kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Renyahnya fulus dari bisnis kriuk-kriuk


Kamis, 19 Agustus 2010 / 10:07 WIB
Renyahnya fulus dari bisnis kriuk-kriuk


Reporter: Sanny Cicilia, Havid Vebri, Sofyan Nur Hidayat | Editor: Tri Adi

Bisnis makanan ringan alias cemilan ternyata menggiurkan untuk dicicipi. Permintaan yang datang dari berbagai penjuru membuat bisnis ini bisa menjadi ladang rezeki empuk. Salah satu penikmatnya adalah para pengemas ulang makanan ringan.

Mengudap camilan memang mengasyikkan. Selain bisa mengganjal perut, ngemil juga membuat aktivitas lebih menyenangkan. Apalagi, mengemil bisa dilakukan kapan dan di mana saja. Anda bisa mengunyah camilan ringan nan renyah ini sebagai teman menonton televisi, bioskop, bahkan saat bekerja sekalipun.

Bagi banyak orang, mengemil sudah seperti candu dan menjadi kebiasaan yang sulit mereka tinggalkan. Itu sebabnya bisnis camilan ringan tak pernah mati dan kehilangan penggemar. Anda yang berdomisili di Jakarta dan sekitarnya pasti sudah akrab dengan camilan bermerek dagang Kriuk yang popularitasnya begitu kondang itu.

Distribusi makanan ringan itu sudah menembus ke mana-mana, bahkan masuk ke gedung-gedung perkantoran. Produk yang dijual pun beragam, mungkin sampai ratusan jenis, dan beraneka rasa: mulai dari kerupuk, keripik, kue kering, hingga kacang-kacangan.


Lantaran memiliki banyak penggemar, bisnis penjualan segala macam camilan ini semakin semarak. Salah satu penikmat rezeki camilan ini adalah para pengemas ulang (repacking) makanan ringan yang sekarang lagi booming.

Berbagai jenis snack repacking dengan puluhan merek kini membanjiri pasar. Sejatinya, ini adalah produk camilan buatan industri rumah tangga yang dibeli secara bal-balan atau curah. Nah, oleh para pelaku bisnis penganan repacking, snack dari industri rumah tangga itu lalu dibungkus ulang dengan pelbagai merek. Selain Kriuk, merek lain yang beredar saat ini antara lain Nyus, Kremez, dan Naima Snack.

Pasar besarWalau jumlah pemain beji-bun, bagi para pelakunya bisnis ini teramat cerah. Penikmat camilan berasal dari segala kalangan dan usia. “Persaingan memang sudah ketat, tapi pasarnya memang cukup besar,” kata Roslan Siburian, pemilik snack repacking dengan merek Kremez di Tangerang, Banten.

Roslan memulai usaha mengemas ulang camilan sejak 1995. Dari bisnis itu dia bisa meraup omzet hingga Rp 6 juta per hari. Saat tanggal muda atau pas hari libur, omzetnya melambung hingga Rp 10 juta per hari. “Laba bersih saya Rp 1 juta per hari,” ujar Roslan.

Helmi Muhammad, pemilik makanan ringan repacking dengan merek Naima Snack di Malang, Jawa Timur, juga merasakan renyahnya bisnis ini. Kini omzet yang ia peroleh bisa mencapai Rp 10 juta per minggu. “Laba bersih saya kurang lebih 30% dari omzet,” kata Helmi yang memulai usaha ini sejak 2006 silam.

Kesuksesan bukan hanya mengayomi mereka yang sudah berkecimpung lama di bisnis ini. Mereka yang terbilang pendatang baru pun ikut memetik hasil tak kalah memuaskan. Contohnya Surono, pemilik snack repacking dengan merek Nyus di Cipondoh, Tangerang, Banten. Baru dua bulan terjun ke bisnis ini, omzetnya kini sudah mencapai Rp 400.000 sampai Rp 1 juta per hari. “Untuk pendatang baru, ini bisa dibilang lumayan,” ujar dia.

Tertarik mengikuti jejak mereka? Sekilas, menggulirkan bisnis ini memang terlihat gampang. Anda hanya tinggal mencari pasokan camilan lalu mengemasnya dengan bungkus yang sudah diberi label sendiri. Tapi, sebelum melangkah, sebaiknya Anda mencermati beberapa hal berikut ini.

Bahan baku
Mengawali bisnis snack repacking tidak susah. Yang jelas, kata Surono, jika ingin menjajal usaha ini, Anda mesti punya pemasok tetap sehingga Anda tak perlu repot berbelanja camilan. Surono sendiri membeli aneka produk camilan dari para produsen camilan di Jabotabek dan Jawa Barat. Namun, Surono tidak berhubungan langsung dengan para produsen itu.

Dia membeli camilan dari pedagang pengumpul (pengepul) yang memasok barang ke gudang penyimpanan di daerah Joglo, Jakarta Barat. “Saya beli dari pengepul itu,” ujar Surono.

Seminggu sekali ia membeli camilan sebanyak 20 bal. Setiap bal berbobot tiga sampai lima kilogram (kg). Harga camilan berkisar Rp 51.000 hingga
Rp 400.000 per bal, tergantung dari jenis makanannya.

Camilan yang dia beli beragam jenisnya. Ada keripik, kacang, kerupuk, dan permen. Oleh Surono, snack buatan industri rumahan itu dia kemas ulang dan diberi merek Nyus.

