kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Rezeki saat orang malas merawat sepatu sendiri


Sabtu, 14 November 2015 / 10:30 WIB
Rezeki saat orang malas merawat sepatu sendiri


Reporter: Marantina | Editor: Tri Adi

Selain pakaian, sepatu juga merupakan kebutuhan pokok yang menjelma jadi bagian dari gaya hidup masyarakat. Mengenakan pakaian yang bagus tak lengkap rasanya bila tak dipadukan dengan alas kaki yang serasi. Makanya, sama seperti pakaian, banyak orang juga mengoleksi sepatu.

Beda keperluan, beda juga jenis sepatu yang harus digunakan. Pokoknya, seseorang tak cukup hanya memiliki satu atau dua pasang sepatu. Nah, semakin banyak koleksi sepatu, waktu untuk merawatnya pun tak sedikit.

Ada sepatu yang hanya digunakan beberapa kali saja langsung rusak karena tak dijaga. Namun untuk sepatu yang harganya ratusan ribu rupiah hingga jutaan rupiah tentu harus dirawat supaya awet.

Kalau tak sempat atau bingung merawat sepatu, Anda tak perlu khawatir lagi. Saat ini, ada beberapa tempat binatu sepatu yang bisa membantu untuk membersihkan dan memperbaiki koleksi alas kaki Anda.

Menurut pengamatan KONTAN, di Jakarta, ada beberapa binatu sepatu, baik yang membuka gerai di mal, sepatu atau ruko. Salah satunya ialah Shoebible milik Yenda Handriaman dan Dian Maya Puspitasari. Keduanya pernah bekerja di perusahaan sepatu asal Amerika Serikat (AS).

Pengetahuan tentang sepatu serta kegemaran mengoleksi sepatu jadi bekal mereka merintis usaha Shoebible. “Kami punya banyak sepatu, tapi ketika mau membersihkan sepatu, kami bingung tempat yang tepat itu di mana,” kata Yenda. Menurut dia, kolektor sepatu tak mudah menyerahkan sepatunya untuk dibersihkan karena pemilik sepatu punya ikatan emosional khusus dengan sepatunya. Pemilik harus yakin sepatunya akan dijaga dengan benar.

Yenda merintis usaha ini pada Oktober 2014 dengan membuka gerai di Pasar Santa. Shoebible menerima jasa cuci bersih semua jenis sepatu. Namun, tarif pencucian dibedakan menurut bahan sepatu. Untuk sepatu sneaker dan sepatu bahan kanvas, tarif cuci mulai Rp 60.000 per pasang. Sementara, untuk pencucian sepatu dari bahan suede dan kulit dipungut biaya Rp 147.000 per pasang.

Hingga kini, ada delapan gerai Shoebible yang tersebar di Jakarta, Tangerang, Padang, dan Yogyakarta. Tiga gerai di antaranya merupakan milik Yenda dan sisanya merupakan milik mitra yang bekerjasama dengannya.

Saban hari, jumlah sepatu yang dicuci di Shoebible rata-rata tiga pasang hingga tujuh pasang. Yenda bilang, tiap outlet selalu menerima sepatu untuk dicuci alias tak pernah kosong. Dus, dari usaha ini, Yenda dan Dian bisa meraup omzet Rp 70 juta per bulan.

Pemain lain dalam bisnis ini ialah Tirta Mandira Hudhi di Yogyakarta. Pria berusia 24 tahun ini mengaku sejak berkuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM), ia kerap mencoba peruntungannya dengan bisnis. “Tujuan saya menambah pemasukan untuk membeli buku dan peralatan kuliah,” ujar Tirta.

Erupsi Gunung Kelud tahun lalu jadi latar belakang Tirta merintis bisnis perawatan sepatu. Pasalnya, abu dari erupsi itu sampai ke Yogyakarta. Dus, banyak orang kesulitan membersihkan sepatu. Kebetulan, Tirta pernah beberapa kali menawarkan jasa membersihkan sepatu pada teman-temannya. “Momen itu yang membuat saya merasa bisnis ini memang punya potensi besar,” ucapnya.

Tirta pun menamakan usahanya Shoes and Care (SAC). Total gerai SAC hingga kini berjumlah 14 gerai. Sepuluh gerai di antaranya merupakan milik Tirta, sementara sisanya merupakan gerai mitra yang ada di Jakarta, Solo, dan Medan.

Tak hanya menerima jasa membersihkan sepatu, SAC juga bisa memperbaiki sepatu. Misalnya merekatkan kembali bagian midsole atau outsole sepatu yang lepas, serta pewarnaan ulang sepatu. Berbagai jasa tersebut ditawarkan dengan kisaran tarif Rp 25.000–Rp 300.000. Semakin sulit proses membersihkan atau memperbaiki sepatu, biaya yang dipungut tentu semakin besar.

Masing-masing outlet SAC menerima sekitar 30 pasang hingga 50 pasang sepatu untuk dicuci tiap hari. Bahkan, kata Tirta, gerainya di Yogyakarta pernah menerima hingga 90 pasang sepatu dalam sehari. Dus, kisaran omzet yang diperoleh dari tiap gerai ialah Rp 20 juta–Rp 70 juta per bulan. Tirta bilang, laba bersih yang diraup berkisar 20%–50% dari omzet. “Laba bersih itu tergantung umur outlet sudah jalan dan UMR di lokasi outlet,” sebut dia.


