kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sentra ukiran Cipacing: Kenaikan harga bahan baku gencet untung (3)


Kamis, 10 November 2011 / 14:09 WIB
Sentra ukiran Cipacing: Kenaikan harga bahan baku gencet untung (3)


Reporter: Ragil Nugroho | Editor: Tri Adi

Pedagang dan perajin ukiran kayu di Cipacing, Sumedang, Jawa Barat, mengeluhkan kenaikan harga bahan baku yang menguras pendapatan mereka. Padahal mereka enggan menaikkan harga karena takut bersaing dengan pedagang musiman yang berjualan di sekitar sentra.

Sebagai pusat kerajinan ukiran kayu, sentra kerajinan Cipacing, Sumedang, membutuhkan pasokan kayu yang rutin dan berkualitas. Namun entah mengapa pasokan bahan baku kayu ke Cipacing itu sering tersendat sehingga harga kayu pun berfluktuasi.

Keluhan itu disampaikan Asep Suhandar, perajin sekaligus pemilik toko Panyawangan Art Gallery. Ia bilang, harga bahan baku kayu jenis mahoni naik dari Rp 80.000 per meter kubik (m3) tahun lalu menjadi Rp 90.000 per m3 belakangan ini.

Kenaikan harga kayu yang mencapai 12,5% itu membuat pendapatan Asep tergerus. Padahal, Asep enggan menaikkan harga jual karena takut kalah bersaing dengan pedagang kaki lima musiman yang berdagang di sekitar sentra. "Mau tidak mau menaikkan harga," keluh Asep.

Tidak hanya kayu, harga pelitur, cat, dan spiritus juga ikut naik. Harga pelitur misalnya, sudah naik dari Rp 10.000 per ons menjadi Rp 15.000 ons. Namun Asep tidak mengetahui sebab kenaikan harga pelitur itu.

Dalam hitungan Asep, hitungan kenaikan harga bahan baku itu memangkas pendapatan bersihnya dari 40% menjadi tinggal 20% tahun ini.

Sekadar informasi, dalam sebulan Asep mampu meraih omzet Rp 75 juta. Jika laba bersihnya 20%, Asep membawa pulang laba senilai Rp 15 juta per bulan, laba ini dinilai Asep lebih rendah dari pada laba tahun lalu.

Tidak hanya masalah bahan baku yang dikeluhkan Asep, dia juga merasa terganggu dengan keberadaan pedagang kaki lima yang berjualan tak jauh dari sentra kerajinan ukiran kayu Cipacing itu. Pedagang kaki lima itu biasanya berjualan musiman, seperti Lebaran atau liburan.

Kehadiran pedagang musiman itulah yang membuat kompetisi semakin ketat. Apalagi pedagang musiman itu berani banting harga. Asep bilang, pedagang musiman menjual kerajinan ukiran kayu lebih murah 25% sampai 40% dari harga jual pemilik kios. "Ini yang merugikan kami yang sehari-hari bergantung pada bisnis ukiran kayu," keluh Asep.

Keluhan yang sama juga disampaikan Agung Ihsan, pemilik Barokah Art Gallery. Ia bilang, kehadiran pedagang musiman itu menyedot jumlah pelanggan mereka.

Ia mencontohkan, omzetnya selama dua pekan saat Lebaran lalu anjlok menjadi Rp 25 juta, atau turun 50% dari omzet Lebaran tahun lalu sebesar Rp 50 juta. "Padahal kami sudah merenovasi kios untuk menarik konsumen," ujarnya.

Berbeda dengan Deden Nurrohman, pemilik Panyindangan Art Shop. Ia tidak mau fokus melayani pembeli dari pengunjung sentra saja. Deden lebih kreatif mencari pasar sendiri yakni dari kalangan pesantren.

Ia membuat alat musik rebana dan marawis untuk dijual ke pesantren seharga Rp 1,7 juta sampai Rp 2,5 juta per set. "Ada 20 pesanan setiap bulan," terang Deden yang juga memasok 100 unit angklung untuk Saung Mang Udjo di Bandung.

Memang, perajin dan penjual di sentra ukiran Cipacing tidak bisa hanya mengandalkan pengunjung. Agar dagangan laku, mereka harus kreatif mengembangkan pasar.

(Selesai)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Mastering Financial Analysis Training for First-Time Sales Supervisor/Manager 1-day Program

[X]
×