kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Resep warisan terkikis persaingan bisnis (2)


Kamis, 22 Agustus 2013 / 12:05 WIB
Resep warisan terkikis persaingan bisnis (2)
ILUSTRASI. Jelang Cum Date Pembayaran Dividen, Harga Saham Ini Malah Turun, Apa Layak Beli?


Reporter: Revi Yohana | Editor: Dupla Kartini

Sejak pagi hingga sore di sejumlah lokasi di kawasan Tenggilis, Surabaya, terlihat aktivitas pembuatan tempe. Ketika KONTAN menyambangi kawasan itu pada akhir Juli lalu, terlihat hampir semua proses pembuatan tempe masih menggunakan cara manual. Mulai dari pencucian kedelai, hingga memasukkan tempe ke plastik dan pemotongan.

Hanya, pada proses pengulitan kedelai menggunakan bantuan mesin penggiling. Itu pun pengoperasiannya masih manual, yakni perajin terus memutar engkol agar mesin terus beroperasi.

Salah seorang koordinator perajin di Jalan Tenggilis Kauman, Abdul Haris memaparkan, ada dua jenis proses pembuatan tempe, yakni sekali rebus atau dua kali rebus. Proses dua kali rebus memakan waktu lebih lama, namun tempe yang dihasilkan lebih bagus dan harganya lebih mahal. "Tapi, sekarang semakin jarang pemrosesan tempe dengan dua kali rebus," ungkapnya.

Ini lantaran, proses yang lebih lama membuat perajin kesulitan menangani permintaan yang tinggi. Asal tahu saja, proses sekali rebus memakan waktu tiga hari, sementara dua kali rebus bisa sampai lima hari.

Haris mengakui, hampir seluruh tempe yang dijualnya hasil sekali rebus. Proses pembuatan diawali dengan merebus kedelai, lalu merendamnya selama satu malam. Esoknya, kulit kedelai dibuang. Setelah bersih dari kulit, kedelai diberi ragi dan dibungkus. Kemudian, esok hari, tempe sudah jadi, dipotong-potong dan siap untuk dijual.

Kata Haris, supaya selalu punya pasokan, perajin dibagi dalam tiga tim yang bekerja bergantian. Dengan begitu, setiap hari bisa berproduksi. "Jika ada yang ingin pesan dalam jumlah lebih besar dari produksi harian, harus order lebih dulu," tuturnya.

Koordinator perajin lainnya, Muhammad Toyib bilang, pada awalnya resep yang diajarkan turun temurun adalah proses dua kali rebus. "Sejatinya, jika proses dua kali rebus, tempe yang dihasilkan lebih enak dan risiko bisnis juga lebih kecil," ujar Toyib yang belajar bikin tempe dari ayahnya.

Pasalnya, pada sistem sekali rebus, jika gagal menghasilkan tempe setelah  proses peragian, maka kedelai akan basi dan busuk. Sedangkan, jika menggunakan dua kali perebusan,  kedelai masih bisa diragi ulang, karena tak basi.

Toyib menjelaskan, pada proses dua kali rebus, kedelai yang sudah direbus dan dikuliti tidak langsung diragi, melainkan direndam lagi selama semalam. Esok harinya, kedelai direbus lagi, kemudian diberi ragi.

Proses dua kali rebus juga membuat tempe lebih tahan lama dan lebih harum. "Dulu, masih banyak yang pakai sistem dua kali rebus. Tapi, persaingan yang kian ketat menggiring para  perajin mengikuti kecepatan permintaan," ucapnya.

Harga tempe dua kali rebus yang lebih mahal pun menyebabkan pembeli lebih banyak yang memilih tempe sekali rebus. Misal, harga tempe sekali rebus Rp 1.000 per potong, sementara harga tempe dua kali rebus
Rp 1.500 per potong.  (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait


TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×