kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.086.000   26.000   1,26%
  • USD/IDR 16.495   138,00   0,84%
  • IDX 7.629   -138,24   -1,78%
  • KOMPAS100 1.066   -21,70   -2,00%
  • LQ45 770   -13,67   -1,74%
  • ISSI 264   -3,56   -1,33%
  • IDX30 400   -6,24   -1,54%
  • IDXHIDIV20 467   -6,08   -1,28%
  • IDX80 117   -1,60   -1,34%
  • IDXV30 130   0,27   0,21%
  • IDXQ30 130   -1,70   -1,29%

Thendy melebarkan dapur hingga benua biru


Sabtu, 12 September 2015 / 10:35 WIB
Thendy melebarkan dapur hingga benua biru


Reporter: J. Ani Kristanti | Editor: Tri Adi

Di balik penampilannya yang sederhana, siapa sangka, Thendy Susanto adalah seorang pengusaha sukses. Ia berhasil mengibarkan merek Nayati di berbagai belahan dunia, melalui produk perlengkapan dan perabotan dapur modern. Nayati pun jadi produsen perlengkapan dapur terbesar di Indonesia.  

Padahal, menjadi pengusaha dalam industri gastronomi bukan impiannya. Thendy muda  lebih tertarik pada musik dan  memilih sekolah musik di Inggris. Namun, ketika kembali ke tanah air, Thendy batal jadi pemusik serta membikin alat musik. Musababnya, karena waktu itu kiriman buku musik dari luarnegeri yang dibeli, tak pernah sampai ke tangan Thendy lantaran kena sensor pemerintah.

Berbekal kemampuan bahasa inggris, Thendy lantas bekerja di perusahaan asing yang bergerak di bidang trading.

Dari pekerjaan ini, Thendy dapat kepercayaan sebuah produsen peralatan pengolahan makanan dari Swiss untuk membuka kantor perwakilannya di Indonesia. Di sinilah, dia bersentuhan dengan industri pengolahan makanan. Pria 64 tahun ini berkeliling ke pengusaha pengolah makanan, mulai dari kelas rumahtangga hingga usaha kecil dan menengah (UKM), untuk menawarkan solusi berkaitan dengan produksi makanan. “Jadi, kami menawarkan intermediate solution, sebelum mereka menjadi industri besar,” jelas Thendy.

Tapi, pebisnis Swiss itu kemudian menutup kantornya, meski Thendy melihat potensinya masih besar. Agar hubungannya dengan klien tetap berlanjut, pada 1981, dia memutuskan merintis perusahaan sendiri yang tetap menawarkan produk serupa dari Eropa.  

Tahun berikutnya, Thendy mendapat pesanan dari pengelola Rumah Sakit (RS) St. Elizabeth, Semarang untuk merenovasi dapur yang sudah berumur 100 tahun. “Order ini di luar dugaan, karena ini sesuatu yang baru,” tutur dia. Thendy segera mencari informasi perancangan dapur skala besar. Dia memilih Singapura karena industri dapur mereka cukup maju.

Keberhasilan Thendy merombak dapur RS Elizabeth jadi titik awal kesuksesan Nayati. Pengelola lain di sekitar Semarang, seperti RS Telogorejo, RS Williambooth dan RS Karyadi minta dia membangun dapur mereka. Tak hanya Jawa Tengah, kiprah Nayati dalam merancang dapur rumahsakit terdengar sampai Surabaya, Bandung, Palembang, dan Padang.

Proyek dari rumahsakit ini meyakinkannya untuk kian serius menekuni bidang rancang bangun dapur. Thendy pun mulai merambah restoran. Untuk mendukung penjualan, Nayati membuka kantor pemasaran di Jakarta. Saat itu, Thendy masih mendatangkan berbagai produk perangkat dapur dari Jerman, Swiss dan Jepang.  

Hingga pada 1986, dia harus menghadapi krisis yang mendongkrak kurs mata uang Jerman dan Jepang. “Utang kami mendadak bertambah luar biasa,” cetus dia. Maklum, dalam pembelian barang, Thendy mendapat kelonggaran pembayaran 3 bulan atau 6 bulan, sehingga kenaikan kurs mengakibatkan pembayaran tagihan berlipat-lipat.

Namun, keberuntungan masih berpihak pada Thendy. Pemasok dari Eropa memberinya kelonggaran pembayaran hingga dua tahun. Selain itu, prinsipalnya dari Swiss memberi kredit lunak dengan tenor lima tahun. Karena tak ingin mengulang kesalahan yang sama, Thendy bertekad memproduksi perabot dapur di Indonesia.

