kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra songket Ogan Ilir: Termasyhur sejak zaman sriwijaya (2)


Selasa, 15 Maret 2011 / 13:54 WIB
Sentra songket Ogan Ilir: Termasyhur sejak zaman sriwijaya (2)
ILUSTRASI. Nasabah melakukan pembelian Surat Utang Negara (SUN) ritel Savings Bond Ritel (SBR) seri SBR008 dengan aplikasi BNI Mobile di Kantor BNI Pusat, Jakarta, Kamis (5/9/2019). Pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) ritel untuk investor individu secara


Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Tri Adi

Kerajinan songket palembang sudah ada sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Namun, kerajinan yang sudah mendarah daging pada masyarakat Ogan Ilir ini sempat terhenti karena revolusi dan kekurangan bahan baku. Para perempuan Muara Penimbung kembali menenun tahun 1960 meski dalam jumlah terbatas dan pasar yang sempit.

Namanya boleh saja songket palembang. Tapi sebenarnya asal muasal kain ini justru dari Kabupaten Ogan Ilir. Ogan Ilir berada di jalur lintas timur Sumatra. Letaknya sekitar 35 kilometer dari kota Palembang.

Perlu waktu sekitar satu setengah jam menuju sentra songket Desa Muara Penimbung dari bandara Sultan Muhammad Badaruddin II. Anda pun akan melewati Universitas Sriwijaya.
Sejak 11 Februari 2010, Muara Penimbung menjadi salah satu desa binaan Bank Negara Indonesia (BNI) yang dikenal dengan sebutan Kampoeng BNI.

Kini pasar kain songket ini kian luas, tak sebatas Ogan Ilir, Palembang, atau Sumatra saja. Kolektor dan turis mancanegara pun memburu salah satu kain tradisional Indonesia ini.

Kata songket berasal dari kata tusuk dan cukit yang diakronimkan menjadi sukit. Kata ini kemudian berubah menjadi sungki dan akhirnya menjadi songket. Ciri khas songket palembang ada pada motif khas bintang yang pasti ada di setiap kain.

Kerajinan songket palembang bermula sejak zaman Kerajaan Sriwijaya. Ketika berjaya, kerajaan Sriwijaya memiliki kekayaan melimpah. Banyak peninggalan tak ternilai berasal dari kerajaan terkenal itu, termasuk budaya wastra atau kain.

Teknologi pembuatan tenun songket sebenarnya bukan murni berasal dari daerah tersebut, melainkan dari China, India, dan Arab. Adanya perdagangan antarbangsa tersebut dengan Kerajaan Sriwijaya menyebabkan terjadinya akulturasi, yaitu saling menyerap unsur-unsur kebudayaan yang satu dengan lainnya.

Salah satu unsur kebudayaan dari bangsa-bangsa asing yang telah diserap oleh masyarakat Palembang adalah teknologi pembuatan kain tenun yang hingga kini masih dilakukan oleh sebagian masyarakatnya.

Pada zaman Sriwijaya, kain songket palembang tidak hanya diperdagangkan di Palembang dan Sumatra, melainkan juga ke luar negeri, seperti Tiongkok, Siam atau Thailand, India, dan Arab.

Pada saat penjajahan Belanda dan Jepang, tenun songket tersebut mengalami kemunduran. Bahkan, saat terjadinya revolusi fisik antara 1945 hingga 1950 kerajinan tenun songket di Palembang sempat terhenti karena sulitnya bahan baku.

Namun, permulaan tahun 1960-an songket Palembang mulai hidup kembali setelah pemerintah menyediakan dan mendatangkan bahan baku serta membantu pemasarannya. Apalagi budaya songket sudah menjadi tradisi dan diturunkan dari generasi ke generasi selanjutnya.

Sejak tahun 1960 itu pula songket palembang di Ogan Ilir kembali marak. Para penenun mulai membuat tenun secara komersial meski masih dalam pasar yang terbatas. "Penjualan masih dilakukan secara sendiri-sendiri," kata Meky Okiya Sari, pemilik Gallery Meky Songket.

Memang ada satu atau dua galeri songket. Namun, penjualannya belum terorganisir benar. Ketika itu, pasarnya pun masih sangat terbatas di desa Muara Penimbung, atau paling lebar berasal dari Ogan Ilir.

Lagipula, menenun tidak menjadi pekerjaan utama waktu itu. Ibu-ibu rumah tangga hanya menenun ketika waktu senggang atau sedang tidak bertani.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait



TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×