Ia mengemasnya untuk harga eceran Rp 3.000 per bungkus. Di level distributor dan agen, harga jual berkisar Rp 2.000–Rp 2.500 per bungkus.

Lain halnya dengan Roslan. Ia membeli camilan langsung dari para produsen di Jakarta dan Jawa Barat. Setiap dua hari sekali, ia membeli camilan sebanyak 100 bal–200 bal.

Camilan itu dia kemas ulang menjadi sekitar 6.000 bungkus dan diberi merek Kremez. Penganan ringan yang sudah dikemas ini ludes terjual dalam dua hari. Sama halnya Nyus, snack Kremez dijual dengan harga eceran Rp 3.000 per bungkus. Sementara itu, harga ditingkat distributor dan agen Rp 2.000 sampai Rp 2.500 per bungkus.

Roslan mengaku tak bisa membeli camilan lebih dari 100 bal–200 bal setiap kali belanja. Sebab, camilan tidak bisa disimpan terlalu lama. Roslan menyarankan, camilan disimpan di tempat sejuk. “Supaya tidak cepat rusak,” ujar dia.

Helmi juga membatasi belanja camilan. Saban minggu, ia membeli 250 kg–300 kg camilan. Menurut Helmi, camilan sebanyak itu hanya bisa memenuhi kebutuhan selama seminggu. “Tidak bisa terlalu banyak karena snack tak bisa disimpan lama,” kata dia.

Oleh Helmi, camilan sebanyak itu dikemas ulang menjadi 9.000 bungkus. Dalam seminggu, 9.000 bungkus ini bisa habis terjual. Harga per bungkus antara Rp 500–Rp 1.500.



Variasi produk
Untuk menarik minat pembeli, variasi camilan memiliki peran penting. Roslan menyarankan, sebaiknya variasi camilan dibuat sebanyak mungkin. “Pasar camilan yang besar tak akan berarti jika tidak kreatif menjual produk yang berbeda jenis dan rasa,” kata Roslan.

Menurut Roslan, produk yang bervariasi membuat konsumen menjadi lebih leluasa menentukan pilihan. Rasa penasaran orang pun tergugah untuk mencobanya satu demi satu.

Roslan sendiri sudah menyediakan pilihan camilan hingga 200 item, seperti salai pisang, kelanting, kerupuk, hingga kacang-kacangan.
Adapun Helmi menjajakan beraneka ragam camilan. Saat ini, Helmi memasarkan 25 macam camilan, di antaranya kacang telur, kacang polong, pilus, opak, bijaran, melinjo, dan aneka biskuit.

Agar penganan yang dipasarkan kian bervariasi, mereka harus getol berburu camilan hingga ke luar kota. Roslan, contohnya, selain berburu camilan di daerah Jakarta, juga rajin menyambangi produsen camilan di Jawa Barat, seperti Bandung, Ciamis, dan Cirebon.

Langkah serupa juga ditempuh Helmi. Selain di Malang sendiri, ia juga berburu camilan hingga ke Surabaya dan Jawa Barat. Berbeda dengan Surono. Pria ini mengaku hanya membeli camilan dari pengepul di Joglo, Jakarta Barat. “Dari situ saja saya sudah dapat 100 item camilan,” tutur dia.

Kemasan dan pemasaran
Meski terlihat sepele, soal kemasan juga menjadi kunci penting untuk menunjang penjualan. Kemasan bukan cuma harus menarik, tapi juga andal secara fisik. Umumnya, para pelaku bisnis ini sangat memperhatikan kemasan, apalagi mereka menjual dengan merek sendiri. Untuk kemasan, Helmi menyiapkan plastik bening atau oriented polystyrene (OPP). “Pembeli bisa lihat isinya dan yakin kualitasnya,” katanya.

Helmi membeli plastik dari pabrik. Untuk mencetak merek, ia membawa plastik itu ke tukang sablon. Biaya sablon Rp 50 per bungkus. Setelah disablon, kemasan pun siap pakai. Untuk merekatkan plastik, ia menggunakan alat khusus yang disebut filler. Harga alat ini Rp 250.000 sampai Rp 300.000 per unit.

Roslan juga sangat memperhatikan masalah kemasan. Ia telah memiliki langganan pemasok plastik. Plastik yang dia pesan sudah langsung disablon dengan merek Kremez.

Plastik kemasan itu terdiri dalam berbagai ukuran, mulai dari 15 sentimeter (cm) sampai 35 cm. Plastik itu dia beli dengan harga Rp 15.000 per kg.

Untuk urusan pemasaran, baik Roslan maupun Helmi punya cara berbeda-beda. Helmi, memasarkan camilan dengan menitipkannya di toko atau warung. Kini ada 1.600 toko dan warung yang bermitra dengan Helmi. Dengan mitra sebanyak itu, ia bisa memasarkan 1.500– 2.000 bungkus snack per hari. Ia menerapkan sistem komisi bagi toko rekanan. “Komisinya Rp 200 per bungkus bagi pemilik toko,” kata dia.

Sementara itu, Roslan lebih mengandalkan pembeli yang datang ke tokonya. Umumnya, para pembeli adalah para distributor yang akan menjual lagi snack mereknya itu. Di tempat ini, distributor bebas memilih snack yang mereka minati.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×