Reporter: Noverius Laoli | Editor: Tri Adi
Bak roda yang selalu berputar, bisnis Sumarna kerap mengalami pasang surut. Ia sukses membesarkan usahanya saat memutuskan pindah lokasi berjualan ke Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur di tahun 1970.
Pemilik kios Murah Rezeki ini terbantu berkat hubungan baiknya dengan relasi, seperti pelanggan maupun para pemasok dari Pasar Senen, Jakarta Pusat, lokasi kiosnya dahulu.
Dalam waktu singkat, usahanya dari berjualan cabai merah, cabai rawit, serta tomat di pasar induk makin berkibar. Ia pun berhasil melunasi cicilan kiosnya hanya dalam jangka waktu tujuh tahun.
Selama sepuluh tahun berjualan, langganan tetap Sumarna adalah para pedagang pasar tradisional di Jakarta. Di tahun 1980-an, komoditas dagangannya mulai merambah pusat perbelanjaan modern, seperti supermarket.
Pada awalnya, ekspansi ke pasar swalayan itu berjalan lancar. Bahkan, dapat memperbesar pemasukannya. Namun, setelah sepuluh tahun berjalan, penjualannya di pasar modern merosot.
Bahkan, Sumarna sempat merugi ratusan juta lantaran barang yang rusak tidak diganti pihak swalayan. "Lama-kelamaan saya merugi karena mereka ambil barang dulu baru bayar," ujarnya.
Akhirnya, di tahun 1990, Sumarna memutuskan berhenti memasok pasar modern. Untungnya, penjualan Sumarna di pasar induk tetap berjalan normal. Di pasar induk ini, ia tetap menjadi langganan para pedagang pasar tradisional di Jakarta dan sekitarnya, seperti Pasar Cengkareng, Pasar Jembatan Dua, dan Pasar Pesing.
Dari situ, keuntungan tetap mengalir ke kantong Sumarna. Sebagian besar laba jualan itu ditabungnya di bank. Dari hasil jerih payahnya, jumlah tabungannya mencapai miliaran rupiah. Namun, cobaan kembali menghampirinya. "Duit saya dikorupsi lima karyawan saya yang tidak jujur," ungkap dia penuh sesal.
Sumarna bercerita, penggembosan tabungan dilakukan secara bertahap sejak akhir tahun 2010. Pertengahan tahun 2011 ia baru menyadari tabungannya berisi Rp 1,8 miliar ludes dicuri pegawainya.
Modus penilapan uang oleh karyawannya sangat merugikan Sumarna. Misalnya, dari pasokan 10 kilogram (kg) tomat, karyawannya hanya membayar ke pemasok sebanyak 3 kg.
Kejadian itu berlangsung selama sekitar hampir enam bulan. Tahu-tahu tagihan pembayaran dari pemasok menggelembung. "Jadi tanpa sadar, saya harus membayar pasokan barang sebanyak dua kali," ujarnya.
Sadar telah tertipu, Sumarna langsung memecat kelima karyawannya. "Biarlah, saya hanya bisa menangis di batin saja dan tetap bertahan," kata dia.
(Bersambung)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News