Reporter: Sri Sayekti | Editor: Tri Adi
Banyak orang di negeri ini mahfum mengenai pentingnya pendidikan formal. Namun, tak banyak yang mampu mengubah ilmu dari sekolahnya sebagai modal untuk sukses berbisnis.
Dari sedikit orang yang seperti itu, Rudolf P. Nainggolan salah seorang di antaranya. Dia sukses menjadi pengusaha di jalur yang sesuai dengan latar belakang pendidikan: teknologi telekomunikasi.
Rudolf kini memiliki tiga perusahaan di sektor telekomunikasi. Masing-masing PT Gihon Telekomunikasi Indonesia, provider infrastruktur; PT Wahana Infrastruktur Nusantara, bergerak di bidang proyek pembangunan infrastruktur tower; dan PT Dwidaya Amadeo Gemintang yang bergerak di bidang konten telekomukasi.
Rudolf pun aktif dalam kepengurusan Asosiasi Pengembang Infrastruktur Telekomunikasi (Aspimtel) dan sebagai anggota individu di Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel).
Keakraban Rudolf dengan teknologi telekomunikasi dimulai ketika ia diterima di Fakultas Teknik Elektro di Institut Teknologi Surabaya (ITS), tahun 1989, setelah mengenyam pendidikan dari SD hingga SMA di Denpasar Bali.
Saat menjadi mahasiswa, Rudolf juga aktif berorganisasi. Bahkan, pada 1992–1994, Rudolf menjadi Ketua Presidium Himpunan Mahasiswa Elektro ITS. Pengalaman berorganisasi itu ternyata berguna di masa depan. Rudolf mudah menjalin relasi dengan pengelola perusahaan telekomunikasi raksasa, seperti Indosat dan Telkom.
Setelah lulus kuliah, pada 1994, Rudolf meniti karier di PT Satelindo selama 1995-1997. Pada tahun 1996, Rudolf mendapat kesempatan dari Satelindo mengikuti pelatihan di London. Saat itulah Rudolf melihat majunya industri telekomunikasi terpadu yang terdiri dari infrastruktur seperti tower, jaringan, operator provider, hingga konten telekomunikasi.
Ia pun bermimpi memiliki usaha telekomunikasi seperti yang ia lihat di London. “Indonesia juga harus seperti ini,” batin dia waktu itu. Ide membangun industri telekomunikasi terpadu pernah ia sampaikan ke pimpinan Satelindo. Tetapi, kebijakan yang berlaku saat itu mengharuskan operator membangun infrastruktur sendiri.
Ketika masih menjadi pegawai Satelindo, Rudolf bertugas mencari lahan untuk membangun tower-tower, terutama di area Jakarta. Satu kisah yang ia kenang adalah saat hendak mendirikan tower di area ruko Harmoni, Jakarta Pusat. Saat itu ia berhasil melobi Hendra Raharja, pemilik Bank Harapan Santosa. “Kesepakatan kami waktu itu, di setiap cabang BHS akan ada tower,” ujar Rudolf.
Dalam tugasnya, Rudolf malah berurusan dengan hal-hal non-teknis, seperti mengantongi izin dari pengurus RT dan RW, melakukan pendekatan ke masyarakat sekitar, termasuk para preman.
Mimpi untuk menggulirkan usaha sendiri, seperti yang ia lihat di London, menjadi alasan Rudolf mengajukan surat permohonan berhenti ke Satelindo, mulai 1997. Memang, ia tak langsung berwirausaha, melainkan bekerja untuk beberapa operator dengan bidang pekerjaan pembebasan lahan yang akan dibangun tower.
Tersandung krismon
Saat mengawali usaha tahun 1997, Rudolf merogoh kocek Rp 50 juta dengan mendirikan PT Mitra Sistem Komunikasi Indonesia. Ia pun merekrut tiga orang karyawan tetap dan 15 orang karyawan kontrak.
Sebagai orang yang pernah bekerja di perusahaan telekomunikasi, Rudolf tak kesulitan menyemai order. Mitra mengantongi pesanan dari Satelindo dan Telkomsel.
Ujian yang dia hadapi justru datang dari kondisi ekonomi. Setelah menjadi pebisnis, Rudolf baru menyadari pahitnya krisis moneter pada April 1998. Supaya dapurnya tetap mengepul, Rudolf pun banting setir ke perikanan.
Rudolf membeli 2 unit kapal penangkap ikan berbobot mati 50 ton. Agar kapalnya tak kosong setelah memasok ikan, Rudolf menjalin kerja sama dengan rekannya asal Padang, mengangkut pakaian eks impor. Kala itu, pakaian bekas berasal dari Jepang dan Korea yang masuk ke Indonesia melalui Malaysia, lalu ke Sumatra Utara. “Saya buka lapak di lantai 3 Pasar Senen,” ujar Rudolf.
Rudolf pun berniat mencari kredit untuk membeli kapal baru. “Proposal kredit saya ditolak, tetapi saya malah ditawari pekerjaan,” jelas Rudolf.
Ketika itu Bank Mandiri baru saja dibentuk dari hasil merger beberapa bank. Rudolf mendapat order pekerjan di bidang mechanical electrical, telepon PABX dan juga interior untuk 20 kantor Bank Mandiri di Jakarta. Selama kurun waktu tahun 1998 hingga 2000 Rudolf menyelesaikan order pekerjaan dari Bank Mandiri.
Pada tahun 2000, Rudolf mendapat order pekerjaan dari Lippo Telecom untuk proyek di Jawa Timur. Setelah bisnis telekomunikasi menggeliat lagi, baru Rudolf mendirikan PT Gihon Telekomunikasi Indonesia, pada 27 April 2001. Agar bisa fokus dengan usahanya, Rudolf pun mempercayakan bisnis sebelumnya kepada rekannya dengan sistem bagi hasil.
Berkat reputasi dan pengalamannya bekerja sama dengan berbagai operator, Rudolf tidak kesulian mengibarkan bendera Gihon. “Terjadi lompatan penjualan,” ujar alumni program S-2 Manajemen Telekomunikasi UI ini. Pada tahun 2004, omzet Gihon mencapai Rp 100 milyar.
Saat menuntaskan jenjang pendidikan S-2, tahun 2003, Rudolf memilih tesis tentang pengembangan jaringan dengan sistem leasing. Ide Gihon itu, baru populer di antara operator seluler pada tahun 2004. Pelopor penerapannya saat itu adalah Telkomflexi.
Gihon, kini, memiliki 350 tower dan 150 collocation. Untuk agenda ekspansi, Gihon berniat membangun 87 tower baru di Banten, Bangka, Belitung, Palembang, dan Lampung.
Menurut Rudolf tahun 2011 hingga 2020 adalah masa konsolidasi bisnis bagi industri telekomunikasi. “Pilihannya merger atau tebas.” ujar Rudolf.
Akankah Rudolf bisa bertahan? Kita lihat saja nanti.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News