Reporter: Noverius Laoli | Editor: Havid Vebri
Selama ini, Pasar Induk Kramatjati dikenal sebagai pusat penjualan sayur-sayuran dan buah-buahan. Padahal, selain sayuran, di pasar ini juga terdapat sentra perdagangan komoditas lain. Diantaranya adalah sentra obat-obatan. Sentra toko obat ini bisa Anda temukan di lantai dua Pasar Induk Kramatjati. Di lantai ini berjejer sekitar 40 toko obat berukuran 3 meter (m) x 4 m.
Sentra toko obat ini sudah ada sejak Pasar Induk Kramatjati beroperasi pada tahun 1990. Ketika KONTAN menyambangi pasar ini pada Selasa lalu (7/8), tampak kesibukan para pedagang melayani konsumen. Di pasar ini, para pedagang menjual obat untuk berbagai jenis penyakit. Jenis obatnya ada yang generik atau paten produk impor serta lokal, seperti Bisolvon, Faxiden, Termorex, dan Paramex.
Fahrul, salah seorang pedagang mengaku, menyediakan hampir semua obat untuk segala macam jenis penyakit, mulai dari sakit kepala hingga sakit perut. Ia membanderol obat mulai Rp 1.500 hingga Rp 300.000 per satuan kemasan. Namun, sebagian besar harga obat rata-rata di kisaran Rp 100.000 per satuan kemasan.
Menurut Fahrul, sentra obat di Pasar Induk Kramatjati selalu ramai pada pagi hingga siang hari. Makanya, pedagang sudah membuka toko toko sejak pukul 08.00 WIB. Aktivitas perdagangan baru dihentikan pukul 19.00 WIB ketika toko tutup. Fahrul mengaku, rata-rata omzetnya Rp 3 juta per hari. "Kalau lagi ramai bisa sampai Rp 5 juta per hari," paparnya.
Meskipun omzetnya lumayan besar, tapi margin keuntungan yang dia peroleh hanya 5% dari omzet. Namun, karena perputaran penjualan obat ini termasuk cepat, keuntungannya tetap tinggi.
Dalam menjalankan usahanya, Fahrul dibantu dua karyawan. Layaknya apoteker, kedua karyawannya ini fasih menjelaskan berbagai jenis obat.
Bahkan, bila pelanggan tidak tahu obat apa yang harus diminum untuk penyakitnya, mereka juga bisa membantu mencarikan obat yang dibutuhkan sesuai dengan penyakit yang diderita pelanggan tersebut.
Pedagang lain di sentra ini adalah Wartono. Ia mulai berjualan sejak 2008. Meskipun kiosnya berada di jejeran toko obat, ia mengaku tokonya merupakan apotek dan bukan toko obat seperti yang lain. "Bedanya apotek yang bertanggung jawab apoteker, kalau toko obat asisten apoteker," ujarnya.
Meski apotek, ia harus bersaing dengan pemilik toko obat lainnya, termasuk dalam harga jual. "Saya jual di bawah banderol guna menarik pembeli," ujarnya. Ia bilang, dalam sehari bisa meraup omzet Rp 1 juta. Sementara bila sedang ramai sekitar Rp 1,5 juta. Dari omzet itu, marginnya 10%.
Hilman, salah seorang konsumen mengaku sering mengunjungi sentra obat di Pasar Induk Kramatjati. Selain pilihannya banyak, harga obat di sini juga masih bisa ditawar. "Jadi harganya bisa lebih murah dari harga di banderol,"ujarnya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News