Reporter: Dian Pitaloka Saraswati | Editor: Tri Adi
Dalam bersaing dengan toko buku sejenis maupun toko online, Times Bookstore ganti nama dan mengubah konsep usahanya. Tak hanya buku, toko ini berjualan gadget dan tempat bermain anak-anak. Gramedia lebih dulu berjualan nonbuku.
Dulu, toko buku merupakan gudangnya ilmu pengetahuan. Namun, seiring perkembangan teknologi dan maraknya penggunaan internet, lambat laun “gudang” itu sudah pindah ke dunia maya. Orang memilih mencari informasi di mesin pencari Google atau situs berita dan blog, dan membeli buku digital di toko buku online seperti Amazon.
Alhasil, banyak toko buku yang harus gulung tikar. Sebagian toko buku lain yang tetap eksis melakukan perubahan agar dapat bersaing dengan toko buku sejenis dan toko online. Langkah inilah yang tengah diayunkan PT Gratia Prima Indonesia. Seiring restrukturisasi internal di Grup Lippo—yakni pengalihan saham Gratia Prima dari PT Matahari Putra Prima Tbk ke PT Multipolar Tbk pada dua pekan lalu—nama toko buku Times Bookstore pun berganti menjadi Books and Beyond.
Tak cuma berganti pemilik dan nama, konsep toko buku itu juga berubah. Times yang berdiri sejak tahun 1998 ini semula dikelola oleh Gratia Prima dengan supervisi Times Publishing asal Singapura. Menurut Presiden Direktur Gratia Prima, Monica Lembong, supervisi Times hanya pada dua toko dari 27 toko buku yang dimiliki Gratia. “Dulu kami menjadi franchisee dari Times Singapura, tapi sekarang kami sudah mandiri meski masih menjalin hubungan baik,” katanya.
Lewat kerja sama tersebut, Times membagi keahliannya dalam membuka toko buku. Belakangan, Gratia Prima menilai konsep yang diusung Times perlu disesuaikan dengan pasar di Indonesia sehingga memutuskan untuk mengelola sendiri toko bukunya.
Danny Kojongian, Direktur Komunikasi Perusahaan Gratia Prima, bilang bahwa rencana mengelola sendiri dan mengubah nama Times menjadi Books and Beyond sudah muncul sejak setahun lalu. “Warna logo masih sama, oranye, dan hitam. Hanya nama yang kami ubah,” katanya. Books and Beyond juga tetap menyasar segmen kelas menengah ke atas dengan menjual mayoritas buku berbahasa asing. Buku lokalnya sedikit dan hanya yang dinilai berkualitas.
Adapun nama baru Books and Beyond mengandung arti bahwa toko buku tersebut tidak cuma menjual buku-buku, tapi juga berbagai hal di balik buku itu. Termasuk, perasaan berkesan setelah berkunjung ke toko buku. Menurut Monica, inilah yang jadi inti pembaruan konsep Books and Beyond dibandingkan dengan Times. “Misalnya, interaksi antara penulis buku dan pembaca atau pengunjung,” imbuh dia.
Otomatis, Books and Beyond akan berusaha mendatangkan para penulis buku untuk diajak berdiskusi tentang bukunya bersama para pembaca. Interaksi langsung dengan penulis tersebut diharapkan dapat meyakinkan calon pembeli untuk membaca dan membeli buku.
Selain interaksi dengan para penulis buku, Books and Beyond juga memperbanyak acara untuk mendatangkan pembeli yang masih kanak-kanak. “Kami mengadakan acara belajar menggambar, melukis, bercerita di panggung yang pesertanya bebas,” kata Monica. Pengisi acara pelatihan tersebut sebagian adalah berupa yayasan dan komunitas. Danny pun mengklaim, acara semacam ini jarang dilakukan toko-toko buku premium lain.
Menggalang anak-anak untuk datang ke gerai Books and Beyond memang merupakan salah satu strategi Gratia Prima. Selain acara interaktif, bentuk strategi ini berupa perluasan area produk untuk anak-anak. Gerai Books and Beyond di Karawaci, Banten, misalnya, hampir seperempat lantai di gedung dua lantai seluas 700 meter persegi itu diperuntukkan untuk anak-anak.
Yang dipajang bukan cuma buku pelajaran, tapi juga mainan seperti educational games, beragam jenis peralatan sekolah hingga buku cerita dan komik. “Kami juga memperluas variasi produk stationery,” kata Monica. Ada pensil seharga Rp 5.000 hingga ratusan ribu rupiah. Harapannya, mahasiswa Universitas Pelita Harapan yang berada tak jauh dari toko buku di Karawaci itu tertarik mengunjungi Books and Beyond.
