Reporter: Merlinda Riska | Editor: S.S. Kurniawan
KONTAN.CO.ID - Menjadi sopir sebuah perusahaan kopi malah mengantarkan Teuku Dharul Bawadi ke tangga kesuksesan. Pria kelahiran Aceh Jaya ini sukses jadi produsen kopi yang produknya sudah menembus pasar ekspor.
Dengan mengibarkan merek Bawadi Coffee, kini dia bisa mengantongi omzet sebulan Rp 400 juta hingga Rp 500 juta. Di bawah bendera UD Bawadi Foods, ia memproduksi kopi dalam bentuk biji dan bubuk berbahan kopi asal Aceh: arabika dan robusta gayo.
Dan sejatinya, Bawadi menjadi sopir, selain untuk biaya hidup, juga guna menghilangkan depresi. Waktu itu, lelaki 30 tahun ini baru rugi ratusan juta rupiah. Uangnya yang dia investasikan di usaha properti yang baru berjalan enam bulan dibawa kabur teman yang jadi mitra bisnis.
Padahal, demi berbisnis properti, ia rela menutup usaha konter ponsel yang sebetulnya sudah banyak mendatangkan untung. "Saya masuk ke bisnis properti dengan modal kurang lebih Rp 200 jutaan. Itu saya dapatkan dari hasil usaha konter HP saya," ungkapnya.
Baca Juga: Kisah Andri Firmansyah, dari ekspor ikan hingga sukses berbisnis batik
Bawadi merintis usaha konter telepon seluler sejak 2004, tak lama setelah tsunami menerjang Aceh. Dia yang kala itu masih duduk di bangku kelas tiga sekolah menengah atas (SMA) memulai bisnis itu tanpa keluar modal sepeser pun.
Semua ponsel yang jadi barang dagangan, Bawadi ambil dari temannya dan baru membayar setelah produk laku. Dari setiap penjualan HP, ia bisa mendekap untung Rp 200.000. Dalam sehari, dia bisa menjual 10 sampai 15 unit ponsel.
Dari keuntungan itu, Bawadi membeli sebuah komputer yang kemudian ia isi lagu dan gim untuk dijual kembali. Sisanya buat biaya sewa tempat untuk dia jadikan konter HP.
Dua tahun, menjalani usaha itu, Bawadi mendulang untung ratusan juta rupiah yang sebagian buat beli tanah dan mobil. "Setelah itu, saya main ke properti dan kalah," kata penggemar berat game online ini.
Dia tertarik masuk ke bisnis properti lantaran ada teman yang menawarkan. Sebagai anak muda yang baru berusia 19 tahun dan belum punya pengalaman, mendapat tawaran iming-iming untung besar, ia pun menjadi tertarik.
Saran pembeli
Setelah rugi besar, dengan perasaan yang campur aduk, sedih, marah, kecewa, bahkan depresi, Bawadi meninggalkan kampung halamannya, Aceh Jaya, guna merantau ke Banda Aceh.
"Kebetulan ada lowongan di sebuah perusahaan kopi sebagai driver. Karena saya depresi dan juga butuh uang buat hidup, saya melamar dan diterima," ujarnya yang sempat kuliah di Universitas Teuku Umar, Meulaboh, tapi tidak lulus.
Sebagai sopir, tugasnya mengantar model promosi alias sales promotion girl (SPG) ke tempat-tempat pameran. Meski hanya seorang sopir, dia bisa banyak belajar mengenai bisnis kopi dan permintaannya, tetapi tidak soal produksi. "Saya, kan, enggak bisa melihat produksi di pabrik," imbuh Bawadi.
Nah, setelah dua tahun menjalani pekerjaan sebagai sopir, ia bertemu seorang pembeli (buyer) asal Malaysia di sebuah pameran. "Dia tanya ke saya, kenapa enggak produksi kopi sendiri saja. Dari situ, saya keluar dari kerjaan untuk coba bisnis kopi," tuturnya.
Tentu, Bawadi juga melihat peluang ekspor kopi yang besar. Soalnya, perusahaan kopi tempatnya bekerja tidak berani untuk mengekspor, hanya menggarap pasar lokal.
Bermodal uang Rp 30 juta hasil menjual tanah, dia membeli mesin roasting. Lalu, ia mencoba-coba me-roasting kopi dengan belajar dari video di YouTube.
"Sekitar dua hari saya terus roasting, sampai akhirnya dapat formula yang pas. Kurang lebih ada sekitar lima kilogram kopi yang terbuang saat itu," bebernya.
Setelah itu, Bawadi mencari pemasok kopi arabika dan robusta gayo. Tentu, tak sulit buatnya mendapat pemasok karena saat bekerja sebagai sopir ia kenal banyak petani.
