Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Rizki Caturini
Kendati sentra produksi tahu dan tempe di Mampang Prapatan XIII berada di wilayah perkotaan, namun para perajin di sentra ini menghadapi kendala untuk memperluas pangsa pasar. Itu sebabnya, mereka sulit untuk menambah jumlah produksi, lantaran khawatir tidak semua produk yang mereka hasilkan akan terserap pasar.
Masmono, salah satu perajin tempe di sentra ini, mengatakan, hingga kini belum pernah mencoba meminta pinjaman perbankan untuk menambah permodalan. Menurutnya, bila pun ada perusahaan yang ingin memberikan bantuan modal, para perajin tidak berani menerima. "Kalau ingin meningkatkan jumlah produksi, kami mau jual ke mana?" keluh Masmono.
Sementara untuk menambah nilai produk dengan mengolah tempe menjadi makanan lain, ia dan sejumlah perajin tempe di rumahnya tidak memiliki keahlian untuk melakukan inovasi dan pemasaran.
Menurut pria berusia 63 tahun itu, pangsa pasar tempe di pasar-pasar tradisional sudah semakin sempit di Jakarta karena terimpit oleh produk tahu dan tempe di pasar modern, seperti supermarket. Sementara untuk memasok ke supermarket, Masmono dan rekan-rekannya tidak mempunyai akses.
Saat ini Masmono baru bisa menyuplai pasokan tempe ke ritel modern All Fresh di Jakarta. "Kami juga tidak rutin memasok ke sana, tergantung permintaan dari mereka saja," tuturnya.
Meski begitu, Masmono akan terus memproduksi tempe. Menurutnya, tempe masih akan terus diminati oleh masyarakat, meski penjual tempe di pasar tradisional terus terimpit oleh ritel modern.
Siti, pembuat tempe lainnya di sentra ini juga mengaku tak bisa meningkatkan jumlah produksi tempe. Siti hanya hanya mampu memproduksi 30 kilogram (kg) kacang kedelai per hari.
Namun, jika pelanggan Siti bertambah, tak menutup kemungkinan dia akan menambah kapasitas produksi. "Di Pasar Buncit tempat saya berjualan, pelanggan saya ya itu-itu saja," kata Siti.
Selain tidak bisa menambah jumlah produksi lantaran pangsa pasar yang semakin sempit, kendala lain yang dihadapi oleh para perajin tahu tempe di sentra ini adalah fluktuasi harga kacang kedelai. Jika harga kedelai melambung, otomatis berpengaruh pada pendapatan mereka. Sebab, para perajin tidak bisa sembarangan menaikkan harga jual akibat persaingan yang ketat.
Agus, perajin tempe lainnya, bilang, dalam seminggu harga kedelai bisa tiga kali berubah. Agus menambahkan, fluktuasi tersebut sangat merugikan para perajin. "Kadang kita harus stok kacang kedelai karena takut harga naik. Tapi besoknya harga sudah turun lagi," ujar Agus.
Saat ini harga kacang kedelai mulai stabil di kisaran Rp 8.300 per kg. Menurut Agus, harga ini masih tergolong mahal meski sudah melandai ketimbang beberapa waktu lalu yang sempat Rp 9.000 per kg.
Kendala lain adalah ketika musim hujan tiba. Ketika banjir melanda daerah ini, omzet perajin di sini akan berkurang drastis. n
(Selesai)
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News