kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Terkendala bahan baku, batik bomba mati suri


Rabu, 01 Oktober 2014 / 14:42 WIB
Terkendala bahan baku, batik bomba mati suri
ILUSTRASI. Soto Kwali Daging Sapi Pak Iket di Terminal Tingkir, Salatiga, Jawa Tengah.


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Havid Vebri

Tidak hanya di Pulau Jawa, banyak daerah lain di luar Jawa juga memiliki batik dengan motif dan corak khasnya sendiri. Salah satunya adalah daerah Palu, Sulawesi Tengah, yang terkenal dengan batik bomba.

Nah, salah satu sentra batik bomba yang lumayan kesohor di Palu ada di Jalan Latuvu, Kabupaten Mamboro. Sayang, popularitas sentra batik bomba ini tidak sekinclong dulu lagi.

Lihat saja, sekitar 95% perajinnya memutuskan berhenti berproduksi lantaran susahnya bahan baku dan mahalnya biaya produksi. Kini tinggal tersisa tiga perajin batik cap bomba yang bertahan.

Sentra ini sendiri baru berdiri sekitar tahun 2008 lalu. Awal berdiri, produksi batik di sentra ini lumayan besar. Udin, ketua perajin batik cap bomba, menceritakan, awal kemunculan sentra batik ini dimulai dari idenya yang mencoba mengakali mahalnya harga kain tenun.

“Karena mahal, tidak semua orang bisa membeli tenun. Nah, kalau dibuat batik, kan, harganya nanti lebih murah,” jelasnya. Dari situ, ia mulai membangun usaha batik cap bomba. Ia mengajak seluruh ibu-ibu rumahtangga di sekitarnya untuk menjadi perajin. Saat itu, ada sekitar 25 orang ibu-ibu yang menjadi perajin.

Dalam sehari, setiap perajin bisa memproduksi sekitar 20 lembar batik cap. Gayung bersambut. Batik cap bomba mendapat respons positif dari konsumen lokal dan wisatawan.

Asal tahu saja, batik cap ini banyak diburu untuk dijadikan oleh-oleh. “Kebanyakan dari dinas yang pesan untuk oleh-oleh kepala dinas dari luar kota,” jelas Agus Tresno yang juga perajin batik cap bomba.

Namun, selang dua tahun kemudian, perajin sudah mulai kesulitan produksi. Menurut Agus, kendala utama mereka adalah terbatasnya bahan baku. Bahan bakunya sendiri masih didatangkan langsung dari Surabaya dengan waktu kirim yang cukup lama, yakni sekitar satu minggu hingga dua minggu.

Selain itu, terbatasnya modal membuat para perajin sulit membeli bahan baku. Akibatnya, saat ini hanya tersisa tiga perajin saja yang masih bertahan. Itu pun hanya produksi saat ada pesanan saja.

Saat KONTAN mengunjungi lokasi ini, suasananya cukup sepi. Hanya ada satu rumah yang terlihat sibuk memproduksi batik cap bomba. Tidak ingin melihat sentra batik cap bomba mati, Udin terus berusaha untuk terus eksis dengan sejumlah inovasi baru.

Di antaranya membuat batik cap menggunakan pewarna alami dari kulit pohon mahoni dan kayu cina tao. “Kebetulan di sini bahan bakunya melimpah,” jelasnya. Untuk motifnya sendiri total ada 50 motif yang dihasilkan. Tapi, yang paling laris adalah motif guma dan bunga bomba.

Udin membanderol harga batik capnya sekitar Rp 200.000 per lembar. Dalam sebulan, Agus dan Udin dapat mengantongi omzet Rp 5 juta.           

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×