Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi
Pepatah bilang, pengalaman merupakan guru terbaik. Pepatah ini pas menggambarkan perjalanan hidup Taufiq Rahman. Setelah 20 tahun melakoni peran sebagai tenaga pemasar, ia bertekad mandiri dengan usaha sendiri. Saat ini Taufiq menikmati derasnya tetes rezeki dari bisnis produksi 250.000 pasang kaus kaki dan 1.000 pasang sepatu saban bulan.
Setelah merasakan kariernya sudah mentok sebagai general manager marketing di sebuah perusahaan, Taufiq memutuskan beralih haluan jadi pengusaha. Sejatinya, usaha kaus kaki dan sepatu bukanlah bisnis pertama pria kelahiran Jombang, 8 November 1964 ini.
Taufik merantau ke Ibukota, bekerja sebagai detailer perusahaan farmasi. Namun, dia tak bisa menghiraukan panggilannya sebagai wirausahawan. Ia sempat menjalani beragam bidang usaha. “Dulu saya pernah jadi pemasok komputer, lalu jadi produsen pupuk organik. Bahkan saya pernah buka restoran seafood,” kenang dia.
Namun, tak satu pun usaha itu yang berhasil. Padahal, Taufiq sempat menggadaikan rumah demi mewujudkan impiannya berbisnis. Alhasil, Aisyah, sang istri, sempat berujar mungkin jadi pengusaha bukan jalan hidup Taufiq. Dia pun kembali bekerja. “Tapi, tak pernah keluar dari jalur marketing, jadi saya memang sudah menguasai bidang ini,” ujarnya.
Pada 2003, Taufiq mencium potensi besar dari usaha pembuatan kaus kaki. Dari pengalaman enam tahun bekerja di pabrik kaus kaki, dia melihat produk ini merupakan kebutuhan hampir semua orang. Walaupun kecil dan harganya tak seberapa mahal, kaus kaki dibutuhkan orang sejak lahir bahkan hingga menutup usia.
Awalnya, Taufiq memproduksi kaus kaki secara kecil-kecilan dengan sistem maklun di Bandung dengan ditemani seorang karyawan. Karena mengutamakan kualitas, permintaan terus meningkat. Dari maklun, Taufik membeli mesin jahit sendiri. Uang pesangon sebesar Rp 40 juta dari perusahaan tempatnya bekerja ia jadikan modal awal. “Untuk produksi dalam jumlah kecil, maklun membantu, tapi karena jumlah pesanan semakin banyak, tidak bisa lagi dengan sistem itu karena saya sangat menjaga kualitas dan ketepatan waktu,” kata dia.
Dari usaha ini, dia berhasil membuktikan, bisnis kaus kaki tak mengenal merek. Mengandalkan kualitas yang sama dengan produk dari perusahaan, namun memasang harga yang lebih kompetitif, Taufiq mencuri pasar. Bahkan, kini dia kerap menolak pesanan. “Saya menolak 30% dari total order tiap bulan,” ucap dia.
Taufiq bilang, kunci utamanya dalam usaha ialah membidik pasar yang tepat untuk produknya. “Saya sangat fokus dalam hal marketing, positioning, dan segmentasi,” cetus dia. Dus, hingga sekarang ia meluncurkan 30 merek untuk produk kaus kaki dan sepatu. Tiap produk disesuaikan dengan pasar yang disasar.
Inovasi serat bambu
Menyadari bahwa ia bukan pemimpin dalam pasar kaus kaki, Taufiq memutar otak. Ia mencari cara agar produknya tak hanya laku di pasar, tapi juga memiliki nilai tambah. Pada 2010 ia menemukan bahan baku baru, yakni bahan dari serat bambu.
Melalui riset, Taufiq mendapati serat bambu sudah lazim menjadi bahan kaus kaki di luar negeri. “Saya lihat pasar dunia bergeser. Tak hanya fungsi, konsumen juga menginginkan kaus kaki yang anti bau,” tandasnya. Selain itu, serat bambu ramah lingkungan karena tak menghasilkan limbah. Namun kaus kaki serat bambu ini tak begitu saja diterima pasar. Taufiq butuh waktu dua tahun hingga produk ini laku.
Dia pun sempat merugi. Tapi, Taufiq menganggap kegagalan itu seperti biaya sekolah. “Tak mengapa rugi, yang penting saya mendapat pengalaman dan pembelajaran dari kegagalan itu,” tegas dia.
