Reporter: Diade Riva Nugrahani | Editor: Tri Adi
Produsen genteng di Sumberingin biasanya memperoleh bahan baku dari Pongkalan, Kecamatan Wonotirto, Kabupaten Blitar. Daerah ini berjarak 35 km dari Tulungagung dan memiliki gunung tanah lempung. Tanah lempung inilah yang dimanfaatkan warga di sekitar Blitar untuk membuat genteng dan keramik.
Tak hanya musim hujan yang menjadi kendala besar dalam bisnis genteng di Sumberingin, Tulungagung. Kendala lain yang juga mengelayuti perajin genteng di sentra tersebut adalah minimnya modal. Selain itu, persaingan mendapatkan bahan baku di antara para pengusaha genteng juga kiat ketat.
Tanah lempung sebagai bahan utama genteng juga menjadi incaran pengusaha keramik yang memiliki modal lebih besar. Dengan modal minim, produsen genteng tak pernah menang saat bersaing mendapatkan bahan baku tersebut.
Sebagai gambaran, jika pengusaha keramik mampu membeli hingga 2.000 truk setiap tahun, pengusaha genteng hanya sanggup membeli 150 truk atau sekitar 900 ton tanah liat. Kondisi ini membuat Mahpud dan pembuat genteng Sumberingin lainnya tak memiliki stok tanah liat di rumahnya. Akibatnya, jika ada pesanan yang harus segera diselesaikan, mereka kesulitan memenuhinya. "Kalau ada stok, kami langsung bisa bikin kalau ada pesanan," ujarnya.
Saat stok menipis dan terjadi hujan, mereka kesulitan mendapatkan bahan baku karena lokasi pengambilannya ada di tengah hutan. Saat hujan seperti itu, kiriman tanah liat nyaris tak datang ke rumah Sukamto ataupun Mahpud. Sebaliknya, jika musim kemarau tiba, kiriman tanah liat dari Blitar bisa berlimpah ruah.
Satu minggu, ada tiga sampai empat truk bermuatan lempung datang ke rumah Sukamto ataupun Mahpud. Satu truk tanah liat harganya sekitar Rp 300.000. Ini sudah termasuk biaya sopir dan bensin.
Saat pasokan menipis, pengusaha genteng terpaksa membeli genteng dari pengusaha marmer. Maklum, dengan modal yang lebih besar, para pengusaha marmer bisa menimbun stok tanah liat dalam jumlah banyak saat musim hujan.
Biasanya pengusaha marmer menjual tanah lempung itu lebih mahal 20% . Meski lebih mahal, para pengusaha genteng tetap membelinya agar tak mengecewakan pemesan.
Selain terkendala bahan baku, para pengusaha genteng juga kesulitan permodalan. Sejak tahun 2003, sebenarnya sejumlah pengusaha genteng di Sumberingin sudah menerima pinjaman lunak dari Telkom, Madiun berkisar Rp 50 juta-Rp 70 juta per kepala keluarga. Bunganya cukup mungil, yakni 4% per tahun.
Sayangnya, banyak pelaku industri kecil ini yang menyalahgunakan pinjaman tersebut. Tak heran, dari sekitar 150 kepala keluarga yang menggeluti bisnis genteng ini, hanya sekitar 43 kepala keluarga yang mampu bertahan memproduksi hingga 50.000 genteng setiap bulannya. Pengusaha genteng sisanya hanya bisa memproduksi jika ada pesanan.
Selain itu, di tahun yang sama, pelaku industri genteng Sumberingin juga menerima pelatihan manajemen dan pemasaran. Pelatihan dimaksudkan agar pelaku industri genteng Sumberingin termotivasi dan berani bersaing dengan industri genteng pabrikan.
Ke depan, Sukamto berharap pemerintah mau ikut membantu pengusaha genteng Sumberingin meningkatkan jumlah produksi genteng dengan suntikan modal pinjaman berbunga lunak.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News