kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra kerajinan kulit Garut: Pesanan datang dari luar garut (3)


Rabu, 13 April 2011 / 13:34 WIB
Sentra kerajinan kulit Garut: Pesanan datang dari luar garut (3)
ILUSTRASI. Petugas keamanan berjalan di depan layar yang menampilkan informasi pergerakan harga saham di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Jumat (26/6/2020). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 7,36 poin atau 0,15 persen di level 4.904,09 pa


Reporter: Gloria Natalia | Editor: Tri Adi

Perajin kulit di Sukaregang, Garut, mengandalkan pasar konsumen dari luar Garut. Sebab, tak banyak warga Garut dan wisatawan datang langsung ke toko. Perajin berskala besar pun membuka toko rekanan di luar Pulau Jawa. Jejaring pemasaran yang kuat juga menjadi kunci bagi perajin kulit Sukaregang tetap bertahan.

Yusuf Sopian, pemilik toko Astiga, kerap mengandalkan pesanan dari luar Garut untuk menggerakkan industri kulitnya. "Permintaan jaket memang banyak dari luar Garut," katanya. Di tokonya yang terletak di Jl. Ahmad Yani, Yusuf memproduksi 500 potong jaket saban bulan.

Selama ini, Yusuf memasok tujuh toko di luar Garut. Toko itu ada di Bandung, Semarang, Palembang, Makasar, Bangka Belitung, Batam dan Malaysia. Mereka rajin memesan jaket kulit Astiga tiap bulan.

Saat ini saja, permintaan dari toko di Palembang melonjak menjelang SEA Games XXVI. Belum lagi pesanan jaket dari Bangka Belitung sebanyak 154 potong dan dari Pertamina di Pulau Bunyu 240 potong. "Satu lagi pesanan dari PLN di Semarang yang minta 100 jaket," ujar Yusuf yang memiliki 25 pegawai.

Yusuf memasang harga, yang menurutnya, lebih mahal dibandingkan dengan produsen jaket lain, yakni antara Rp 600.000 hingga Rp 1,5 juta per jaket. Sementara itu, toko-toko sebelah, melabel jaket antara Rp 500 ribu hingga Rp 1,2 juta. Ia beralasan, kualitas bahan kulit domba miliknya lebih bagus.

Yusuf tak sengaja menemukan celah jejaring pemasaran hingga ke luar Pulau Jawa. Lelaki berkumis tipis ini bercerita, suatu hari seorang warga Malaysia datang ke tokonya. Ia membeli beberapa jaket karya Yusuf.

Tak disangka, beberapa hari kemudian, si pembeli itu minta Yusuf menjadi rekanannya. Peristiwa ini pun sering berulang. "Sampai akhirnya, terkumpul banyak orang seperti sekarang," ujar Yusuf.

Ia teringat, satu kali seorang direktur Pertamina datang kepadanya dengan membawa sehelai jaket yang dibelinya dari Eropa seharga Rp 12 juta. Direktur itu minta Yusuf membuatkan jaket untuk para koleganya serupa jaket tersebut. Yusuf pun membuatnya dengan bahan tak jauh dan model yang sama. "Harganya, sepersepuluh harga jaket Eropa. Jadi, jaket saya masih bisa bersaing dengan keluaran Eropa," ujar Yusuf.

Erlan Firdaus, pemilik toko Dakifti, juga mengandalkan pasar konsumen dari luar Garut. Sebab, sangat sedikit transaksi jual beli di tokonya. "Saya topang dengan order jaket, sepatu, tas, topi, dan dompet dari luar Garut," katanya.

Ia pun menyasar institusi kepolisian. Pasar ini diperoleh setelah beberapa polisi menggunakan jaket Dakifti. Erlan pun beruntung mendapat promosi dari mulut ke mulut. "Pemasaran jaket dari mulut ke mulut lebih andal ketimbang di internet," tuturnya.

Dedie Supriadi yang biasa disapa Nanang, juga melakukan hal serupa Yusuf. Ia bermitra dengan dua toko di Bandung dan Makassar. Mitranya di Cibaduyut, Bandung, adalah kawan Nanang. Adapun mitra di Makassar awalnya pembeli jaket di toko milik Nanang, Bikers. "Awalnya datang untuk belanja oleh-oleh. Ternyata banyak respon bagus dan dia membuka tokonya sendiri di Makassar," cerita Nanang.

Tiap bulan, ia memasok 30 hingga 40 jaket ke Makassar itu. Bagi Nanang, mitranya di Makassar bisa jadi ujung tombak memasarkan jaket kulit sapi keluaran Bikers di wilayah timur Indonesia.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×