Reporter: Merlina M. Barbara | Editor: Tri Adi
Tekad Sugeng Pujiono menjawab kritikan LSM asing terhadap eksploitasi luwak terjawab sudah. Dengan kerja kerasnya, Sugeng berhasil menemukan metode beternak luwak yang baik. Hasilnya, ia bisa memproduksi kopi luwak berkualitas.
Bagi Sugeng Pujiono, cita rasa kopi luwak yang khas dan berkualitas harus diikuti oleh kesehatan hewan tersebut. Agar kesehatannya terjaga dengan baik, luwak harus diberi pakan yang bergizi.
Sugeng menjelaskan, makanan utama luwak adalah buah-buahan manis seperti pepaya, pisang, sawo dan buah lainnya. Setiap hari, satu ekor luwak bisa mengonsumsi pepaya atau pisang sebanyak 1 kilogram (kg). Buah kopi justru diberikan sebagai pakan sampingan luwak.
Idealnya, kata Sugeng, luwak hanya diberi pakan buah kopi sebanyak dua kali dalam sepekan. Itu pun dengan takaran 500 gram per ekor. Tak hanya pakan yang bervariasi dan bergizi, air minum luwak juga tidak boleh sembarangan.
Setiap pagi, luwak harus diberi susu sapi segar yang dimasak. Sore harinya, luwak diberi air minum biasa. Lalu, setiap Selasa dan Jumat, luwak diberi empat butir telur.
Sementara itu, madu diberikan tiga kali setiap minggu dan daging paha ayam diberikan satu minggu sekali. Agar terhindar dari rabies, luwak harus mendapatkan vaksin setahun sekali dan ditambah pemberian obat cacing setiap tiga bulan.
Untuk menghasilkan biji kopi luwak, biasanya Sugeng memberikan pakan buah kopi untuk hewan mamalia ini tiap Senin dan Kamis. Lazimnya, buah kopi diberikan pada sore hari. Ini agar keesokan paginya biji kopi bisa langsung dicerna dan keluar dari perut luwak.
Setelah itu, biji kopi dikumpulkan untuk dibersihkan. Selanjutnya, biji kopi luwak yang sudah bersih, dikeringkan sampai tersisa kadar airnya hanya 12%. Proses selanjutnya adalah pengupasan kulit tanduk (kulit dari biji kopi). Terakhir, biji kopi disangrai, digiling dan dikemas.
Proses perawatan luwak hingga mampu menghasilkan biji kopi berkualitas butuh biaya besar. Wajar, jika harga kopi luwak dibanderol Sugeng Rp 3 juta per kg. Mahalnya harga kopi luwak, justru jadi kendala Sugeng dalam memasarkan produknya. “Ini tantangan terberat, karena bisnis ini sangat berbeda dengan profesi saya sebagai dokter hewan,” imbuh Sugeng.
Saking sulitnya menembus pasar kopi luwak, pada pertengahan 2013, ayah dari dua orang anak ini sempat dibuat frustrasi. Menurutnya, sebagian besar masyarakat Indonesia tak bisa menerima keberadaan kopi dengan harga yang mahal.
Selain itu, Kopi Luwak Cikole juga ditolak di beberapa tempat seperti cafe, hotel, tempat hiburan, dan tempat wisata. Hingga akhirnya dia memutuskan untuk tak lagi aktif memasuki pasar. “Selain karena harganya mahal, alasannya karena kemasan kita tak menarik,” kenang Sugeng.
Hal itu pula yang membuat Sugeng menerapkan strategi pemasaran berkonsep edukasi atau yang disebutnya blue ocean strategy. Setiap tamu yang datang, disuguhkan kopi sekaligus diberi edukasi soal produksi kopi luwak.
Strategi itu tak sia-sia. Seiring berjalannya waktu, rumah produksi kopi luwaknya mulai diliput sejumlah media nasional hingga semakin banyak tamu yang berkunjung ke tempatnya. Praktis, Kopi Luwak Cikole mulai terkenal di pasaran.
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


 
 
 










