kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tri pernah menjadi kuli dan tukang sapu (1)


Kamis, 09 Agustus 2012 / 13:43 WIB
Tri pernah menjadi kuli dan tukang sapu (1)
ILUSTRASI. Bursa Asia jatuh


Reporter: Fahriyadi | Editor: Havid Vebri

Pernah menjadi kuli dan tukang sapu, Tri Sumono kini pengusaha sukses dengan omzet ratusan juta. Ia mengawali langkahnya di dunia usaha dengan menjadi pedagang aksesori kaki lima. Ulet dan tekun membuat usahanya terus berkembang.

Pepatah lama yang menyatakan "hidup seperti roda berputar" nampaknya berlaku bagi Tri Sumono. Berawal dari menjadi kuli bangunan hingga tukang sapu, Tri kini sukses menjadi pengusaha beromzet ratusan juta rupiah per bulan.

Lewat perusahaan, CV 3 Jaya, Tri Sumono mengelola banyak cabang usaha. Antara lain, produksi kopi jahe sachet merek Hootri, toko sembako, peternakan burung, serta pertanian padi dan jahe. Bisnis lainnya, penyediaan jasa pengadaan alat tulis kantor (ATK) ke berbagai perusahaan, serta menjadi franchise produk Ice Cream Campina. "Saya juga aktif jual beli properti," katanya.

Dari berbagai lini usahanya itu, ia bisa meraup omzet hingga Rp 500 juta per bulan. Pria kelahiran Gunungkidul, 7 Mei 1973 ini mengaku, tak pernah berpikir hidupnya bakal enak seperti sekarang.

Terlebih ketika ia mengenang masa-masa awal kedatangannya ke Jakarta. Mulai merantau ke Jakarta pada 1993, pria yang hanya lulusan sekolah menengah atas (SMA) ini sama sekali tidak memiliki keahlian.

Ia nekat mengadu nasib ke Ibukota dengan hanya membawa tas berisi kaos dan ijazah SMA. Untuk bertahan hidup di Jakarta, ia pun tidak memilih-milih pekerjaan.

Bahkan, pertama bekerja di Jakarta, Tri menjadi buruh bangunan di Ciledug, Jakarta Selatan. Namun, pekerjaan kasar itu tak lama dijalaninya.
Tak lama menjadi kuli bangunan, Tri mendapat tawaran menjadi tukang sapu di Kantor Kompas Gramedia di Palmerah, Jakarta Barat.

Tanpa pikir panjang tawaran itu langsung diambilnya. "Pekerjaan sebagai tukang sapu lebih mudah ketimbang jadi buruh bangunan," jelasnya.
Lantaran kinerja memuaskan, karirnya pun naik dari tukang sapu menjadi office boy. Dari situ, karirnya kembali menanjak menjadi tenaga pemasar dan juga penanggung jawab gudang.

Pada tahun 1995, ia mencoba mencari tambahan pendapatan dengan berjualan aksesoris di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta. Saat itu, Tri sudah berkeluarga dengan dua orang anak. "Saya dagang aksesori seperti jepit rambut, kalung dan gelang dengan modal Rp 100.000," jelasnya.
Setiap Sabtu-Minggu, Tri rutin menggelar lapak di Stadion Gelora Bung Karno. Dua tahun berjualan, modal dagangannya mulai terkumpul lumayan banyak.

Dari sanalah, ia kemudian berpikir bahwa berdagang ternyata lebih menjanjikan ketimbang menjadi karyawan dengan gaji pas-pasan. Makanya, di tahun 1997, ia memutuskan mundur dari pekerjaannya dan fokus berjualan.

Berbekal uang hasil jualan selama dua tahun di Gelora Bung Karno, Tri berhasil membeli sebuah kios di Mal Graha Cijantung. "Setelah pindah ke Cijantung, bisnis aksesori ini meningkat tajam," ujarnya.

Tahun 1999, ada seseorang yang menawar kios beserta usahanya dengan harga mahal. Mendapat tawaran menarik, Tri kemudian menjual kiosnya itu. Dari hasil penjualan kios ditambah tabungan selama ia berdagang, ia kemudian membeli sebuah rumah di Pondok Ungu, Bekasi Utara. Di tempat baru inilah, perjalanan bisnis Tri dimulai.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×