kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Sulit ekspor lantaran keterbatasan teknologi (2)


Rabu, 24 April 2013 / 15:32 WIB
Sulit ekspor lantaran keterbatasan teknologi (2)
ILUSTRASI. Sebelum memutuskan mengajukan pembelian rumah lewat KPR, penting untuk memperbanyak riset baik itu soal bunganya, cicilan, hingga rumahnya. KONTAN/Baihaki/13/10/2021


Reporter: Marantina | Editor: Dupla Kartini

Meskipun sudah berdiri puluhan tahun, para perajin kulit di Desa Masin, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, masih mengandalkan sistem manual dalam menyamak dan membuat kerajinan kulit. Makanya, para perajin belum bisa memasarkan produknya hingga ke luar negeri.

Padahal, dari segi kualitas, Musthofa sebagai Ketua Kluster Kulit di Desa Masin yakin, kerajinan kulit buatan perajin di sana tidak kalah bagus dibanding kerajinan kulit di daerah lain.

Kata Musthofa, pasokan kulit sapi mentah yang disamak berasal dari Kalimantan, Sulawesi, dan Kupang. Harga beli kulit sapi mentah sekitar Rp 20.000 per kg. "Pasokan kulit di Jawa sudah semakin mahal, mencapai Rp 27.000 per kg. Kualitasnya pun tidak sebagus kulit yang dihasilkan di luar Jawa,” tuturnya.

Ada tiga tahapan penyamakan kulit yang ditempuh warga Desa Masin, yaitu tahap pengerjaan basah, penyamakan, dan finishing. Mereka masih menganut sistem penyamakan nabati menggunakan kulit akasia.

Tahap awal dimulai dengan mengawetkan kulit mentah dengan garam. Lemak dibuang menggunakan tangan. Lalu, kulit dipotong sesuai kebutuhan.
Selanjutnya masuk tahap penyamakan, di mana kulit direndam di dalam bak berisi larutan ekstrak nabati (kulit akasia). Setelah disamak, kulit dikeringkan, dan masuk pada tahap finisihing, yakni penghalusan.

Kata Musthofa, hanya sekitar 20% produksi kulit Desa Masin yang diserap oleh  masyarakat Kabupaten Batang, atau sekitar 2 kuintal per bulan. Kulit hasil penyamakan itu dioleh menjadi beragam kerajinan.

Sedangkan, sisanya yang mencapai lima ton dikirim ke berbagai kota di Indonesia, seperti Denpasar, Cilegon, Garut, Tegal, Bandung, Surabaya, dan Yogyakarta. Biasanya, pemesan juga menggunakan kulit tersebut untuk membuat kerajinan.

Masih minimnya kulit yang diserap warga Desa Masin, lantaran kemampuan mereka untuk menyulap kulit menjadi kerajinan pun masih terbatas. Pasalnya, proses pengerjaan masih dilakukan secara manual.

Salah seorang perajin, Zubaidi memberi contoh. Untuk merampungkan sebuah ikat pinggang berukir, ia membutuh waktu sekitar dua jam. Kulit yang akan diukir menggunakan pisau harus diukur dulu ketebalannya. Sebelum mengukir, ia perlu menyiapkan desain. Supaya motifnya timbul, kulit diukir dengan cara diketok.
 
Zubaidi mengaku, pernah mendapat order produk kerajinan kulit dari luar negeri dalam jumlah besar. Namun, karena keterbatasan teknologi, ia tidak menyanggupi. "Kami berharap pemerintah bisa membantu kami soal teknik membuat kerajinan ukit kulit," ujarnya.

Perajin lainnya, Fadholin berharap, Desa Masin bisa mengikuti jejak perajin Cibaduyut yang lebih sukses memasarkan produk. "Selama ini, kami hanya jualan lewat pemasaran dari mulut ke mulut. Kalau pakai internet, bisa lebih banyak yang tahu,” imbuhnya. (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait


TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×