Selain menjual aneka produk untuk anak-anak dan menyediakan ruang bermain, Books and Beyond juga membidik penggemar gadget alias perangkat elektronik seperti ponsel pintar dan tablet. “Kami bekerja sama dengan salah satu distributor Apple di Indonesia,” tandas Danny.
Konsep Times yang masih dipertahankan adalah restoran dan kafe, yang keduanya milik Grup Lippo. Sentuhan toko buku sebagai bagian dari gaya hidup antara lain direpresentasikan dengan dua fasilitas tersebut. Jadi, pengunjung tidak sekadar membaca buku di gerai Books and Beyond. “Kenyamanan seperti ini jarang ditawarkan oleh toko buku premium yang lain,” katanya.
Namun, tidak semua gerai Times yang lama akan dibuat dengan konsep baru Books and Beyond yang lengkap seperti di Karawaci. Jadi hanya toko buku seluas lebih 200 meter persegi, seperti di mal Pacific Palace.
Menurut Monica, investasi yang dikeluarkan untuk menyulap Times menjadi Books and Beyond tidak besar alias di bawah Rp 100 juta. Maklum, mereka hanya melakukan perubahan minor.
Di sisi lain, perusahaan ini berencana menambah gerai baru sehingga jumlah toko buku Books and Beyond mencapai 100 toko dalam kurun tiga tahun ke depan. “Target kami hingga akhir tahun 2013 akan ada penambahan 8 gerai hingga total berjumlah 35 gerai,” kata Monica. Setiap gerai baru membutuhkan investasi rata-rata Rp 500 juta dan tergantung luas lahannya.
Dalam mempromosikan toko baru, Books and Beyond gencar menggaet keanggotaan melalui kerja sama dengan komunitas dan promosi lewat media sosial serta beriklan iklan di media cetak. Sayangnya, baik Danny maupun Monica belum mau menyebutkan target peningkatan omzet dari hasil perubahan konsep toko buku itu. Yang jelas, rata-rata omzet Gratia Prima sekitar Rp 30 miliar hingga Rp 40 miliar dalam setahun.
Variasi format
Daniel Saputra, pengamat manajemen, menilai langkah yang dilakukan Books and Beyond sudah lebih baik, karena mengubah model bisnis tradisional melalui penambahan sumber pendapatan dari kafe dan restoran. Tapi, pengelola Books and Beyond harus pintar menyediakan produk yang sesuai target premiumnya. “Misalnya sambil minum kopi disediakan iPad. Suasananya juga harus dibuat nyaman dengan adanya koneksi WiFi dan tempat duduk yang ergonomis agar nyaman menyeruput kopi plus baca buku,” katanya.
Toh, Daniel berpendapat, masa depan toko buku tradisional hanya bertahan sampai dengan 8 tahun ke depan. “Lihat saja Borders yang sudah kolaps. Barnes and Noble juga sedang megap-megap,” katanya.
Jadi, toko buku dituntut menyesuaikan dengan dinamika selera konsumen dan membuat terobosan yang bisa menghasilkan pendapatan baru. Misalnya mengadakan seminar atau diskusi buku. “Jadi seminarnya gratis, namun kopinya bayar,” kata Daniel.
Berbeda dengan Books and Beyond, Toko Buku Gramedia lebih suka membuat beragam format toko buku. “Format disesuaikan dengan lokasi, lahan, dan apakah sudah ada toko buku Gramedia di wilayah yang berdekatan,” kata Priyo Utomo, Direktur Utama PT Gramedia Pustaka Utama.
Toko buku Gramedia di Mal Metropolitan Bekasi dan di Summarecon Bekasi, misalnya, akan dibuat dengan versi berbeda. Yaitu, lebih banyak menjual peralatan tulis, elektronik, dan pernik-pernik selain buku. Tujuannya agar sesama toko buku Gramedia yang berjumlah 102 gerai itu tak saling mematikan.
Selain itu, Gramedia mengoptimalkan aset properti yang dimilikinya dengan mengajak tenant lain bergabung. Lantaran lahan yang sangat luas contohnya, toko buku Gramedia di suatu lokasi dapat mengundang pengelola restoran atau kafe untuk membuka usahanya di tempat tersebut.
Di sisi lain, Priyo yakin kebutuhan buku nondigital masih ada. Karena itu, Gramedia berencana menambah lima toko buku baru dan 20 toko multiformat dengan menggandeng tenant lain dan 20 gerai toko buku yang spesifik.
Sementara itu, untuk mengimbangi kemajuan teknologi, Gramedia membuka lapak di dunia maya yaitu Gramedia Cyber Store. “Gramedia Publisher juga sedang disiapkan untuk buku digital,” kata Priyo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News