Reporter: Hendra Gunawan | Editor: Tri Adi
Produksi sutera yang dihasilkan peternak di sentra ulat sutera Kampung Sarongge masih tergantung pada telur yang dipasok dari daerah lain. Akibatnya, ketika telur ulat sutera tersebut berpenyakit, produksi benang sutera pun turun. Tapi, peternak di sentra ini belum mau memproduksi telur ulat sutera sendiri.
Meski sudah berhasil membiakkan ulat sutera kemudian mengolahnya menjadi kain sutera yang halus, sentra ulat sutera di Kampung Sarongge, Cianjur masih belum mampu memproduksi telur ulat sutera.
Hari Soedjatmiko, Manajer Kelompok Usaha Bersama Ulat Sutera Aurarista Kampung Sarongge mengatakan, selain terkendala teknologi dan sumber daya manusia, peternak beranggapan, memproduksi telur ulat sutera sendiri belum cukup ekonomis. Sebab, kebutuhan telur binatang bernama latin Bombyx mori tersebut di sentra ini terbilang masih sangat kecil.
Untuk mendapatkan telur ulat sutera, Hari bilang, selama ini, peternak membelinya dari sentra ulat sutera di Soppeng, Sulawesi Selatan. Tapi, para peternak tidak membeli langsung ke Soppeng, melainkan melalui Koperasi Jalasutera Indonesia (Kojasindo). Tujuannya, agar bisa membeli dalam jumlah banyak sekaligus.
Melalui Kojasindo, setiap bulan, peternak membeli 10 boks telur ulat dari sentra ulat sutera Soppeng. Dalam setiap kotak, terdapat sekitar 25.000 telur ulat sutera. Harganya, sekitar Rp 80.000 per boks tapi belum termasuk ongkos kirim dari Soppeng ke Cianjur. "Telur ulat sutera yang sudah dibeli itu kemudian dibagikan kepada 35 orang peternak yang menjadi anggota Kojasindo," ujar Hari.
Walaupun harga telur ulat sutera terbilang cukup murah, Hari menyatakan, kalau terus-menerus membeli dari tempat lain, tentu tidak akan berdampak baik bagi sentra ulat sutera Kampung Sarongge dan sentra lainnya yang ada di Cianjur. Sebab nantinya, keberlangsungan sentra ulat sutera di kabupaten yang ada di Jawa Barat ini akan sangat bergantung pada pasokan dari daerah lainnya terutama Soppeng.
Apalagi, Hari menambahkan, telur yang didatangkan dari Soppeng itu tidak selamanya dalam kondisi bagus. Misalnya, baru-baru ini, telur yang didatangkan dari sentra ulat sutera terbesar di Indonesia itu ternyata berpenyakit. Sehingga, kokon yang dihasilkan dari ulat sutera tidak maksimal.
Jika biasanya satu boks telur ulat sutera bisa menghasilkan 30 kilogram kokon, sekarang produksinya paling banter cuma 15 kilogram, karena itu tadi, terjangkit penyakit. Nah, kalau sudah begini, tentu para peternak akan rugi terutama dari pasokan pakannya.
Soalnya, pakan berupa daun arbei yang diberikan ke ulat yang berpenyakit, jumlahnya sama dengan pakan untuk ulat sutera yang bebas dari penyakit, yang tetap dapat berproduksi dengan normal.
Itu sebabnya, pada periode pengembang-biakan ulat sutera bulan depan, peternak berencana membeli telur dari Pusat Pembibitan Ulat Sutera di Candiroto, Jawa Tengah. "Saya juga baru tahu, telur ulat sutera asal Soppeng yang baru-baru ini kami beli dari orang Sulawesi yang datang ke sentra ini, berpenyakit," ungkap Hari.
Data Dinas Kehutanan Sulawesi Selatan menunjukkan, akibat penyakit yang belum diketahui jenisnya itu, produksi telur ulat sutera di Soppeng menurun. Pada 2008 lalu, produksi telur ulat sutera dari sentra tersebut sebanyak 8.491 boks. Di 2009 kemarin, produksinya tinggal 4.183 boks atau merosot hingga setengahnya.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News