Reporter: Gloria Natalia | Editor: Tri Adi
Dari Wonogiri, Sakidjan muda bertekad mencari uang di Jakarta. Di Ibukota, ia banting tulang jadi kuli bangunan, hingga akhirnya mendapat pekerjaan sebagai penjaja mi ayam gerobak. Siapa sangka, kini, Sakidjan pun menjadi bos mi ayam dengan 13 gerai dan 100 gerobak mi ayam.
Di usia 16 tahun, Sakidjan kecil merantau ke Jakarta mengikuti jejak teman di kampung. Ia termasuk nekad. Tak ada bekal ijazah atau pun kerabat di Jakarta. "Tidak ada pekerjaan di Wonogiri. Itu yang membuat saya merantau ke Jakarta," kata Sakidjan berkisah.
Sesampai di Jakarta, Sakidjan bekerja sebagai tukang bangunan di daerah Cempaka Putih, Jakarta Pusat. Hanya tiga minggu bertahan, Sakidjan lantas beralih menjadi kernet penjaja mi ayam via gerobak. Selain mendorong gerobak, ia juga bertugas memukul kentongan pemanggil pembeli. "Hampir satu bulan saya tak digaji karena tak punya kemampuan apa pun," ucapnya.
Kala itu, ia menetap di Blustru yang menjadi pusat pedagang mi ayam. Sakidjan tidur di dalam gudang tak terpakai, bersama kawan-kawannya. Satu bulan berlalu, akhirnya diberi upah makan Rp 50 per hari. Waktu itu harga sepiring nasi dan lauk Rp 20, jadi upahnya cukup buat makan dua kali.
Tak puas dengan penghasilan kecil, Sakidjan belajar meracik mi ayam hingga bisa membuat mi sendiri. Lantas, ia diperbolehkan mendorong gerobak mi ayam sendiri dengan lokasi jualan di Lokasari, Mangga Besar.
Ia menjual seporsi mi ayam Rp 40. Bila dagangannya habis, ia pun mendapat upah Rp 300 dari sang majikan. Pada tahun 1975, ada seorang yang menjual pangkalan mi ayam di Jembatan Lima, Tambora. Sakidjan pun membeli pangkalan itu seharga Rp 40.000. "Saya ingin buka usaha sendiri," katanya.
Ia mulai berani menyewa gerobak mi dari Blustru. Rupanya, dagangannya laris. Beberapa bulan berselang, Sakidjan pun menambah gerobaknya di lokasi lain, yakni Jalan Kopi di kawasan Kota, Jakarta Barat.
Bahkan, di Jalan Kopi ini Sakidjan memiliki dua gerobak mi. Dalam sehari di setiap gerobak ia mampu menjual tiga kilogram mi setara 40 mangkuk mi.
Hanya, ketika lapaknya di kawasan kota makin laris, gerobaknya di Jembatan Lima sepi. Tak hanya itu, pada tahun 1981, Sakidjan harus menutup pangkalannya lantaran lokasi itu akan dijadikan ruko.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News