Reporter: Marantina | Editor: Dupla Kartini
YOGYAKARTA. sudah ada sejak zaman kerajaan Islam, perak menjadi mata pencaharian hampir semua warga Kotagede, Yogjakarta. Semula, di Kotagede hanya ada 10 gerai yang menjual kerajinan perak. Sebagian besar warga memilih bekerja sebagai perajin dan menyerahkan kerajinan perak kepada pengepul. Namun, baru pada tahun 1980-an, gerai-gerai anyar mulai bermunculan.
Sama seperti kilau perak yang tak abadi, demikian pula dengan kilau bisnis kerajinan perak. Wisnu Wardhana, Manager Ansor’s Silver menuturkan, krisis moneter yang terjadi pada 1998 menjadi pukulan berat bagi para perajin.
Sejak saat itu, tren bisnis kerajinan perak mulai turun. Goncangan ekonomi dan politik membuat kunjungan turis asing menurun. "Bisnis ini berkaitan erat dengan pariwisata yang sangat bergantung pada faktor keamanan," kata Wisnu.
Ansor’s Silver pernah mengirimkan kerajinan perak ke beberapa negara, seperti Jepang, Belanda, dan Amerika. Namun, andalannya tetap penjualan di toko. Kata Wisnu, pembeli di sentra itu musiman. Pada April, rata-rata pengunjung dari Jepang. Sementara, pada Mei-September atau saat musim libur panas di Eropa, kebanyakan pembeli dari benua itu. Banyak pelanggan domestik datang ketika libur panjang, seperti libur sekolah pada Juni-Juli, Lebaran, dan Natal.
Pembeli lokal biasanya membeli aksesori, khususnya lapis perak karena harganya terjangkau. Adapun turis luar negeri seringnya membeli kerajinan dari perak asli, terutama aksesoris dan miniatur.
Tari Mandani, pengelola toko Queen Silver bilang sentra kerajinan Kotagede, pamornya mengalami klimaksnya pada tahun 1980-an. Bukan hanya gerai-gerai anyar bertaburan memenuhi Jl. Kemasan dan Jl. Mondorakan melainkan juga perajin perak jumlahnya meningkat hingga ribuan.
Tari bercerita, masyarakat Kotagede tidak ada yang menganggur. Pilihannya adalah menjadi perajin perak mandiri jika gagal mendapatkan pekerjaan. Namun, peristiwa bom Bali I pada 2002 menggoyahkan bisnis perak Kotagede.
Ditambah lagi dengan gempa hebat yang melanda Yogyakarta pada 2006 lalu makin menggerus bisnis perak di Kotagede. "Dulu setiap hari ada turis mancanegara yang beli kerajinan perak di toko, tetapi sekarang paling-paling akhir pekan baru ramai," kata Tari. Akibatnya, upah perajin pun tidak kunjung naik. Makanya, banyak warga Kotagede, khususnya generasi muda yang enggan menjadi perajin.
Hal ini dirasakan pula oleh Sardjono, pemilik Palm Silver. Kata dia, sebelum peristiwa bom Bali dan gempa melanda Yogyakarta, perajin perak hampir tiap minggu menyetorkan kerajinan perak mereka sebagai stok di toko.
Namun kini tidak lagi. Malahan, Sardjono makin kesulitan mendapatkan stok karena jumlah perajin perak juga semakin berkurang. "Kalau dulu, hampir semua warga sini bisa membuat kerajinan perak, tetapi sekarang sudah jauh berbeda," ucap dia. (Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News