Reporter: Fahriyadi | Editor: Tri Adi
Virus flu burung ikut menghantam pasar burung di Kelapa Gading ini pada 2006 silam. Omzet pedagang turun drastis hingga 75%. Namun, kondisi itu segera pulih karena banyak pelanggan yang loyal. Kini, setelah tiga tahun berlalu, pedagang pun bisa menikmati omzet berlipat.
Wabah flu burung yang melanda Tanah Air pada 2006 hingga 2008, menjadi pukulan telak bagi para pedagang burung dan unggas di seluruh Indonesia. Pukulan itu juga dirasakan pedagang di sentra penjualan burung di Jalan Pelepah Raya, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Para pedagang pun harus menelan pil pahit. Mereka harus rela omzet penjualan turun hingga 70%. Meski ada yang masih bertahan, beberapa pedagang yang sudah tak sanggup menanggung rugi harus rela gulung tikar atau mengalihkan kiosnya ke pedagang lain.
Mitro, pemilik Toko Sangkar Berkah yang memulai berjualan burung sejak 2001, menceritakan, imbas dari virus H5N1 ini cukup dahsyat bagi kelangsungan bisnis para pedagang. Sekadar gambaran, sebelum wabah flu burung, ia bisa mendulang omzet Rp 5 juta hingga Rp 6 juta per hari. "Saat flu burung menjalar dan menimbulkan keresahan di masyarakat, omzet menurun lebih dari 50%," tandasnya.
Tiga tahun berselang, penjualan di gerainya pun mulai bangkit. "Saat ini, minimal omzet yang kami peroleh sekitar Rp 2 juta per hari atau Rp 60 juta per bulan," ucapnya.
Mitro memang beruntung. Selain sudah memiliki kios sendiri, ia juga mempunyai pelanggan loyal yang hampir tak terpengaruh isu flu burung. "Saat puncak wabah, memang masih ada beberapa penggemar burung yang datang ke sentra ini," ujarnya.
Sejauh ini Mitro menjual burung kicau mulai dari harga Rp 500.000 hingga Rp 1,5 juta, tergantung kemerduan dan keunikan suara burung tersebut. Selain itu, ia juga menjual pakan ternak dengan harga mulai dari Rp 6.000-Rp 12.000 per bungkus, serta sangkar burung seharga Rp 200.000 plus kelengkapan sangkar, seperti wadah air minum seharga Rp 10.000. "Saya melihat potensi pada bisnis seputar burung berkicau masih bagus," katanya.
Sidul, pemilik Imaco Fauna, kini juga merasakan rezeki dari burung telah kembali. Saat wabah flu burung dulu, omzet Sidul bahkan terpangkas hingga tinggal 25%. "Itu ujian terberat dalam bisnis ini," tuturnya.
Sebelum wabah merajalela, kiosnya bisa meraih omzet minimal Rp 1 juta per hari, "Tapi saat flu burung terjadi, pernah saya hanya mendapat Rp 50.000 per hari," jelas lelaki 27 tahun ini.
Berbeda dengan Mitro yang bisa menjual burung hingga jutaan rupiah, harga burung yang dijual Sidul paling mahal hanya mencapai Rp 500.000. Maklum, ia tak pernah mengikutsertakan burung dagangannya dalam kontes yang bisa mendongkrak harga.
Sinaga Wiyogo, pemilik Yoshiko Birdshop, juga meyakini bahwa prospek usaha penjualan burung di sentra ini bagus. Saat flu burung, omzet memang turun drastis, tapi kini telah mendekati normal.
Menurut pria yang akrab disapa Ahay ini, 80% pengunjung sentra ini adalah orang-orang yang hobi burung. Adapun sisanya adalah peserta kontes. "Para peserta kontes inilah yang biasanya justru tak terpengaruh oleh isu flu burung," kata Ahay. Dari bisnis ini, ia pun bisa menangguk omzet Rp 50 juta per bulan.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News