kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45985,97   -4,40   -0.44%
  • EMAS1.249.000 2,21%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Sukses berbisnis berkat ambisi punya usaha sendiri di usia muda


Sabtu, 20 Juli 2019 / 13:00 WIB
Sukses berbisnis berkat ambisi punya usaha sendiri di usia muda


Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan

KONTAN.CO.ID - Ambisi Rinda Desgita Virnari Saputri punya usaha sendiri di usia 25 tahun kesampaian juga. Bukan cuma satu, kini dia punya dua usaha.

Perempuan kelahiran Jakarta, 13 Desember 1990 ini adalah pemilik usaha serbuk minuman merek Masterista dan kedai kopi bertajuk What’s Up Coffee. Dari kedua bisnisnya itu, kini Rinda bisa mengantongi omzet lebih dari Rp 500 juta per bulan.

Jumlah karyawannya total ada 22 orang. “Saya memang punya ambisi punya usaha sendiri saat usia 25 tahun,” kata dia.

Keinginannya yang besar itu muncul saat menjadi distributor keripik singkong pedas Maicih untuk wilayah Jakarta. Ketika itu, keuangan Rinda berada di titik terendah akibat perubahan sistem penjualan dari kantor pusat, yang mengakibatkan persaingan sesama penjual Maicih semakin ketat.

Buntutnya, dia sampai harus menjual Mazda2 miliknya. Padahal, mobil ini ia beli dari hasil keuntungan jualan Maicih. Untungnya, “Tidak sampai ngutang,” ujar alumni Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (UI) ini.  

Rinda menjadi distributor Maicih saat dia masih duduk di bangku kuliah. Awalnya, dia penasaran dengan rasa keripik singkong yang kala itu sedang happening di Bandung.

Setelah mencoba dan rasanya enak, ia pun memberanikan diri menjadi distributor di Jakarta, dengan menghubungi nomor telepon yang ada di akun Twitter Maicih. “Ternyata, mereka lagi butuh distributor untuk Jakarta,” ujar Rinda.

Untuk menjadi distributor Maicih, proses seleksinya sangat ketat. Sebab, sistem pemasaran Maicih eksklusif dan nomaden alias berpindah-pindah.

Akhirnya, setelah melewati proses seleksi, dia pun terpilih sebagai distributor area Jakarta. Pada 2011, Rinda mulai memasarkan Maicih.

Bermodal uang Rp 5 juta hasil meminjam dari orangtua, ia membeli 500 bungkus keripik singkong. “Dalam satu minggu habis, karena saya gentayangan ke mana-mana pakai mobil yang dikasih orangtua,” kisahnya.

Pada tahun yang sama, penjualannya berhasil menembus 20.000 bungkus per bulan. Rinda punya bawahan sampai 15 orang.

Sebagai distributor, dia pun mendapat sebutan jenderal. Yang menarik, salah satu bawahannya adalah Sigit Wardana, vokalis Base Jam.

Menurutnya, Sigit tertarik jualan Maicih karena profitnya gede banget. Rinda sendiri mengantongi keuntungan Rp 5.000 per bungkus. “Dulu, profit saya sebulan bisa sampai Rp 100 juta, bersih,” ucap dia.

Enggak heran, Rinda yang sedang kuliah semester akhir memutuskan untuk cuti selama satu tahun. Selain nilai kuliah yang masih oke, ia melihat, sistem pemasaran Maicih tidak akan bertahan lama. “Jadi, saya ingin manfaatkan momentum ini, mumpung masih punya kesempatan,” ujarnya.

Ternyata, penilaiannya benar. Maicih mengubah sistem penjualan. Persaingan sesama penjual pun makin ketat. Apalagi, Maicih masuk ke pasar modern. Dengan sendirinya, penjual yang tidak kuat tereleminasi.

Rinda jadi salah satu yang tidak kuat itu. Alhasil, ia memutuskan stop menjual Maicih. “Saya jualan dari 2011 sampai 2013. Setahun terakhir, struggling banget,” kata dia.

Sejatinya, bakat dagang Rinda sudah ada sejak dia masih berseragam putih merah alias sekolah dasar (SD).

Waktu duduk di bangku kelas lima, dia jualan asinan buatan asisten rumahtangga (ART)-nya di sekolah, dan laku keras. Duit hasil jualan, ia berikan semuanya ke ART lantaran uang jajan dari orangtua lebih dari cukup.

Rinda kembali berdagang saat sekolah menengah atas (SMA). Tapi, dia mulai serius berjualan pas kuliah.

Dia jadi reseller tas impor. “Saya lihat ada pasarnya karena teman-teman mau beli,” ujarnya yang kemudian membuka lapak di Facebook pada 2009 silam.

Satu tahun riset

Setelah tak lagi menjadi distributor Maicih, Rinda memanfaatkan gelar sarjananya untuk bekerja di perusahaan. Tapi, hanya bertahan 1,5 tahun.

Beruntung dia banyak ikut komunitas. Itulah yang mengantarkannya bertemu dengan seseorang yang kelak bersamanya mendirikan usaha Masterista.

Sayangnya, Rinda menolak mengungkap jati diri mitranya itu. Yang terang, ia jebolan Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor (IPB).

