kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,02   -8,28   -0.91%
  • EMAS1.318.000 0,61%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra sangkar burung Jember: Muram, masa depan bisnis sangkar burung (4)


Rabu, 22 Juni 2011 / 13:11 WIB
Sentra sangkar burung Jember: Muram, masa depan bisnis sangkar burung (4)
ILUSTRASI. PSBB Jakarta. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/wsj.


Reporter: Handoyo | Editor: Tri Adi

Perputaran uang setiap perajin di Desa Dawuhan Mangli, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember, Jawa Timur, memang masih terbatas. Modal usaha mereka juga berasal dari tabungan sendiri. Hampir tak ada bantuan pembiayaan yang menyapa perajin sangkar burung.

Pas-pasan. Mungkin kata inilah yang cocok disematkan ketika melihat permodalan para perajin sangkar burung di Jember, Jawa Timur. Sebagian besar perajin merasa kesulitan mengembangkan usahanya.

Apalagi, harga bahan baku untuk membuat sangkar burung ini terus merambat naik. Pandi memberi contoh, harga cat anti gores sebagai pelapis akhir sangkar burung bisa naik menjadi Rp 43.000 dari Rp 5.000 per kaleng. Sementara, harga rotan mencapai Rp 13.000 per kilogram.

Jelas saja, kenaikan harga bahan baku ini mengikis keuntungan mereka. "Kalau untuk permintaan, dibandingkan dengan lima tahun yang lalu memang lebih banyak sekarang, namun harganya jauh lebih murah," kata Pandi, salah satu perajin sangkar burung di Jember.

Banyak di antara mereka juga membanting harga lantaran persaingan bisnis yang semakin ketat di antara para perajin. Mereka harus rela mendapat sedikit keuntungan, asalkan barangnya laku terjual. "Sangkar burung yang dulu harganya bisa Rp 165.000, kini hanya dijual paling Rp 125.000," ungkap Pandi.

Kebanyakan perajin sangkar burung ini tak menjual barangnya langsung ke konsumen. Mereka masih bergantung pada pengepul, sehingga keuntungan yang diperoleh tipis. "Bahkan lebih banyak penjualan sangkar burung yang larinya ke pengepul," kata Pandi.

Memang, bila dibandingkan dengan berjualan langsung kepada konsumen, cara pemasaran lewat pengepul dinilai lebih aman. Pasalnya, rata-rata perajin membuat produk berdasarkan permintaan pengepul dengan jumlah yang banyak. Hanya, mereka tidak bisa mengetahui pasar sangkar burung yang sebenarnya.

Oleh karena itu, para perajin juga berharap adanya sebuah wadah, seperti koperasi, untuk mengembangkan usaha pembuatan sangkar burung ini. Mereka juga berharap Pemerintah Daerah Jember membantu mereka terutama dalam penciptaan sistem pemasaran dan iklim investasi yang baik. Dengan cara ini, mereka yakin usaha bisa lebih maju dan menguntungkan.

Kurangnya perhatian dari berbagai elemen dan adanya suatu anggapan bahwa profesi kerajinan sangkar burung ini kurang menjanjikan bagi masa depan, membuat para perajin enggan mewariskan usaha pembuatan sangkar burung pada anak-anaknya. Pandi misalnya, mengungkapkan, pekerjaan ini hanya cukup untuk makan saja. Menurutnya, membuat kurungan ini memakan banyak waktu. "Tak bisa dibuat dalam satu hari kerja. Dibandingkan, kuli, mereka tetap bisa santai di malah hari," ujarnya.

Pandi menghitung, keuntungan yang diperoleh pada setiap penjualan sangkar burung, hanya berkisar
Rp 20.000 hingga Rp 30.000.

Selain Pandi, Abdul Rohman juga berharap, anak-anaknya tidak meneruskan usaha ini karena minim laba. Kebetulan, "Anak saya tidak ada yang berbakat membuat sangkar burung," katanya. Abdul Rohman atau yang lebih akrab dipanggil Kiki ini juga berharap, anak-anaknya akan mendapatkan pekerjaan yang lebih mapan dan sesuai dengan latar belakang pendidikannya.

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×