Baru pada 2012, Taufiq mencoba strategi pemasaran baru. Ia mengikutsertakan produknya dalam beragam pameran. Strategi ini berhasil mengangkat produk kaus kaki serat bambu. Taufiq menambahkan, untuk dikenal masyarakat luas, pengusaha harus rajin ikut pameran. “Jangan hanya sekali, tapi berkali-kali,” tuturnya. Setelah berhasil memasarkan kaus kaki dari serat bambu, Taufiq tak langsung puas. Ia juga mengembangkan sepatu dari bahan yang sama.
Sebenarnya sejak 2010, Taufiq sudah memproduksi sepatu dari bahan kulit asli. Ia menggunakan kulit sapi jawa yang ditengarai sebagai kulit berkualitas terbaik di dunia. Sepatu dengan merek Parker, Alea, dan Le Coultre ini dibanderol mulai Rp 600.000 hingga Rp 1,5 juta per pasang.
Pengusaha sukses umumnya memiliki kreativitas tinggi. Pria yang berusia 50 tahun ini menuturkan hambatan dalam bisnis membuat dia kreatif. Misalnya, ketika sulit mendapat bahan kulit sapi lokal, dia mengembangkan kulit hewan lain untuk dijadikan bahan baku pembuatan sepatu.
Selain kulit sapi, Taufiq juga punya sepatu berbahan baku kulit eksotik. Sejauh ini, ia menggunakan kulit ular, biawak, dan ikan nila untuk membuat sepatu. “Justru kalau ada jenis kulit yang aneh saya tertarik. Itu yang membuat saya berpikir kreatif,” cetusnya.
Tahun ini, Taufiq akan meluncurkan produk baru, yakni sepatu dari kulit katak lembu (bullfrog). Taufiq mengklaim, sepatunya merupakan produk pertama dari bahan tersebut. Rencananya, produk tersebut akan dipamerkan pada perhelatan Indonesia Fashion Week tahun ini.
Taufiq juga baru saja membuat toko online. Selain bisa didapatkan di department store kaus kaki dan sepatu buatan Taufik bisa dipesan lewat internet.
Pelaku UKM yang tak takut gagal
Kegagalan bukanlah momok yang ditakuti Taufiq Rahman, pemilik CV Citra Baru Busana. Justru, dari kegagalan ayah tiga orang anak ini bisa mendapat pengalaman berharga. Cara pandang itu yang mengantarkan dia menjadi pengusaha sukses.
Bisa dibilang Taufiq akrab dengan kata gagal. Dulu, ia sempat berganti-ganti bidang usaha karena tiap usaha yang ia geluti tidak berujung pada keberhasilan. Makanya, ia sempat lama jadi karyawan meskipun sangat ingin jadi pengusaha.
Mimpi jadi pengusaha baru bisa diwujudkan ketika Taufiq berumur 39 tahun. Taufiq mengakui pengalaman yang membuat ia berhasil mengembangkan bisnisnya yang terakhir. Memiliki pengalaman puluhan tahun di bidang pemasaran membuat Taufiq lebih jeli melihat peluang bisnis.
“Pengusaha bisa sukses kalau dia benar-benar paham pada usaha yang dijalani,” tegas dia. Sama seperti Taufiq yang bisa berhasil menjadi produsen kaus kaki karena memang sudah lama mempelajari seluk-beluk bisnis kaus kaki dari perusahaan terdahulu.
Saat ini, Taufiq memba-wahi hampir 200 orang karyawan. Namun, ia belum mau menjadikan bisnisnya dalam bentuk perseroan terbatas atau jenis badan usaha lain. “Saya bergerak dalam bisnis usaha kecil dan menengah dulu,” ujarnya.
Bagi Taufiq, UKM lebih siap menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang sebentar lagi akan dihadapi. Dalam penilaian Taufik, skala bisnis UKM lebih efisien dalam produksi dan manajemen usaha.
“Ini jadi kelebihan UKM sehingga lebih siap untuk MEA dibandingkan dengan perusahaan besar,” katanya. Taufik menambahkan, pemerintah juga sudah cukup tanggap dalam menyiapkan pebisnis tingkat UKM untuk menghadapi MEA melalui pelatihan dan seminar yang diberikan selama ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News