Reporter: Dharmesta | Editor: Tri Adi
Omzet penjualan yang lumayan membuat ekonomi masyarakat Dusun Pelemadu, Yogyakarta semakin sejahtera. Apalagi bisnis ini telah menyerap banyak tenaga kerja terutama kaum ibu dan remaja. Ada sekitar 600 orang yang terlibat dalam produksi rempeyek yang sudah dipasarkan ke luar Jawa, seperti Kalimantan, ini.
Bisnis rempeyak telah memakmurkan warga kampung Pelemadu, Yogyakarta. Omzet penjualan rempeyek di sentra ini bisa mencapai Rp 120 juta per hari. Perhitungan itu berasal dari rata-rata penjualan rempeyek dari 43 produsen rempeyek sebanyak 1.000 bungkus per hari per pengusaha, seharga Rp 2.700 per bungkus.
Selain didistribusikan di pasar lokal Yogyakarta, rempeyek dari sentra ini juga merambah kota-kota lain di Indonesia, seperti Jakarta dan Kalimantan. Tubilah, salah satu pengusaha rempeyek di Palemadu mengaku sudah memiliki agen tetap di Jakarta, Karawang, Wonosari, Kulonprogo dan Yogyakarta. "Di Karawang dikerjakan adik sendiri untuk dikemas ulang dan dijual ke supermarket," katanya. Tubilah menggunakan merek persis seperti namanya, "Tubilah".
Di pasar lokal, biasanya pengusaha rempeyek memiliki tenaga pemasaran sendiri. Sedangkan luar kota mereka memiliki agen. "Semua dibayar tunai," kata Sumardji, Kepala Dukuh Pelemadu yang juga menjadi pengusaha rempeyek.
Omzet lumayan ini tentu membuat bisnis rempeyek menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Sumardji, rata-rata satu pengusaha rempeyek di sentra ini mempekerjakan 12 orang sampai 35 orang. "Kalau ditotal ada sekitar 600 orang terlibat dalam industri rempeyek, baik sebagai tenaga masak ataupun pemasaran," ungkapnya.
Dari total itu, sebagian besar merupakan kaum ibu dan remaja perempuan. Tak jarang terlihat beberapa orang tua juga membantu mengupas bawang dan kencur.
Jika tenaga masak didominasi kaum perempuan, kaum lelaki biasanya terbatas pada distribusi rempeyek. Ini pula yang membuat merek rempeyek Pelemadu kebanyakan menggunakan nama perempuan. "Ini memang pekerjaan perempuan," kata Sumardji.
Sumardji mempekerjakan 18 orang dengan upah sekitar Rp 15.000-Rp 20.000 per hari. Dengan jumlah pekerja itu, dia bisa memproduksi sekitar 1.500-2.000 bungkus per hari.
Tubilah, yang merupakan pionir industri rempeyek di Palemadu, mampu memproduksi 3.500 bungkus per hari. Jumlah itu didapat dari 24 orang pekerja yang bekerja dari jam 07.30 WIB hingga 16.00 WIB. Rupanya upah pekerja industri rempeyek ini sudah baku, sebab Tubilah memberi upah Rp 15.000-Rp 20.000 per orang per hari.
Sedangkan Marmi dengan merek rempeyek yang sama dengan namanya memperkerjakan 25 orang. "Per hari saya membutuhkan 160 kg tepung beras dan 250 kg kacang tanah," katanya. Rempeyek Marmi dipasarkan ke Solo, Surabaya, Jakarta dan Surabaya. Dari usahanya ini dia mampu membeli dua rumah di Pelemadu sebagai tempat produksi.
Jika Marmi membutuhkan 250 kg kacang tanah sebagai bahan baku, Tubilah mengaku menghabiskan 300 kg kacang tanah serta 102 kg tepung beras sebagai bahan baku rempeyek. Tepung beras dan kacang tanah adalah dua bahan baku rempeyek selain minyak goreng dan rempah-rempah untuk bumbu.
Karena kebutuhan bahan baku tiap hari cukup banyak, para pengusaha rempeyek di Palemadu memiliki pemasok yang siap dengan bahan baku. Di Pelemadu ada sekitar enam pemasok bahan baku yang rutin melayani para pengusaha rempeyek. "Bahan baku saya dapat dari seorang pemasok di pasar Beringharjo," kata Marmi. Sumardji menerima pasokan bahan baku rempeyek dari pemasok yang juga masih tetangganya.
Tubilah hanya membutuhkan pasokan kacang tanah, bumbu dan sedikit tepung beras buatan pabrik. Sebab, sebagian kebutuhan tepung beras berasal dari tepung beras buatan sendiri. "Saya mencampurnya dengan tepung beras buatan pabrik," kata dia.
Jika hanya menggunakan tepung beras buatan sendiri, rempeyek buatan Tubilah menjadi terlalu lembek. Tepung beras pabrik akan membuat rempeyeknya menjadi lebih keras.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News