kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Semakin asyik, potensi laba si generik


Senin, 13 Juni 2016 / 14:24 WIB
Semakin asyik, potensi laba si generik


Reporter: Dadan M. Ramdan, Oginawa R Prayogo | Editor: S.S. Kurniawan

Pemberlakuan sistem Jaminan Kesehatan Nasioal (JKN) melalui Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan telah mengubah pola kebiasaan masyarakat dalam berobat.

Adapun biaya pengobatan dan perawatan kesehatan di fasilitas kesehatan, khususnya pada rumahsakit milik pemerintah dan rumahsakit yang berkerjasama dengan BPJS Kesehatan, semakin terjangkau masyarakat.

Biaya kesehatan yang semakin murah ini tidak terlepas dari kebijakan Kementerian Kesehatan yang mewajibkan seluruh fasilitas kesehatan milik pemerintah menggunakan obat generik esensial dalam kegiatan pelayanan kepada masyarakat.

Di samping itu, dokter, pengelola instalasi farmasi rumahsakit, dan apoteker juga diwajibkan meresepkan dan mengganti obat yang merek dagang dengan obat generik.

Jauh sebelum JKN diberlakukan, biaya berobat di klinik, dokter praktik, hingga rumahsakit, terlebih swasta, sangat mahal. Salah satunya disebabkan penggunaan obat paten. 

Alhasil, sejak pemberlakuan BPJS Kesehatan, penggunaan obat generik melonjak. Data Pengurus Ikatan Apoteker Indonesia menyebutkan, sebagian besar obat-obatan yang termasuk dalam Formularium Nasional merupakan obat generik.

Sejatinya, kebutuhan obat generik yang tinggi pada program BPJS Kesehatan menjadi angin segar bagi pebisnis farmasi dari skala besar hingga kecil. Untuk 2016 saja, nilai lelang obat lewat e-catalog yang diikuti 40 perusahaan farmasi senilai Rp 2 triliun untuk 350 jenis obat.

Di sisi lain, meningkatnya penggunaan obat generik membuka peluang usaha bagi peritel dan eceran untuk mendirikan usaha apotek mini dengan modal yang tidak begitu besar. Sebab, obat yang dijual nantinya sebagian besar adalah obat generik.

Chazali Situmorang, pemilik Apotek Budi Farma, mengatakan, tren meningkatnya penggunaan obat generik menjadi momentum bagi apoteker yang  selama ini bekerja pada Pemilik Sarana Apotek (PSA) bisa mandiri dengan membuka usaha apotek mini.

“Dulu, untuk membuka usaha apotek memang membutuhkan dana besar yang bisa mencapai ratusan juta,” katanya.

Kebanyakan, para apoteker hanya bekerja sebagai penangung jawab apotek (APA) dengan gaji kecil. Sehingga, dengan penghasilan yang tidak begitu besar itu, tidak mungkin mereka mampu merintis usaha mandiri dengan modal yang mencapai ratusan juta.

Bahkan, untuk membeli lisensi apotek waralaba, harus menyediakan modal hingga miliaran rupiah. Tak ayal, yang sanggup mendirikan usaha apotek hanya mereka yang bermodal tebal. 

Chazali menjelaskan, dana investasi yang jumbo tersebut salah satunya untuk membeli stok obat paten yang  harganya sangat mahal. Kini, modal sedikit juga bisa untuk membuka usaha apotek dengan memperbanyak stok obat generik yang harganya jauh lebih murah ketimbang obat bermerek.

“Untuk mendirikan apotek mini, bisa dimulai dengan modal Rp 50 juta–Rp 100 jutaan,” hitung Chazali, yang belum lama pensiun sebagai ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional.

Saat memulai usaha apotek awal 2012, Lukman Haris, pemilik Apotek F21, hanya berbekal modal sekitar Rp 50 juta–Rp 60 juta. Modal tersebut dibelanjakan untuk stok obat, peralatan apotek, biaya karyawan, mengurus perizinan, dan lainnya.

Sementara untuk tempat, memakai sebagian ruangan rumah milik mertua. “Untuk membuka usaha apotek kecil-kecila saat ini, setidaknya diperlukan modal Rp 80 juta. Sebab kenaikan obat rata-rata 5%-10% per tahun,” sebut dia. 

Keuntungan sama

Dari sisi bisnis, pemakaian obat generik menguntungkan bagi peritel dan eceran karena memberi peluang untuk mendirikan apotek mini. Sebaliknya, bagi pedagang obat besar dan pabrikan, obat generik dianggap kurang menguntungkan karena harganya murah.

“Bagi pedagang besar, bisnis obat generik tidak menarik karena  keuntungan recehan,” tutur Chazali.

Menurut mantan Deputi Menko PMK Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat ini, perbandingan harga obat generik dengan obat paten mencapai 1:10.

Sebagai contoh,  obat Captopril untuk tekanan darah tinggi yang generiknya hanya seharga Rp 1.000 per strip. obat patennya dijual dengan harga  antara Rp 10.000–Rp 15.000 per strip.

“Malah, sekarang konsumen beli langsung satu dus, bukan satu strip lagi karena murah,” papar Chazali yang memiliki beberapa apotek di Depok dan Bogor.