Mulanya, sang mitra mengajaknya berbisnis kopi. “Tapi saya kurang sreg, saya merasa susah kayaknya bisnis kopi,” ujarnya.

Lantaran punya latar belakang pendidikan teknologi pangan, si mitra punya keahlian membuat serbuk minuman. Rinda pun langsung setuju. Pada 2015, mereka sepakat merintis usaha tersebut.

Satu tahun pertama, Rinda melakukan riset sekaligus trial and error. Ia juga minta bantuan konsultan untuk membangun merek, membuat logo dan  melakukan studi pasar. Mereka juga mengundang calon pembeli untuk ikut focus group discussion (FGD), mulai pemilik kafe, kedai kopi, hingga barista.

Dari situ, Rinda menemukan formula marketing yang pas. Sebab, ia kebagian tugas di bagian pemasaran dan operasional.

Sementara sang mitra mengurus produksi yang ada di Cempaka Putih, Jakarta. “Akhirnya launching, langsung 50 varian rasa, jualan door to door ke kedai kopi,” katanya.

Nama Masterista, Rinda menjelaskan, berarti barista atawa ahli pembuat kopi profesional. “Filosofinya, produk kami dibuat untuk para profesional di sektor horeka (hotel, restoran, dan kafe),” imbuhnya.

Saat ini, jumlah pelanggan tetapnya mencapai 1.000 customer. Sebanyak 30%–50% di antaranya melakukan pemesanan serbuk minuman setiap bulan. Sisanya dua bulan sekali.

Status usahanya pun naik menjadi perseroan terbatas (PT) pada akhir 2918 lalu. Namanya: PT Masterinda Anugerah Solusindo (MAS).

“Nanti, kalau suatu saat bisa IPO (penawaran umum perdana), kan bagus, bisa memakai sandi saham EMAS,” kata Rinda yang mengincar omzet Rp 1 miliar per bulan atau naik dua kali lipat dari pendapatan bulanan saat ini.  

Masalah karyawan

Tiga tahun bisnis Masterista bergulir, Rinda mengembangkan sayap usaha dengan mendirikan kedai kopi. Kali ini, dengan mitra yang berbeda, yang tak lain adalah sang suami, Ryan Berti. Ia mengusung nama What’s Good Coffee.

Maklum, suaminya merupakan konsultan kopi yang sering membuat video-blogging (vlog) dengan pengikut mencapai ratusan ribu. Walhasil, banyak orang yang kerap datang ke rumah untuk ngobrol soal kopi.

“Tapi, saya pikir, enggak bisa begini melulu, harus ada tempat lain buat nongkrong. Saya bilang ke suami, untuk bikin kedai kopi. Apalagi, saya punya produk bubuknya. Ibaratnya Thanos (tokoh penjahat dalam film Avengers), tinggal menjentikkan jari,” beber dia.

Suami pun setuju. Rinda lalu membuka kedai kopi di Kemang, Jakarta Selatan, pada Juli 2018. Di hari pembukaan, yang datang langsung sekitar 100 orang.

Padahal, karyawan baru satu orang. Rinda yang sedang hamil tua pun terpaksa turun tangan, ikut membantu melayani konsumen.

Perkembangan bisnis kedai kopinya terbilang pesat. Belum ada satu tahun, dia buka dua cabang, tepatnya Februari lalu.

Satu di daerah Pejaten, satu lagi di Permata Hijau, bareng sama kantor Masterista. “Yang Pejaten kerjasama, jadi bagi hasil. Saya enggak ngoyo. Dan buat saya, 2019 adalah tahun kolaborasi. Kalau enggak kolaborasi akan mati,” jelasnya.

Salah satu perjuangan paling berat dalam merintis usaha, terutama saat awal-awal merintis Masterista, Rinda bilang, adalah mencari sumber daya manusia (SDM) yang tepat.

Banyak karyawan yang tidak bisa mengikuti ritme kerjanya. Belum lagi, ada yang baru kerja langsung pinjam duit.

Untuk itu, Rinda membuat standar operasional prosedur (SOP) untuk karyawan. “Karena buat saya, SOP landasan banget. Jadi, walaupun saya enggak di kantor, karena ada SOP tetap bisa jalan. Jadi, SOP semacam pilot,” ujar dia.

Ambisi Rinda berikutnya adalah, Masterista bisa menjadi one stop solution untuk produk horeka. Makanya, ia berencana menambah produk berupa sirop. Kemudian, mengawinkan Masterista dengan What’s Good Coffee. “Di mana ada What’s Good, di situ ada kantor cabang Masterista, terutama untuk yang luar kota,” katanya.

Sebetulnya, untuk ekspansi What’s Good Coffee ke luar kota, Rinda mengungkapkan, sudah banyak tawaran kongsi yang masuk dalam bentuk waralaba. Tapi, ia belum berani karena takut bisnis kedai kopi cuma booming sesaat.

Meski begitu, dia berencana buka cabang di Bekasi dan Palembang dengan berkolaborasi. “Bukan franchise, mereka lebih ke investor saja, operasional kami yang urus,” ucapnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×