Baca Juga: Ingin cari cuan lewat Instagram, ini cara buka akun bisnis
Pemasok sudah di tangan, dia langsung mencari calon pembeli. Lagi-lagi, enggak terlalu susah baginya memperoleh pasar produknya. "Waktu jadi sopir, kan, saya juga sekalian mengantar produk, jadi saya pakai jaringan ini," ujarnya.
Pada September 2014, Bawadi resmi meluncurkan produknya dengan merek Bawadi Coffee. Tak asal menyematkan namanya sebagai brand.
Sebab awalnya, ia mengincar pasar Timur Tengah, selain domestik tentunya. "Saya googling, banyak restoran dan hotel di Timur Tengah memakai nama Al-Bawadi. Dari situlah muncul nama Bawadi, kan, itu juga nama saya," kata dia.
Di bulan pertama bisnis kopinya jalan, Bawadi langsung berhasil meraup omzet sebesar Rp 30 juta. Ada delapan produk kopi biji dan bubuk masing-masing dalam kemasan 100 gram, 200 gram, 500 gram, dan 1.000 gram yang ia jual. Waktu itu, ia baru punya dua pegawi.
Usahanya makin mocer setelah temannya mengajak ikut pameran di China pada 2015. Hasilnya, ada pembeli yang meminta pengiriman satu kontainer. Sejak itu, Bawadi fokus menggarap pasar ekspor.
Makanya, ia pun rajin mengikuti pameran di berbagai negara. Dalam setahun, bisa enam sampai tujuh pameran yang dia ikuti. "Pada 2017, saya mulai banyak menyanggupi kontrak permintaan," ungkapnya.
Pembelinya dari mana-mana. Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei Darussalam, juga China. Tak ketinggalan, sejumlah negara dari Timur Tengah.
Selama ikut berbagai pameran di banyak negara, semua biaya Bawadi yang tanggung sendiri. Tetapi mulai 2017, ia tak lagi merogoh kocek karena mendapatkan dukungan penuh dari Pemerintah Provinsi Aceh dan Bank Indonesia (BI).
Bangun pabrik
Seiring permintaan yang terus meningkat, Bawadi pun meningkatkan kapasitas produksi dengan membangun pabrik di Banda Aceh, masih di bawah bendera UD Bawadi Coffee.
Awalnya, baru 22 karyawan yang bekerja di pabrik itu termasuk tenaga pemasar. Tapi kini jumlah pekerjanya bertambah menjadi 52 orang.
Untuk pemasaran produk yang sekarang mencapai 28 item dengan banyak pilihan rasa tapi tetap memakai kopi arabika dan robusta gayo, dia mendirikan lini bisnis baru berbentuk perseroan terbatas. Namanya: PT Bawadi Foods.
Setelah pabrik beroperasi pada 2017, Bawadi mulai serius menggarap pasar domestik, dengan menggandeng peritel Indomaret dan Transmart. Karena mereka melihat produk saya sudah menembus pasar ekspor, artinya sudah sangat bagus promosinya, imbuh dia.
Saat ini, produk Bawadi Coffee ada di 80 gerai Transmart dan 750 outlet Indomaret. Target sampai 2020 bisa masuk ke 3.000-an gerai Indomaret dan di 2021 bisa masuk ke semua gerai Indomaret," tambahnya.
Sejak masuk ke pasar dalam negeri, komposisi penjualan Bawadi Coffee pun berubah, lebih banyak lokal, mencapai 70% dan sisanya yang 30% ekspor. Sejak awal ia belum menggarap serius pasar domestik lantaran sudah banyak merek terkenal yang bermain.
Baca Juga: Andreas Kurniawan baru sukses setelah 27 kali gagal berbisnis
Tahun ini, Bawadi berencana serius menjajakan produknya lewat saluran dalam jaringan (daring), mulai media sosial, website, hingga marketplace. "Saya sedang mencari pakar online marketing karena ingin memperbagus penjualan dari online," tambahnya.
Cuma, belum lama ini nasib nahas menghampirinya. Saat produksi berhenti karena libur Lebaran kemarin, pabriknya kebakaran.
"Kemungkinan akibat korsleting listrik. Banyak peralatan dan kemasan yang terbakar. Kerugian sekitar Rp 200 juta," ungkap dia. Tapi sekarang, pabriknya sudah kembali beroperasi.
Jelas, walau pangsa domestik lebih besar, Bawadi tidak meninggalkan pasar ekspor yang sudah membesarkan usahanya. Bahkan, ia bakal memperluas pasar ke Eropa. Untuk itu, dengan bantuan Pemerintah Provinsi Aceh, dia mengikuti pameran di Rusia akhir Juli.
Setelah dari negeri beruang merah, Bawadi lanjut ke pameran internasional di Swiss, Jepang, Korea Selatan, serta Australia. Sejak awal tahun ini, saya sudah pameran ke Singapura, Malaysia, Thailand, Brunei, dan China. "Lima negara ini paling sering saya ikuti pameran sejak dulu," ujarnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News