kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Suryono babat lahan sawit jadi kebun hortikultura


Rabu, 27 September 2017 / 09:05 WIB
Suryono babat lahan sawit jadi kebun hortikultura


Reporter: Elisabeth Adventa | Editor: Johana K.

KONTAN.CO.ID - Menjadi petani bukan profesi idaman generasi masa kini. Apalagi generasi millennial yang lengket dengan gawai dan kecanggihan teknologi lainnya. Mereka pasti lebih suka bekerja kantoran, menjadi blogger atau vlogger.

Persepsi kalangan kelas bawah dan tertindas juga kerap ada di sebagian besar benak masyarakat ketika menyebut profesi petani. Di Indonesia yang notabene negara agraris, profesi petani memang tidak populer dan selalu dianggap rendah.

Justru anggapan tersebut yang menjadi motivasi Suryono, seorang petani hortikultura asal Kabupaten Siak, Provinsi Riau. Berkat keuletannya menggarap lahan bekas sawit yang tak lagi produktif, kini ia bisa mendulang omzet hingga Rp 60 juta per bulan dari aneka tanaman hortikultura yang ditanamnya. Tak hanya itu, ia juga membuka lapangan kerja bagi warga desanya.

Dari nilai omzet itu, Suryono pun bisa mengantongi laba mencapai Rp 15 juta per bulan. "Itu untung bersih, sudah dipotong dengan biaya membayar lima orang karyawan, biaya operasional dan membayar utang,” tutur Suyono.    

Bahkan, dengan keberhasilannya tersebut, Suryono juga sukses memotivasi sesama petani di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak  untuk menanam hortikultura. Alhasil, jumlah petani Riau yang beralih dari kelapa sawit menjadi penanam sayuran atau hortikultura semakin banyak, terutama di daerah Suryono tinggal.

"Setelah mereka melihat saya berhasil, akhirnya banyak yang mengikuti. Sedikitnya ada tiga sampai empat orang yang membabat sawit mereka, bahkan sampai pinjam alat penumbangnya ke saya," kata pria asli Nganjuk ini pada KONTAN saat ditemui di area kebunnya di Dusun Sukajaya Kampung Pinang Sebatang Barat, Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak.

Saat ini, Suryono  mengelola lahan seluas dua hektar. Lahan ini sudah menjadi miliknya sendiri. Ia menanam berbagai macam tanaman hortikultura dilahan yang kanan kirainya berbatasan dengan hutan akasia, tanaman sawit, hutan konservasi dan kebun karet.

Beberapa jenis sayuran yang ditanam Suryono antara lain kangkung, bayam, cabai, melon, semangka, kacang panjang, timun, pepaya, dan jagung. Pria 41 tahun ini mengatakan aneka sayur dan buah tersebut ditanam sesuai dengan musimnya. Tak bergantung tengkulak, dia jual sendiri hasil panennya.

Hijrah dari petani sawit sampai lepas jerat tengkulak

Keberhasilan seorang petani, salah satunya bergantung pada komoditas yang ditanam dan cara memasarkan hasil pertaniannya. Melakoni profesi petani sejak 2008 silam, Suryono awalnya menanam kelapa sawit di lahan seluas dua hektar.  

Namun, dia menganggap hasil sawit dari kebunnya masih kurang. Bertanam sawit memang tak mudah. Butuh waktu lama dan biaya besar karena sawit baru bisa dipanen dalam lima tahun. Produktivitas dan kualitasnya juga menurun seiring umur tanaman.     

Pria berperawakan ceking dan kulit sawo matang ini lantas memutuskan bertanam holtikura. Ia membabat pohon sawit yang sudah berumur 10 tahun itu dan menggantinya dengan aneka sayur dan buah sejak 2012.  "Produktivitas terus turun, saya banting setir menanam sayur dan buah,” paparnya.

Tantangan menjadi petani tak hanya pada pemilihan komoditas saja. Suryono juga mengeluhkan soal penjualan hasil pertaniannya. Ia tak memungkiri jika pada awal menjadi petani hortikultura, dirinya dan beberapa kawan bergantung pada tengkulak dalam memasarkan produk.“Seperti petani pada umumnya, awalnya juga jual ke tengkulak atau pengepul.Ternyata kami sering dibohongi. Misal, saat musim panen melon, mereka bilang harga melon di pasar jatuh, jadi mereka bisa beli sangat murah,” terang Suryono.

