kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   0   0,00%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Usaha kerupuk terantuk pegawai dan hujan (2)


Selasa, 30 September 2014 / 14:20 WIB
Usaha kerupuk terantuk pegawai dan hujan (2)
ILUSTRASI. Karyawan memotret layar Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia, Jakarta. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan


Reporter: Tri Sulistiowati | Editor: Havid Vebri

Meski dikenal sebagai sentra pembuat kerupuk pasir sejak puluhan tahun silam, namun suasana di Desa Bulusari, Kabupaten Kediri, Jawa Timur ini terbilang sepi. Saat KONTAN mengunjungi lokasi tersebut, hampir tidak ada mobil yang berlalu lalang.

Hanya sekumpulan pekerja yang sibuk menjemur kerupuk pasir di lapangan. Maklum saja, daerah ini cukup jauh dari pusat kota. Jarak antara desa ini dengan Kota Kediri mencapai 30 kilometer (km).

Cuaca yang panas memang banyak dimanfaatkan warga setempat untuk menjemur hasil produksi mereka. Maklum, hingga kini seluruh warga di sana masih menggunakan cara tradisional untuk membuat kerupuk pasir.

Umumnya tempat usaha para produsen kerupuk pasir yang juga disebut opak ini berada di samping atau di belakang rumah mereka. Alat yang digunakan untuk produksi pun sangat sederhana, yaitu hanya mesin pemotong tradisional dan satu oven berukuran raksasa.

Mereka masih memasaknya menggunakan kayu sebagai bahan bakar. Jadi jangan heran bila kondisi didalam pabrik sangat panas. Selain itu, pekerja opak kali ini lebih didominasi oleh laki-laki. Alasannya, pekerjaannya cukup berat karena harus mengangkat kayu dan menarik tutup oven raksasa.

Wahyudi, salah satu produsen kerupuk pasir di sana menceritakan, mesin tradisional tersebut sangat membantu dalam proses produksi. Mesin pemotong tersebut baru banyak digunakan oleh sejumlah pengusaha di sana sekitar 10 tahun yang lalu.

Sebelumnya, mereka hanya menggunakan pisau untuk memotong adonan kerupuk pasir. Sedangkan, untuk proses pengadukannya menggunakan mesin molen. "Kalau musim kemarau bisa sehari langsung kering, tapi kalau musim penghujan bisa sampai tiga hari," jelasnya.

Saat musim penghujan tiba, ayah dari dua anak ini bilang, jumlah produksi kerupuk pasir bisa menurun sampai 50% dari biasanya, lantaran kekurangan sinar matahari untuk menjemur kerupuk. Ketika musim kemarau, dia mampu memproduksi sekitar tiga kuintal kerupuk pasir per hari. "Ini yang jadi masalah jumlah produksi menurun tetapi permintaan terus meningkat," jelasnya.

Hingga saat ini, Wahyudi tidak bisa melakukan apa-apa untuk menambah jumlah produksi di musim penghujan. Karena mesin pengering cukup mahal, selain itu dia juga sulit mencari karyawan baru untuk menggenjot jumlah produksi di musim kemarau.

Dalam proses produksi dia dibantu tujuh pegawai. Kebanyakan para pegawai tersebut berasal dari warga sekitar Desa Bulusari. Produsen kerupuk pasir lainnya, adalah Jainal. Laki-laki jangkung ini mengaku hanya dibantu oleh enam karyawan dalam proses produksi.

"Kalau musim panen, kami pasti kekurangan karyawan soalnya mereka lebih memilih mengurus sawahnya," jelas Jainal. Selain itu, banyak anak muda di daerahnya lebih suka bekerja di toko atau mengadu nasib ke luar kota, ketimbang harus menjadi pekerja kerupuk pasir.

Jainal mampu memproduksi kerupuk pasir sekitar 6,5 kuintal per hari. Bila musim penghujan datang, jumlah produksinya juga bisa berkurang hingga 50%.      

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU

[X]
×