yang tidak detail memperhatikan urusan ini lantaran tertutup oleh biaya produksi lain,” beber dia.

Selain itu, Rangga berupaya menyuguhkan tempat makan yang menyenangkan yang membuat pengunjung nyaman dan ketagihan datang. Salah satunya adalah dengan memberikan sapaan khas Lele Lela pada pe-ngunjung dengan mengambil inspirasi dari restoran jepang.

Rangga menyatakan, strategi bisnisnya itu cukup manjur menjaga stabilitas kelangsungan usahanya. Saat ini, tiap gerai Lele Lela dikunjungi sekitar 300 hingga 400 pengunjung per hari dan bisa menjual 50 kg–60 kg lele per hari.

Bahkan, kini Rangga sudah ancang-ancang berekspansi ke pasar yang lebih luas dengan membuka gerai di luar kawasan Jabodetabek. Untuk menyiasati permodalan bagi pendirian gerai baru, ia tetap mengusung konsep kemitraan. Ia mematok investasi bagi mereka yang jadi mitranya sebesar Rp 400 juta.

“Dalam waktu dekat, kami akan masuk ke pasar di Medan, Yogyakarta, dan Bali,” ujar dia, bangga.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×