Reporter: Yuthi Fatimah | Editor: Rizki Caturini
Adi Pramudya adalah anak ketiga dari empat bersaudara. Jiwa bisnisnya mengalir dari kedua orang tuanya yang juga berprofesi sebagai pengusaha toko kelontong. Dari situlah orang tua Adi menghidupi keempat anak-anaknya.
Namun, cobaan sempat melanda keluarga Adi. Saat pria asal Pati, Jawa Tengah ini duduk di bangku SMP, toko kelontong yang merupakan sumber penghidupan keluarganya lenyap terbakar si jago merah. "Setelah kejadian itu saya sampai harus memberikan seluruh tabungan saya kepada ibu sebesar Rp 500.000 untuk membayar tagihan listrik dan air," kata Adi.
Itu merupakan saat-saat terberat buat Adi karena harus melihat orang tuanya memulai kembali dari nol untuk membangun perekonomian keluarga.
Tragedi itulah yang membuat Adi termotivasi untuk membahagiakan orang tuanya. Dari situ dia bertekad untuk bisa mandiri dan tidak mau terlalu lama merepotkan orang tua.
Berkat diskusi bersama kakaknya setelah lulus (SMA), Adi pun memutuskan untuk mencoba berbisnis. "Kakak saya bilang, untuk dunia kerja lima tahun ke depan itu susah, tapi untuk buka usaha peluangnya masih besar," kata Adi.
Sembari menunggu jadwal mulai perkuliahan di Universitas Gunadarma, Depok, Adi mencoba peruntungan di bisnis kuliner dengan menjual pisang cokelat menggunakan gerobak di Jagakarsa, Jakarta.
Namun, usahanya tidak berjalan lama, hanya sekitar delapan bulan. Sebab, dia kesulitan untuk mencari sumber daya manusia (SDM). "Karena waktu itu saya juga masih kuliah, jadi ketika karyawan keluar, tidak ada yang mengurus usaha itu," jelas Adi.
Meski usaha perdananya kandas, laki-laki perantauan dari Pati ini tetap mencari jalan untuk bisa mendapatkan penghasilan sendiri sembari kuliah. "Saya sempat menjajakan madu hingga deterjen," kata dia.
Sampai akhirnya dia bertemu dengan seseorang yang bisnis di bidang pertanian ketika bertandang ke daerah Jonggol, Bogor oleh seorang kerabat. Di sana dia melihat lahan yang masih luas dan menganggur. Lalu terbersit di pikirannya bahwa ada potensi besar jika bisa menggarap lahan kosong tersebut. Selain itu, dia juga berpikir bahwa banyak anak muda yang lebih memilih untuk bekerja kantoran ataupun kalau berbisnis memilih sektor fesyen. "Kalau semua anak muda begitu, lalu siapa yang mau jadi petani? Padahal semua orang butuh makan," kata dia.
Dari situ Adi bertekad untuk menekuni usaha agribisnis. Pada 2011, pria lulusan Teknik Industri ini menyewa lahan dengan luas tidak sampai 1 hektare (ha) seharga Rp 2,5 juta. Uang tersebut dia dapat dari hasil meminjam uang sang kakak. Komoditas pertama yang dia tanam adalah singkong. Alasannya, karena pemasaran singkong relatif mudah dan banyak produk turunannya.
Ternyata, harga jual hasil panen singkong yang tidak stabil di pasar. Ini membuat laba bersih yang dia dapat terlampau kecil. Lantas Adi mencoba peruntungan dengan menanam tanaman lain yaitu lengkuas di 2012 pada lahan seluas 2 ha. Adi membagi separuh lahan untuk bibit dan sebagian untuk sampai panen. n
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News