Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi
Setiap orang punya hasrat sendiri. Demikian juga dengan Meri Yu Arif yang menyadari hasrat pada dirinya adalah berjualan. Meri berhasil mengembangkan bakatnya. Tak hanya berjualan, kini perempuan 32 tahun ini juga memproduksi tas kulit yang menjadi incaran perempuan kelas atas negeri ini.
Meri mungkin tak pernah menyangka dirinya akan menjadi seorang pengusaha. Lulus dari Fakultas Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dia terpanggil menjadi aktivis perempuan. Namun, pilihan menikah di usia muda memupus impiannya. Lantaran langsung hamil, sang suami, Setiawan Ananto, melarangnya bekerja.
Tak terbiasa hidup menganggur, Meri pun mencari kegiatan yang bisa menghasilkan uang. “Saat itu, saya menerima pekerjaan memasang kancing dengan upah Rp 25 per kancing,”
kata Meri. Dia pun masih mengingat, uang hasil pekerjaan itu dipakainya untuk membeli perlengkapan bayi untuk anaknya yang akan lahir.
Pekerjaan pasang kancing ini membawanya akrab dengan Pasar Tanah Abang. Perempuan asal Padang ini pun tertarik menjual baju yang dia ambil dari pedagang di pasar tersebut. “Saya juga jual Tupperware, dengan perputaran uang lumayan,” cetusnya. Dari situlah, tebersit ide punya bisnis sendiri untuk menopang ekonomi keluarganya yang pas-pasan.
Booming BlackBerry membawa berkah bagi dia. Seorang teman meyakinkannya bahwa gawai ini dapat memuluskan usahanya lewat penjualan online. Meri pun memaksakan diri membeli BlackBerry dengan mencicil. Dari berjualan online inilah, dia mengenal produk vinil. “Ada teman yang meminta saya menjual produk vinil miliknya,” kata Meri.
Tak disangka, penjualan pernak-pernik berbahan vinil, seperti set stoples, keranjang majalah, kotak tisu, tempat sampah dan lainnya, berkembang pesat. Meri bilang, dia yang awalnya hanya bisa mengantongi Rp 500.000 per bulan, bisa mendapatkan Rp 200.000 per hari dari vinil. “Saya dan suami senang sekali, karena bisnis ini mampu mem-back up ekonomi keluarga kami,” kenang Meri.
Lantas, mereka berpikir untuk lebih serius berbisnis produk vinil. Februari 2011, Meri mengajak perajin di Yogyakarta bekerjasama. Namun, hanya bertahan tiga bulan, kerjasama yang awalnya berjalan mulus menjadi tersendat. Padahal, nilai order yang datang padanya sudah lebih dari Rp 10 juta per minggu. Kondisi ini memaksa Meri untuk membuka bengkel sendiri. Pada 6 November 2011, bermodal Rp 8 juta, Meri membuka bengkel Biyantie di Pelataran Kidul, Yogyakarta.
Sejak punya produksi sendiri, Meri sadar pentingnya brand. Nama Biyantie sendiri adalah pemberian seorang teman yang merasa nama tersebut cocok dengan sosok Meri yang aktif, energik, dan luwes. Hal itu juga tecermin dari produk vinil Biyantie yang eksklusif, berkualitas tinggi dan tampil beda.
Meri tahu benar kunci untuk membuat produknya berlari kencang. Dari bahan baku, misalnya. Supaya berbeda dengan produk vinil lain asal Yogya, dia belanja bahan vinil dari Jakarta. “Saya ke kota mencari gulungan vinil yang baru datang,” ujar dia. Alhasil, jika produk lain hanya tampil dalam warna-warna cokelat tua polos, produk Biyantie tampil dengan ragam warna dan motif, menyesuaikan kehidupan Jakarta.
Beralih ke kulit asli
Produk vinilnya pun jadi trend setter. Selain dijual ritel, produk Biyantie mengisi sejumlah hotel di Indonesia. Hanya dalam waktu dua tahun, Meri bisa jadi produsen vinil yang cukup diperhitungkan di Kota Gudeg. Dia pun harus bolak-balik ke Yogya untuk memantau usahanya. Saat itu, ada sekitar 15 orang bekerja untuk dia.
Sayang, kehamilan kedua memaksanya untuk istirahat total. Meri pun terpaksa membatasi kunjungan ke Yogya hingga anak kedua lahir. Karena sentuhan langsung dirinya berkurang, pelan-pelan guliran roda usahanya melambat. “Satu per satu karyawan keluar. Selain ada masalah antar karyawan, mereka juga diincar oleh produsen lainnya,” kata Meri. Februari 2013, Meri menghentikan produksi vinil.
Penutupan bengkel produksi membuat Meri depresi. Namun, Dewi Fortuna masih berpihak padanya. Ketika proses pene-nangan diri di Padang, dia mendapat tawaran pameran di Ina-craft dari Dinas Perindustrian. “Saya bingung, tak tahu akan menjual apa karena saya benar-benar tak punya barang saat itu. Modal juga habis,” terang Meri.
Untung saja, ada seorang teman sesama perajin di Yogya yang bersedia mengirim produk tas kulit untuk mengisi stan Biyantie. “Ternyata, tas kulit itu laris manis. Usai pameran, saya hanya bawa empat tas,” kata Meri. Tak hanya itu, selanjutnya, banyak pengunjung pameran menghubungi Meri menanyakan produk tas kulit.
Tak mau melewatkan peluang, Meri menjajaki kesempatan menjadi reseller. Lantaran jiwa pedagang melekat padanya, hanya butuh waktu empat bulan untuk menorehkan omzet besar. Sayang, seiring waktu berjalan, produsen tas kulit tak bisa mengikuti perkembangan order dari Meri, baik soal kualitas maupun kuantitas. Berangkat dari masalah ini, Meri memutuskan untuk memproduksi tas kulit sendiri.
Awalnya, dia menggandeng perajin untuk bekerjasama. Tapi, lantaran banyak menuai kekecewaan, dia menghentikan kerjasama. Kembali Meri membuka workshop produksi dengan modal Rp 10 juta di
Pangadegan, Jakarta Selatan. “Saya berani memulai workshop ini karena yakin pasar tas kulit ini bagus,” kata Meri, yang menjual lebih dari 30 tas kulit saban minggu.
Produk tas kulit Biyantie makin dikenal. Mengusung kualitas, Meri memposisikan produknya untuk kalangan atas dan ekspatriat. “Mereka sudah lebih teredukasi tentang produk kulit yang berkualitas,” kata Meri yang menggunakan bahan kulit kelas satu untuk Biyantie. Tas kulit Biyantie dipatok dengan harga mulai Rp 900.000 hingga Rp 2,5 juta per unit.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News