Reporter: Dea Chadiza Syafina | Editor: Tri Adi
Dulu pasar Bali menjadi andalan penjualan gerabah buatan Serang. Namun, semenjak kejadian pengeboman di Pulau Dewata, pasar Bali tidak bisa dinikmati lagi. Karena itu, mereka lalu memindahkan pasar ke Jabodetabek, walaupun omzet harus menyusut 80% dari sebelumnya.
Pernah mengalami kejayaan di tahun 1990-an, sentra gerabah di Desa Bumi Jaya, Serang, Banten, kini mulai ditinggal pembeli. Aksi terorisme pengeboman di Bali dituding sebagai penyebab utama meredupnya sentra gerabah ini.
Masali, perajin di sentra gerabah Serang, bercerita, di masa keemasannya, jumlah perajin gerabah mencapai 500 orang. Dari penduduk di 10 rukun tetangga (RT) yang ada di Desa Bumi Jaya, Serang, sembilan di antaranya menyandarkan hidup dari kerajinan gerabah.
Dulu, sebagian besar produk gerabah dibeli para pedagang gerabah di Bali. Menyasar wisatawan baik mancanegara maupun domestik, tiap minggu sedikitnya ada 20 truk gerabah menuju Bali. "Pasar gerabah kami di Bali memang yang paling dominan," ucap Masali, mengenang.
Ia menyebutkan, satu perajin gerabah di sentra ini sanggup mengirimkan satu truk besar dengan muatan gerabah senilai Rp 30 juta sampai Rp 50 juta. Namun, sejak bom teroris meledak di Bali pada 2002, penjualan gerabah di sentra itu menyusut drastis. Bahkan sampai sekarang pasar gerabah Serang belum pulih seperti era sebelum bom meledak.
"Bom Bali II tahun 2005 paling besar pengaruhnya, apalagi salah satu pelakunya berasal dari Serang," kata Jamallullael, Ketua Koperasi Perajin Gerabah Hataka Jaya di Serang.
Ia mengatakan, semenjak kejadian itu ada stigma negatif bagi penduduk Serang, sehingga para perajin gerabah Serang tidak kebagian order. Citra baik yang dirintis bertahun-tahun pudar seketika.
Karena kehilangan pasar di Bali, para perajin gerabah di Serang kemudian mengalihkan pasarnya ke daerah Jabodetabek.
Namun begitu, pasar baru gerabah asal Serang ini tak sebesar pasarnya di Bali. "Omzetnya hanya sepertiganya. Kami kehilangan ladang utama kami," keluh Maksudi, perajin gerabah.
Mengaku mengalami penurunan omzet hingga 80%, Maksudi kini hanya bisa mengantongi omzet rata-rata Rp 3 juta sampai Rp 4 juta per minggu. Padahal, dulu dia bisa menangguk omzet hingga Rp 30 juta per minggu. Penurunan omzet itu tentu sangat memprihatinkan. Omzet saat ini lebih banyak didapat dari penjualan pot, kowi atau tempat pembakaran emas, kendil, serta alat-alat rumah tangga.
Selain kehilangan pasar di Bali, perajin gerabah Serang juga semakin tertekan dengan banyaknya pengiriman tanah liat dari Serang ke Bali. Dengan adanya penjualan tanah liat sebagai bahan baku gerabah, perajin merasa dirugikan. Apalagi, saat ini beberapa pengusaha juga banyak yang mengirimkan perajin gerabah asli Serang ke Bali untuk menekan biaya pembuatan gerabah.
Jika pengiriman bahan baku tanah liat ini tidak dihentikan, masa depan sentra gerabah ini bakal semakin suram. Maksudi mengatakan, perajin pernah meminta pemerintah daerah menghentikan penjualan tanah liat ke Bali. Kalau pemerintah mau menerima permintaan warga, ini merupakan langkah nyata pemerintah membantu dan menyelamatkan sentra kerajinan gerabah.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News