kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.910.000   -13.000   -0,68%
  • USD/IDR 16.230   -112,00   -0,69%
  • IDX 7.214   47,18   0,66%
  • KOMPAS100 1.053   7,20   0,69%
  • LQ45 817   1,53   0,19%
  • ISSI 226   1,45   0,65%
  • IDX30 427   0,84   0,20%
  • IDXHIDIV20 504   -0,63   -0,12%
  • IDX80 118   0,18   0,16%
  • IDXV30 119   -0,23   -0,19%
  • IDXQ30 139   -0,27   -0,20%

Sudomo, juragan batu alam dari Majalengka (1)


Senin, 24 Oktober 2011 / 15:52 WIB
Sudomo, juragan batu alam dari Majalengka (1)
ILUSTRASI. Ilustrasi asuransi keluarga.KONTAN/Muradi/2017/01/19


Reporter: Hafid Fuad | Editor: Tri Adi

Mengawali karier sebagai penambang batu, Sudomo atau akrab dipanggil Haji Domo, kini sukses menjadi pengusaha pengolahan batu alam di Majalengka. Ia menyulap bongkahan batu besar menjadi lempengan batu nan unik untuk aksesori bangunan. Berkat bisnis ini, dalam sebulan Domo bisa mengantongi omzet minimal Rp 100 juta.

Alam kabupaten Majalengka, Jawa Barat, memang kaya dengan berbagai jenis bahan tambang, salah satunya adalah batu alam. Sebagian warga Majalengka pun memanfaatkan batu alam ini sebagai mata pencaharian dan penopang kehidupan.

Namun, batu alam berjenis andesit ini akan bernilai ekonomi bila diolah dulu. Setelah diolah, bentuk batu bisa menjadi beraneka rupa dan cocok untuk aksesori bangunan rumah, gedung, perkantoran, untuk prasasti hingga batu nisan.

Salah satu pemilik ide kreatif mengolah batu alam itu menjadi aksesori properti adalah Sudomo atau akrab dipanggil Haji Domo. Pria asli Majalengka itu kini sukses berbisnis batu alam olahan itu. Berkat kegigihan dia, produk batu alam tak hanya bisa dinikmati di dalam negeri, namun juga sudah dijual ke Negeri Jiran, Malaysia.

Dalam sebulan, pria yang tinggal di Desa Selagedang, Kecamatan Sukohaji, Majalengka itu mampu produksi sebanyak 2.000 meter kubik (m²). Dengan produksi sebanyak itu, Domo pun menjadi satu dari tiga produsen batu alam terbesar di Majalengka.

Dalam sebulan, setidaknya Domo mampu menjual batu alam senilai Rp 100 juta. Tapi, "Itu omzet minimal saya," kata Sudomo.

Sejak masih muda, Domo memang sudah ingin menyandarkan masa depannya dengan berbisnis batu alam. Itulah sebabnya, pada 1960-an ketika masih duduk di bangku sekolah pertama (SMP) dia rela tak melanjutkan sekolah alias drop out. Domo lebih memilih menjadi penambang batu alam ketimbang sekolah seperti teman-teman seusianya.

Jelas, menjadi penambang batu alam bukan pekerjaan ringan. Dengan peralatan seadanya, seperti linggis dan palu, Domo berusaha mendapatkan batu alam sebanyak mungkin. Selanjutnya, setiap bongkahan batu alam itu dia jual kepada perajin yang kemudian mengolahnya menjadi lempengan batu atau kerikil. "Saat itu pekerjaan saya memang hanya mengandalkan tenaga," kenang Domo.

Namun, seiring bertambahnya usia, Domo pun mulai merasa lelah menjadi penambang. Ketika itu, dengan modal nekat, Domo memutuskan menjadi perajin batu alam, yakni mengolah batu alam menjadi bentuk lempengan atau menjadi batu templek. Dia memulai usaha itu di sebuah gubuk tak jauh dari rumahnya. "Kedua orang tua saya pesan agar saya membuka usaha itu secara mandiri," terang Domo.

Gubuk itu ia beli dari sisa tabungan yang dikumpulkan saat masih menjadi penambang. Walaupun gubuk itu reyot, gubuk itulah yang menjadi penentu masa depan Domo. "Di gubuk itu saya memahat batu bertahun-tahun," jelasnya.

Berkat kegigihan dan kesabaran, lambat laun pesanan templek itu semakin banyak. Nah, agar bisa berproduksi templek lebih banyak lagi, Domo memutuskan memugar gubuk reyot itu dan mendirikan bangunan yang lebih kuat pada 1990-an. Sampai sekarang bekas gubuk reyot itu telah menjadi bangunan permanen yang menjadi pabrik pengolahan batu.

Setelah memperbesar pabrik, Domo semakin kebanjiran pesanan. Bahkan, pesanan datang dari luar Majalengka, seperti dari Jakarta, Surabaya, dan Bandung. Tak hanya kota-kota, bahkan ada seorang pelanggannya yang menjual kembali batu alam olahan Domo itu ke Malaysia.

Untuk produksi batu templek, Domo mendapat pasokan bongkahan batu alam dari penambang batu yang tersebar di Desa Sukamandi, Cicurug, Cibodas, dan juga dari Desa Cipanca. "Ada banyak desa yang memasok batu di Majalengka," ungkap Domo.

Bongkahan batu itu kemudian diolah menjadi templek, mulai dari ukuran terkecil, yakni 10 centimeter (cm) x 10 cm, hingga ukuran terbesar, dengan ukuran 60 cm x 60cm.

Soal harga juga beragam, batu templek yang terkecil dijual seharga Rp 50.000 per keping. Adapun untuk batu templek ukuran besar, harganya mencapai Rp 200.000 per keping. "Harga bisa berubah tergantung jumlah pesanan konsumen. Pesan makin banyak, tentu harga juga bisa murah," jelas Domo yang banyak memiliki pelanggan dari kontraktor perumahan itu.


(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Terpopuler
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Digital Marketing for Business Growth 2025 : Menguasai AI dan Automation dalam Digital Marketing

[X]
×