Saat itu, dia dan petani lainnya pun tak berdaya karena tak pernah terjun langsung ke pasar. “Kami percaya saja,” kenangnya.

Menyadari tengkulak terus menjeratnya, Suryono pun menjual panennya sendiri ke pasar. Beruntung dia cakap berdagang, sehingga tak kesulitan dalam merangkul pasar. Lalu, dia pun mengajak sesama pelain lainnya untuk jual panen sendiri.   

Sayang, upaya tersebut tak berjalan mulus. Suryono mendapat perlawanan para tengkulak yang menggandeng preman pasar. “Mulai dari diancam, diajak berantem sampai diteror, saya alami semua,” kenangnya.

Tak tinggal diam, Suryono dan teman-temannya pun melaporkan teror tersebu pada pihak berwajib dan mengurus seluruh perijinan agar bisa berjualan yang sah. “Saya berpikir, kalau semua legal, pasti ada backing dari pihak berwajib dan pemerintah. Jadi saya tidak perlu takut lagi,” ujarnya. Perjuangannya lepas dari jerat tengkulak ini berlangsung antara 2012 hingga 2015.   

Dua tahun belakangan ini, petani hortikultura di Kecamatan Tualang, Kabupaten Siak sudah tidak lagi mengandalkan tengkulak dan bisa menjual hasil panennya secara mandiri. Pria berdarah Jawa ini pun mengaku pendapatannya meningkat hingga dua kali bahkan tiga kali lipat semenjak lepas dari jeratan tengkulak. “Kuncinya, kalau kita benar, kita harus berani,” tegasnya sambil tersenyum.        

Sabet Penghargaan Petani Terbaik di Siak

Dengan pertanian konvensional ini, salah satu kendalanya adalah pasokan air. Saat musim hujan, petani sulit mengontrol air yang terlalu banyak, sebaliknya lahan kering saat kemarau. 

Namun, dua tahun terakhir, Suryono bilang, mulai terbantu dengan adanya program Desa Makmur Peduli Api (DMPA). Petani dibantu mulai dari modal usaha, fasilitas infrastruktur pertanian, hingga pemasaran hasil panen hortikultura. "Saya dapat bantuan alat berat untuk bikin embung air, pembuatan infrastruktur jalan ke kebun sampai bantu memasarkan hasil panen seperti bayam, kangkung, jagung dan melon ke karyawan pabrik," kata dia.

Selain itu, Suryono dan para petani lain diberikan pelatihan sekaligus pembinaan tentang manajemen bercocok tanam dan teknis lain tentang pertanian. Ada juga pinjaman modal uang untuk membeli bibit, pupuk, media tanam dan lainnya. Pinjaman tersebut diberikan secara berkelompok.

"Contohnya, kelompok saya diberikan modal Rp 4.100.000 untuk menanam melon. Dari modal itu, kami bisa mendapat keuntungan kira-kira sampai Rp 15 juta setelah menunggu melon panen selama 65-70 hari. Nah, nanti dari hasil panen itu, kami kumpulkan sedikit-sedikit untuk nyicil bayar utang pinjaman tadi," jelas Suryono.

Karena keberhasilannya mengelola pertanian, Suryono pernah menerima beberapa penghargaan, seperti Adikarya Pangan Nusantara 2015 dan Petani Terbaik Siak Bidang Hortikultura 2016. Penghargaan tersebut diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Siak.

Keberhasilan pria 41 tahun ini juga dianggap menjadi inspirasi bagi petani lain, maka PT APP - Sinarmas pernah membawanya untuk menghadiri KTT PBB Perubahan Iklim (COP-22) di Marrakesh, Maroko pada November 2016. Dalam acara tersebut, Suryono juga mempresentasikan soal praktik bercocok tanam yang berkelanjutan dan ramah lingkungan.

"Saya berharap, ke depannya makin banyak petani yang mau bercocoktanam dengan cara yang benar, tidak merusak lingkungan. Dan semoga makin banyak petani lebih sejahtera taraf hidupnya karena selama ini petani selalu dianggap miskin dan lemah," pungkasnya sambil tertawa.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×