Banyak gerai
Layaknya usaha binatu pakaian yang selalu basah, demikian pula halnya dengan usaha perawatan sepatu. Apalagi, pemain dalam bisnis ini belum terlalu banyak seperti binatu pakaian. Namun, dari segi proses pencucian, mencuci sepatu tak sama dengan mencuci pakaian.

Beranjak dari pengalaman Yenda dan Tirta, para pemain di bisnis perawatan sepatu memiliki satu kesamaan, yakni sama-sama kolektor sepatu. Sebagai kolektor, mereka tahu seluk-beluk sepatu, mulai dari material yang digunakan serta cara perawatan.

Apalagi Yenda yang sempat jadi tenaga pemasaran di perusahaan sepatu. “Sebagai staf marketing, saya dituntut punya pengetahuan tentang produk. Dari situ, saya percaya diri untuk membuka usaha ini,” kata dia. Selain itu, Yenda kerap menambah pengetahuan dengan menjelajahi situs pencarian Google dan Youtube.

Hal yang sama juga dialami Tirta. Memiliki puluhan sepatu membuatnya punya pengalaman merawat sepatu. Tirta pun rajin melakukan riset agar ia paham betul menangani sepatu dari berbagai jenis dan bentuk.

Dari segi modal, Yenda merogoh kocek sebanyak Rp 70 juta. Sebagian dari modal itu digunakan untuk membuat produk pembersih. Menurut Yenda, persaingan di bisnis perawatan sepatu sudah mulai terasa kencang. Pemain-pemain baru bermunculan, baik di ibukota maupun di kota-kota lain.

Agar bisa mengungguli pemain-pemain lain, Yenda berpikir ia harus punya produk sendiri yang membedakan Shoebible dari binatu sepatu lainnya. Produk pembersih yang ia buat diberi merek Swasher. Produk ini terbuat dari bahan minyak bunga matahari dan minyak kelapa.

Yenda sengaja membuat produk pembersih dari bahan natural. Pasalnya, saat membersihkan sepatu, tangan pasti terkena sabun pembersih. “Dengan bahan natural, sepatu bersih, efek di tangan pun tidak bahaya,” ucap dia.

Awalnya, ia memproduksi 1.000 botol Swasher. Proses produksi diserahkan pada rekannya yang sudah berpengalaman. Sebelum membuka gerai di Pasar Santa, Yenda mengikuti bazar di Brightspot, tahun lalu. Tak disangka, semua produk terjual dalam bazar selama empat hari tersebut.

Yenda pun semakin percaya diri menawarkan jasa cuci sepatu. Terbukti sampai sekarang, 70% pendapatannya berasal dari jasa pembersihan sepatu. Sisanya merupakan hasil dari penjualan produk.

Selain untuk membuat produk, Yenda menggunakan modal untuk menyewa tempat usaha, serta membeli mesin steamer dan mesin pengering. Pria yang berumur 32 tahun ini bilang, dalam tiga bulan, ia sudah mencapai titik impas dalam usaha alias BEP.

Lain ceritanya dengan Tirta. Sebelum membuka toko, ia hanya mengeluarkan modal Rp 400.000 untuk membeli satu set produk pembersih. Untuk membuka toko Shoes and Care, ia menggelontorkan modal Rp 10 juta lagi untuk membeli stok pembersih dan Rp 20 juta untuk sewa tempat.

Dalam empat bulan saja, Tirta sudah BEP. Namun karena tak mau berada pada posisi nyaman, setelah BEP, ia kerap membuka gerai baru. “Saya merasa ada keharusan untuk bekerja lebih keras untuk memutar uang,” tuturnya.

Banyaknya gerai juga untuk memudahkan konsumen menjangkau SAC. Tadinya, kata Tirta, ia tak mau membuka cabang. Namun, order untuk membersihkan sepatu semakin banyak. Dus, mau tak mau ia harus menambah gerai agar waktu pencucian tak molor.

Di SAC, proses membersihkan sepatu dilakukan secara manual tanpa menggunakan mesin. Menurut Tirta, mesin pengering hanya akan merusak kualitas sepatu. Begitu juga untuk proses pewarnaan dilakukan manual tanpa bantuan mesin. Sementara, untuk proses reglue, ia menggunakan mesin press.

Tirta membantah bahwa bisnis ini merupakan jasa musiman. “Buktinya, hampir dua tahun kami selalu surplus dan momentum usaha juga naik terus,” ungkapnya. Menurut Tirta, ada beberapa hal yang membuat SAC terus berkembang. Salah satunya ialah layanan yang diberikan pada konsumen. Tirta bilang, konsumen bisa loyal karena mereka menganggap SAC bukan hanya jasa perawatan sepatu tapi juga menyediakan konsultasi gratis. “Semua orang yang datang untuk bertanya-tanya akan dilayani pegawai kami,” tambah dia.

Di samping itu, SAC berani memberi garansi. Untuk jasa pembersihan, SAC menjamin dalam dua hari. Bila konsumen tak puas, sepatu bisa dikembalikan untuk dibersihkan lagi. “Dengan catatan, sepatu tak dipakai selama masa garansi,” imbuh dia. Sementara, untuk jasa reglue atau menempel bagian yang rusak, garansi yang diberikan sampai tiga bulan.

Adapun karyawan untuk usaha ini tak perlu memiliki keterampilan khusus. Biasanya, karyawan akan dilatih sampai terampil membersihkan dan memperbaiki sepatu. Di Shoebible, karyawan tiap outlet berjumlah dua orang. Sementara, SAC memiliki empat orang karyawan di masing-masing gerai. Selain untuk merawat sepatu, karyawan bertugas sebagai kurir antar jemput sepatu.

Anda tertarik?   

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×