kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.343.000 -0,81%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Safitri memulai dari kebutuhan, jadi bisnis menguntungkan


Jumat, 17 Juni 2011 / 16:06 WIB
Safitri memulai dari kebutuhan, jadi bisnis menguntungkan
ILUSTRASI. Layar menampilkan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) saat dibukanya perdagangan saham di gedung Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Selasa (26/5/2020). IHSG dibuka menguat 32,16 poin atau 0,71 persen ke posisi 4.578,11 pada pukul 09.25 WIB. ANTARA F


Reporter: Anastasia Lilin Y | Editor: Tri Adi

Pandai melihat peluang mengantarkan Safitri mendulang laba dari pasar di Jepang. Mengibarkan bendera Azhar Halal Foods, dia menjual daging halal untuk warga muslim di sana. Usaha ini mendatangkan omzet hingga Rp 10 miliar setahun.

Asal ada tekad dan kerja keras, kesuksesan bisa diraih di mana pun, termasuk sukses menjalankan usaha di luar negeri. Hal ini tepat menggambarkan kisah Safitri dalam menjalankan usaha daging halal. Di bawah bendera Azhar Halal Foods (AHF), dia sukses memasok daging halal untuk seluruh wilayah Jepang.

Daging halal adalah daging yang dipotong sesuai dengan syariat Islam. Azhar Halal menjual daging ayam dan sapi dalam pelbagai potongan. Uniknya, harga jualnya lebih murah 10%–20% dibanding dengan daging yang berkualitas sama di pasar.

Tiap bulan Azhar Halal mampu menjual delapan ton daging ayam. Saat ini, Safitri menggandeng sekitar 20 agen yang tersebar di beberapa kepulauan di Jepang. Dalam setahun, Safitri mengaku perusahaannya mencetak omzet penjualan hingga Rp 10 miliar.

Safitri membangun bisnis ini dari ketidaksengajaan. Usaha ini tak bisa dilepaskan dari peran besar suaminya, Eko Fajar Nurprasetyo. Semula Eko, yang kala itu belum menikah dengan Safitri, ke Jepang lantaran mendapat beasiswa pendidikan S1 dari Pemerintah Jepang. Pria asal Surabaya tersebut mengenyam pendidikan di University of Kyushu.

Selama di tinggal di Osaka, Eko susah mendapatkan daging halal. Kalaupun ada, dia harus mencari di lokasi yang cukup jauh, yakni Kobe. “Itu pun dagingnya tak segar,” terang Safitri. Kendala yang dialami Eko ini jamak dirasakan oleh para pelajar muslim lain di negara itu.

Terdesak oleh kebutuhan, suatu kali, Eko mengakomodasi teman-temannya para pelajar Indonesia. Dia menjadi sukarelawan berbelanja daging halal bagi teman-temannya.

Namun, makin lama, cara ini mereka rasa cukup merepotkan. Akan lebih praktis jika dia bisa memastikan ayam hidup dipotong di tempat pemotongan hewan secara halal. Alhasil, Eko mencari tempat pemotongan yang memperbolehkannya memotong sendiri.

Sampai suatu ketika, pada tahun 1992, sebuah tempat pemotongan ayam di Fukoka memperbolehkan Eko memotong sendiri ayam hidup. Konsekuensinya, harga daging menjadi lebih mahal 20%–30% atau setara dengan harga toko.

Eko lantas mendistribusikan daging ayam potong kepada teman-teman yang sudah pesan. Jika harga beli ayam ¥ 800, ia menjual seharga ¥ 900, termasuk biaya ganti transportasi. “Suami saya cuma naik sepeda,” kata Safitri. Aktivitas tersebut dilakukan Sabtu pagi. Saban minggu, ia memotong antara 20–40 ekor ayam.

Menjelang akhir 1992, aksi Eko mulai didengar lebih banyak orang. Jumlah ayam yang dipotong pun kian banyak, sampai 100 ekor seminggu. Pada tahun 1994, jumlahnya sudah menjadi 400 ekor per minggu. Kala itu ia sudah tidak sendiri. Dia lantas menggandeng adik tingkat pelajar dari Indonesia yang sekolah di sana.

Lonjakan permintaan ayam potong yang berjauhan ternyata tak hanya merepotkan Eko, tapi juga pemilik tempat pemotongan. Lantaran kewalahan mengatur waktu pemotongan, akhirnya Eko terpaksa pindah ke tempat pemotongan yang kapasitasnya lebih besar.


Inovasi produk

Tahun 1995, jumlah ayam yang dipotong per minggu mencapai 4.000 ekor. Jangkauan wilayah distribusi Eko meliputi seluruh Pulau Kyushu yang besarnya separuh Pulau Jawa.

Pada tahun tersebut, sebagai istri Eko, Safitri yang semula menjadi penonton mulai turun tangan. Eko juga mulai menyerahkan tampuk pengelolaan bisnis ini ke istrinya. Saat itu ia harus lebih konsentrasi menyelesaikan kuliah. “Tahun 1995, kami mulai serius berbisnis. Kami menata sistem pembukuan dan manajemen,” katanya.

Pembenahan itu mulai dengan pengadaan mobil dan kulkas jumbo yang nilainya sekitar Rp 50 juta. Demi mempermudah pemesanan dan pemasaran, Safitri juga membuka website resmi. Ia tidak menggunakan cara pemasaran lain. Selebihnya hanya dari mulut ke mulut.

Sukses di bisnis daging halal ini memunculkan pesaing-pesaing baru. Sadar akan persaingan bisnis yang makin ketat, Safitri mulai membuat inovasi produk. Mereka mulai memproduksi produk olahan halal seperti sosis. Safitri tidak membuka pabrik sendiri, melainkan menjalin kerjasama dengan mitra. Dengan menetapkan standar dan syarat tertentu, sosis dijual dengan merek Azhar Halal.

Sambutan terhadap sosis halal ini ternyata cukup besar. Buktinya, permintaan yang masuk bisa lima kali lipat dari kapasitas produksi sebanyak 400 kilogram (kg) sebulan. Kapasitas terbatas lantaran diproduksi secara rumahan.

Pada tahun 2006, Azhar Halal mulai menjual daging wagyu halal. Daging sapi berkualitas itu mereka ekspor ke Kuwait dan Qatar. Meski permintaannya tidak ajek, sekali pesan bisa sampai 300 kilogram.

Tiga tahun terakhir, Safitri dan suami sudah pulang ke Indonesia. Roda bisnis di Jepang dijalankan oleh orang kepercayaan mereka. Kini mereka hanya memantau dari jauh.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×