Reporter: Hafid Fuad | Editor: Tri Adi
Merek bisa menjadi ganjalan dalam berbisnis celana jins. Banyak pengusaha yang secara sembarangan memakai merek terkenal untuk meningkatkan penjualan. Selain merek, pengusaha konfeksi jins di Cikijing juga menghadapi kenaikan bahan baku dan serbuan produk impor.
Merek dagang menjadi persoalan pelik yang dirasakan oleh para pengusaha jins di Cikijing, Majalengka. Pemakaian merek terkenal tanpa melalui jalur hukum yang benar tentu akan sangat membahayakan.
Debi, putri Nana Sudiana, pemilik PD Istana Jeans mengatakan, pemakaian merek jins yang sudah terkenal secara sembarangan alias membajak merek mulai terjadi pada 1990-an.
Menjamurkan bisnis konfeksi di Cikijing tanpa dibarengi peningkatan kualitas pendidikan dan aturan, membuat masyarakat dengan enak memakai merek yang laris di pasaran untuk menarik pembeli.
Namun, menurut Debi, pada awal 2000 pemerintah baru melakukan pengawasan merek dagang lebih ketat. Hal itu membuat perilaku pemakaian merek secara sembarangan mulai berkurang. Masyarakat jadi lebih sadar hukum dan lebih melihat usaha dalam jangka panjang. Mereka juga lebih menghormati merek orang lain. "Memang masih ada juga yang menjiplak," ujar Debi.
Seiring dengan meningkatnya kesadaran hukum merek tersebut, pengusaha konfeksi jins di Cikijing pun mulai menggunakan merek sendiri. "Banyak juga yang telah dipatenkan," kata Debi.
Hanya, kebanyakan merek menggunakan bahasa dan nama asing untuk menarik pembeli. Para pengusaha yakin, nama merek berbau luar negeri lebih mudah diterima pasar dan terkesan lebih eksklusif.
Istana Jeans sendiri sempat beberapa kali mengganti merek jins, sebelum kini menggunakan merek Miqout Jeans yang telah dipatenkan pada 2000. "Dulu kami pernah menggunakan Sunti Jeans, lalu kemudian berganti menjadi Christin Jeans," ujar Debi.
Setelah urusan merek mulai terselesaikan, para produsen jins kini harus berhadapan dengan membanjirnya produk jins impor yang harganya juga murah meriah.
Para produsen itu mulai gelisah, seiring dengan serbuan produk jins impor itu, harga bahan baku justru melonjak naik yang membuat mereka susah menurunkan harga. "Setiap bulan harga bisa naik, kadang kenaikannya di atas 50%," keluh Yoyoh Komariah, pemilik Aritona Jeans.
Pilihan produsen agar jins tetap laku hanya dengan menurunkan margin keuntungan. Selain itu, produsen juga harus pintar-pintar mencari pasar baru dengan menghindar dari ketatnya persaingan di Jakarta.
Pengusaha lebih baik mengutamakan pasar di daerah yang masih jarang terdapat pusat pertokoan besar, seperti beberapa wilayah di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Kalimantan. "Itu pasar strategis," katanya.
Para pengusaha jins di Cikijing yakin konsumen daerah lebih setia karena produksi mereka sudah ada sejak 1980-an. Untuk itulah, Yoyoh selalu rutin memasok produk jins ke pasar sandang di Cirebon dan pasar Beringharjo di Yogyakarta.
Yang pasti, industri jins telah menyatu dengan denyut nadi Kecamatan Cikijing. Sebagian besar warga menggantungkan hidup dari bisnis ini. "Sekarang hampir setiap keluarga terlibat," ujar Debi. Sayangnya, industri ini juga menyedot anak usia sekolah untuk menjadi pekerja di konfeksi jins ini.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News