Dengan bantuan modal itu, dia membangun bengkel di lahan seluas 700 m2 di Lingkungan Industri Kecil (LIK), Semarang. Karena hanya bermodal tekad, tanpa pengetahuan apa pun, Thendy merekrut tenaga ahli di industri ini dari Singapura. Karyawan bengkel sendiri diambilnya dari lulusan STM yang kemudian dilatih satu per satu pekerjaan memotong metal, menekuk, mengelas hingga menggambar desain.

Produk yang dihasilkan bengkel waktu itu, antara lain meja, washbak, lemari, rak, dan cerobong asap. “Yang ada unsur teknologi masih didatangkan dari Jerman,” ujar dia.


Melewati badai krisis
Setelah tiga bulan produksi, Thendy melihat kendala dalam pengiriman. Nayati yang melayani order customized mengalami kesulitan dalam pengiriman untuk perabot berukuran besar. Saat itulah, dia mulai memikirkan sistem modulasi.

Selain memudahkan pengiriman, sistem modulasi juga memudahkan tenaga pemasar dalam perancangan. Produk yang dibuat juga lebih beragam. Sepanjang 1991–1997, seiring berkembangnya bisnis waralaba makanan di Indonesia, bisnis Nayati gemilang. Bukan cuma itu, berdirinya banyak hotel baru juga mendatangkan pundi-pundi bagi Thendy.

Namun, pada 1998, badai krisis moneter menghantamnya. Thendy bilang, badai itu meninggalkan dampak luar biasa. Tagihan pemasok yang dibayarkan lewat fasilitas letter of content (LC) membengkak akibat kurs rupiah terhadap dollar AS naik hingga tujuh kali lipat. Padahal, tagihannya mencapai US$ 2 juta. Di lain pihak, penjualan juga berhenti. “Siapa mau beli dengan harga 7 kali lipat,” ujar Thendy, yang saat itu masih mengandalkan pasar lokal.

Ketika itu ia harus menghadapi musibah ini dengan kepala dingin dan  tenang supaya tetap bisa berpikir jernih. “Waktu itu sungguh sulit karena memang tak ada solusi, karyawan sudah banyak, fixed cost tinggi dan tiba-tiba ada utang besar. Satu-satunya pikiran hanya untuk bisa survive,” kenang dia.  

Dua pilihan sulit harus dipilihnya, yakni menyerahkan Nayati ke BPPN atau negosiasi utang dengan bank. Thendy pun memilih mengonversi LC menjadi utang tiga tahun, meski harus menanggung beban bunga 70% per tahun. Untuk memangkas biaya, dia rela tak terima gaji selama masih berutang. Thendy juga meminta karyawan untuk mengurangi gaji mereka, plus tak ada kenaikan gaji selama 2 tahun.

Dari sisi pemasaran, Thendy mulai melirik pasar ekspor. Pasar lokal yang macet meninggalkan tumpukan barang di gudangnya karena banyak klien membatalkan kontrak. Dia membuka pasarnya ke Eropa.

Sejatinya, sejak 1989 Nayati sudah merintis pasar ke Jepang. Namun, produk yang dikirim ke Jepang memakai merek pemesannya. Thendy menempuh langkah itu untuk meyakinkan pasar lokal bahwa kualitas Nayati benar-benar unggul. “Butuh waktu dua tahun untuk yakinkan pasar,” kata dia.

Sebagai pijakan awal merambah pasar Eropa, Thendy memilih Swiss, yang menjadi pemimpin industri gastronomi dunia. “Saya cari sertifikasi dan satu pembeli dulu di sana,” ujar dia. Setelah berhasil menembus pasar Swiss, satu per satu negara di Eropa dijajakinya.

Dari Jerman, produk Nayati menyebar ke Prancis, Belgia, Belanda, dan negara-negara Eropa lainnya. Pengalaman krisis 1998 membulatkan tekadnya untuk masuk pasar global. “Tak bisa lagi bergantung pada pasar lokal, kami kembangkan pasar satu demi satu, biar pun kecil,” terang dia. Kini, Nayati sudah mengekspor produknya hingga ke-30 negara di berbagai benua dan membuka sejumlah kantor perwakilan di luar negeri.

Produknya pun terus berkembang. Selain furnitur dapur, di dua pabriknya dengan total luas 37.000 m2, mereka juga memproduksi perangkat dengan sentuhan teknologi, seperti oven, mesin pencuci piring, kitchen block, refrigerator dan lainnya. Untuk mempromosikan produknya, sampai sekarang, Nayati pun masih aktif mengikuti pameran bertaraf internasional.                         

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
BOOST YOUR DIGITAL STRATEGY: Maksimalkan AI & Google Ads untuk Bisnis Anda! Business Contract Drafting

[X]
×