Reporter: Raymond Reynaldi | Editor: Tri Adi
Kemilau mutiara memang indah. Tapi, pamor sentra kerajinan mutiara di Desa Batu Merah, Ambon, Maluku, sempat meredup. Kerusuhan massal di Kota Ambon yang terjadi 11 tahun lalu benar-benar membenamkan citra desa ini sebagai sentra kerajinan mutiara. Itu ditandai dengan menyusutnya nilai penjualan.
Belum lekang dalam ingatan kita betapa dahsyatnya kerusuhan yang berkecamuk di kota Ambon dan sekitarnya pada 11 tahun lalu. Kerusuhan antarwarga tersebut menggilas seluruh aktivitas perekonomian di ibukota Provinsi Maluku itu.
Imbasnya, banyak orang yang beralih menjadi petani, atau memilih pergi ke luar Ambon. Pertumbuhan ekonomi di sana kala itu anjlok hingga minus 27%.
Kerajinan mutiara yang merupakan oleh-oleh primadona khas Maluku selain produk kain tenun, minyak kayu putih, dan sagu, juga terpukul oleh kerusuhan tersebut. Padahal, kerajinan mutiara kerap jadi buruan para wisatawan. Banyak yang berbelanja kerajinan ini di sentra kerajinan mutiara di Desa Batu Merah.
Ya, kerusuhan telah menghantam usaha pedagang di sentra ini. Nilai penjualan merosot bersamaan dengan anjloknya jumlah wisatawan ke Ambon. Lebih parah lagi, keadaan tersebut berlangsung cukup lama.
Peruntungan para pedagang mulai cerah pada tahun 2007. Fanny, pengelola Pondok Mutiara, menyebut upaya Pemerintah Provinsi Maluku mendongkrak kegiatan pariwisata mulai menuai hasil. Wisatawan lokal dan asing berdatangan ke Ambon untuk menikmati keindahan pantai di sana.
Masyarakat memanfaatkan kehadiran wisatawan untuk menjual barang dan jasa. Tak terkecuali, para pedagang di sentra kerajinan mutiara Desa Batu Merah. "Penjualan lumayan meningkat sejak dua tahun lalu, meski belum menyamai keadaan sebelum kerusuhan," kata Fanny.
Maklum, Desa Batu Merah merupakan salah satu wilayah di kota Ambon yang rusak parah karena kerusuhan tersebut. Kala itu, Desa Batu Merah jadi titik temu dua pihak yang bersitegang.
Rusdi Bantam, pengelola Toko Andika, mengatakan, pemesanan produk kerajinan mutiara maupun cangkang kerang mutiara kerap datang dari luar Pulau Ambon sebelum kerusuhan. Seperti dari Bandung dan beberapa kota di Kalimantan.
Sayang, dia kehilangan kontak dengan para pemesannya itu hingga saat ini. "Saya tidak tahu lagi keberadaan mereka," ujarnya.
Selain itu, mayoritas toko mutiara di Batu Merah tak lagi menjalankan bisnis sebagai perajin atau pembudidaya pasca kerusuhan. Kini, mereka hanya menjalin kerjasama produksi dengan para perajin yang juga berada di sekitar lokasi sentra tersebut.Sedangkan bahan baku cangkang maupun mutiara kebanyakan didatangkan dari para pembudidaya di Dobo, Kepulauan Aru.
Dalam kerjasama produksi, ungkap Rusdi, pemilik toko akan memasok bahan baku untuk dikerjakan oleh para perajin. Para perajin akan mendapat komisi dari penjualan setiap produk yang mereka buat. "Kerjasama ini menganut sistem bagi hasil. Setelah produk laku tinggal dipotong dari sana," kata Rusdi.
Dia menambahkan, model kerja sama seperti ini lebih efisien bagi para pemilik toko daripada menggaji perajin untuk bekerja di tokonya. Toh, pemilik toko memegang semacam hak eksklusif atas produk yang dihasilkan para perajin dalam kerjasama tersebut. "Jadi produk yang masuk ke toko kami tidak akan sama dengan toko yang lain," kata Rusdi.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News