kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tak menyerah meski pernah ditipu perajin (2)


Jumat, 04 Oktober 2013 / 12:49 WIB
Tak menyerah meski pernah ditipu perajin (2)
ILUSTRASI. Persiapan Hotel Untuk Menyambut Kenormalan Baru. Menakar Prospek Industri Perhotelan di Tengah Bangkitnya Pariwisata.


Reporter: Revi Yohana | Editor: Dupla Kartini

Perjalanan Desak Ketut Manis dalam membesarkan usaha Indarti Silver penuh tantangan. Ia bercerita, tantangan utama yang di hadapi adalah modal yang terbatas.

Desak mengawali usahanya hanya bermodal Rp 3 juta. Dana itu digunakan untuk membeli peralatan. Sedangkan, bahan baku perak didapat dengan cara berutang. "Sampai 1991, perak yang saya pakai ngebon (utang) dulu," kenangnya.

Selain berutang, ia hanya mengharapkan modal dari pesanan warga asing yang bersedia membayar di muka. Karena sistem seperti ini, Desak kesulitan mengembangkan usahanya.

Angin segar mulai bertiup saat sang suami memilih pensiun dini pada 1991. Kala itu, suaminya mendapatkan pesangon sebesar Rp 37,5 juta. Setelah dipotong untuk melunasi pinjaman, masih tersisa Rp 22,5 juta. Seluruh dana itu digunakan Desak untuk membeli bahan baku perak dalam jumlah lebih banyak. "Saya masih ingat harga perak saat itu Rp 2.250 per gram, lumayan bisa beli 10 kilogram perak," ujarnya.

Dari sinilah usaha Desak mulai melaju. Ia tak pernah lagi berutang untuk membeli bahan baku. Seiring penghasilan meningkat, ia pun bisa mempekerjakan lebih banyak perajin.

Namun, di saat bersamaan, tantangan baru datang. Pasalnya, tak semua perajin selalu jujur. Ada saja perajin yang membawa kabur bahan baku perak. "Pernah sampai 6 kg lenyap," tutur perempuan kelahiran Gianyar, 64 tahun silam ini.

Padahal, katanya, para perajin itu sudah bekerja cukup lama di galerinya. Ia pun mulai selektif memilih perajin yang diajak bekerja.

Selain itu, Desak mengubah sistem pemesanan dari turis asing sejak 2005. "Zaman dulu tamu yang memberikan modal untuk beli bahan, kami hanya membuat. Sekarang, tidak begitu," ungkapnya. Jadi, meskipun pelanggan memesan dalam jumlah besar, perajin lah yang menanggung biaya lebih dulu.

Seiring waktu, para pelanggan minta perubahan sistem pembayaran. Jadi, pembayaran tidak langsung. Misalnya, pengiriman dilakukan dua minggu sekali, sementara pembayaran baru dilakukan setelah seluruh pesanan rampung.

Ini kembali menguras modal Desak. Maklum, dengan sistem itu, ia harus merogok kocek puluhan sampai ratusan juta untuk satu order.

Awalnya, Desak tak berani meminjam modal kepada bank. Tapi, karena  kondisi kian mendesak, ia memberanikan diri meminjam dari Bank Pembangunan Daerah sebesar Rp 10 juta.

Kini, ia rutin meminjam dari PT Bank Rakyat Indonesia (BRI). Dulu plafonnya Rp 30 juta. Kini, mencapai Rp 500 juta. "Dari situ, saya belajar, jika kita punya niat dan tekun, pasti bisa melewati tantangan," ucapnya.  (Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Berita Terkait


TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×