Meski demikian, nilai penjualan obat menjadi lebih rendah  meski secara volume meningkat akibat tingginya permintaan obat generik. Sementara untuk margin laba tetap, namun akumulasinya menurun akibat harga jual obat generik lebih rendah ketimbang obat paten.

Persentase keuntungan bersih tetap, misalnya 10% dari omzet Rp 1.000. Artinya, keuntungan dari penjualan sebesar Rp 10. Jika omzetnya Rp 5.000, maka keuntungannya menjadi Rp 50, dan begitu seterusnya.

Sebab itu, Chazali menyarankan, peminat usaha apotek mini sebaiknya menggenjot volume penjualan seiring tingginya permintaan obat generik agar keuntungan berlipat ganda.

Bagi apotek mini, penjualan obat generik juga memberi keleluasaan dalam memutar modal usaha yang relatif tidak besar. “Bagi pengusaha besar tentu memilih menjual dua motor sehari seharga Rp 20 juta ketimbang jualan nasi dengan keuntungan 50% dari omzet Rp 500.000 sehari,” beber Chazali memberikan ilustrasi.

Lukman mengungkapkan, keuntungan dari usaha apotek berada di kisaran 20%-30%, baik untuk obat generik maupun obat paten. “Dari pengalaman saya, bisa balik modal dalam enam bulan, tapi tergantung daerah juga,” akunya yang memiliki tiga gerai apotek di Kediri dan Yogyakarta.

Nah, persoalan laku atau tidaknya, kedua jenis obat ini potensinya sama, yakni laris- manis. Namun demikian, permintaan obat paten bermerek masih tetap tinggi karena sudah dikenal luas.

Lukman memaparkan, jika laba kotor sebesar 20%, maka pembagiannya sebesar 10% untuk biaya operasional dan 10% untuk keuntungan bersih. Apabila omzetnya makin besar, maka keuntungan bersihnya pun berlipat. “Kalau biaya operasional cenderung tetap nilainya,” imbuhnya.

Persiapan membuka apotek

Memulai usaha atau bisnis tidak harus dari hal yang besar. Begitu pun dengan apotek. Jika Anda memiliki modal terbatas, rintisan bisa dengan membuka apotek mini. Hal itu yang dulu dilakukan Chazali.

Awalnya, lulusan pendidikan apoteker Universitas Sumatra Utara ini menjadi penanggung jawab apotek milik orang lain. “Saya memutuskan membuka usaha apotek sendiri tahun 2005,” ungkapnya.

Singkat cerita, berkat ilmu dan pengalamannya mengelola apotek, usaha Apotek Budi Farma yang terletak di Jalan Raya Bogor Km 35,5 Perumahan Jatijajar Blok B1 Nomor 17 Depok, terus berkembang. Waktu itu dia merintis usaha jualan obat-obatan tersebut dari nol.

Seiring waktu berjalan, Apotek Budi Farma yang kini punya cabang di Bogor sudah meraup omzet hingga ratusan juta rupiah. “Padahal hari pertama buka dulu, omzet cuma Rp 500.000,” kenangnya.

Salah satu kunci keberhasilan dalam bisnis apotek adalah memiliki lokasi yang strategis. Lokasi akan menentukan strategi pengembangan selanjutnya. “Lokasi apotek harus di pusat keramaian seperti pasar atau  dekat kantor pemerintahan selain mudah dijangkau,” terang Lukman.

Chazali membeberkan, pemilihan lokasi apotek sangat menentukan kelanjutan usaha Anda ke depan. Survei lapangan dibutuhkan untuk mengukur strategis atau tidak lokasi yang Anda pilih. Tak terhitung apotek yang gulung tikar gara-gara tidak cermat dalam membaca lokasi.

Chazali mengemukakan, ada dua parameter menentukan lokasi yang pas untuk usaha apotek. Pertama, pendekatan lingkungan atau komunitas, seperti perumahan padat penduduk atau kawasan industri yang banyak pekerja. Kedua, pendekatan kawasan bisnis.

Biasanya lokasi apotek yang cocok berada di jalan utama atau pusat perbelanjaan. Selain dua parameter tadi, Chazali menambahkan, aspek yang juga harus Anda perhatikan adalah angka kesakitan dalam suatu kawasan. Hal ini untuk mengukur tingkat kebutuhan obat di masyarakat.

Setelah menemukan lokasi yang pas, Anda tinggal mengurus legalitas apotek ke dinas kesehatan setempat. Lukman memerinci, setidaknya ada dua surat izin yang harus dikantongi, yakni Surat Izin Apoteker (SIPA) dan Surat Izin Apotek (SIA). 

Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) akan memberikan rekomendasi untuk perizinan apotek tersebut. “Di apotek harus ada apoteker sebagai penanggung jawab. Rekomendasi apoteker ini dkeluarkan oleh IAI,” ujarnya.

Kendati bisnis apotek sangat menjanjikan dan kebal krisis,  Lukman mengakui persaingannya semakin berat akibat pelaku usaha di bidang ini semakin banyak. Untuk itu, jangan lupa, yang juga menjadi kunci utama dalam mengembangkan usaha apotek adalah pelayanan terbaik kepada pelanggan. 

Maksudnya, upayakan ketika konsumen membeli obat, barangnya ada, jangan sampai kosong. Jika tidak, pelanggan bakalan lari. “Jika konsumen puas, maka mereka akan datang lagi alias repeat order,” catat Lukman.  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×