kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Valentinus Heri, selamatkan hutan sambil berbisnis madu


Jumat, 01 Oktober 2010 / 11:15 WIB
Valentinus Heri, selamatkan hutan sambil berbisnis madu


Reporter: Rizki Caturini | Editor: Tri Adi

Demi mengembalikan fungsi hutan yang makin terancam oleh pembalakan liar, Valentinus Heri memberi penyuluhan tentang pelestarian hutan kepada masyarakat Danau Sentarum di Kalimantan Barat. Ia juga memberdayakan masyarakat dalam produksi madu hutan. Tujuannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat agar tak lagi mengambil kayu hutan.

Sumberdaya alam adalah salah satu harta paling berharga untuk keberlangsungan masa depan anak cucu. Karena itu, kegiatan bisnis apa pun yang berdampak negatif terhadap kelestarian hutan alam di Indonesia, seharusnya mendapat perhatian khusus para pemimpin negeri ini.

Contoh nyata perusakan lingkungan hutan yang banyak terjadi di berbagai wilayah adalah pembalakan kayu secara liar dan membabi-buta. Aktivitas ilegal ini tidak hanya dilakoni para pebisnis yang kerap mengambil untung dari aksi pembalakan hutan. Tapi, masyarakat sekitar pun mulai beralih jadi pembalak kayu untuk sekadar menyambung hidup.

Kondisi seperti ini banyak terjadi di berbagai daerah. Salah satunya di daerah hutan gambut di Kalimantan Barat. Masyarakat sekitar Danau Sentarum, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat, ini menebang pohon di hutan untuk memenuhi hajat hidupnya sehari-hari.

Penegakan hukum yang lemah dan tidak konsisten membuat aksi pembalakan liar terus terjadi. Selain itu, kebijakan pemerintah kurang mendukung pelestarian alam.

Di tengah kondisi tersebut, banyak bermunculan pejuang lingkungan hidup yang aktif mencari solusi dari permasalahan ini. Salah satunya adalah Valentinus Heri.

Bergabung dengan organisasi reservasi hutan, Wetlands International Indonesia Programme, Heri memimpin Divisi Peningkatan Pendapatan Masyarakat. Organisasi internasional ini merupakan proyek kerjasama pemerintah Inggris dengan Kementerian Kehutanan Republik Indonesia untuk program penyelamatan lingkungan.

Heri memulai proyek ini tahun 1995, dengan aktif memberi penyuluhan pembudidayaan madu hutan dari jenis lebah hutan apis dorsata kepada masyarakat sekitar Danau Sentarum. Masalah utama yang terjadi di daerah tersebut adalah harga jual madu hutan yang begitu rendah.

Selama ini, pembudidaya madu menjual madu dengan harga setara gula pasir di pasar. “Padahal, melihat sulitnya budidaya dan khasiat madu yang tinggi, sungguh tidak sepadan,” katanya.

Heri dan kawan-kawannya pun berusaha memperbaiki harga madu di pasaran. Tentu, ia tidak bisa serta-merta menaikkan harga jual madu tanpa melakukan perbaikan kualitas dan menambah kuantitas madu terlebih dahulu.

Pertama-tama, Heri menjaga populasi lebah untuk meningkatkan produksi madu. Ia juga memperbaiki proses pasca panen. Misalnya sekarang, madu tidak lagi diperas dengan tangan.

Sistem baru ini mengharuskan mereka menggunakan sarung tangan. Mereka tak lagi memeras sarang madu, tapi memotongnya dan madu dibiarkan menetes di atas saringan. “Sistem ini membuat hasil madu lebih higienis dan tahan lama,” katanya.

Proyek reservasi hutan dari Wetlands hanya berlangsung tiga tahun. Pada 1997, proyek tersebut berakhir. Otomatis, tidak ada lagi penyandang dana untuk melanjutkan kegiatan pembudidayaan madu hutan ini. Lantas, Heri mencari dana dari lembaga-lembaga donor internasional.

Beruntung, pemerintah Inggris bersedia memberi bantuan senilai Rp 300 juta untuk membantu kegiatan budidaya madu hutan ini. Selanjutnya, Heri mendirikan Riak Bumi, organisasi penyelamatan lingkungan sekaligus berperan sebagai sekretariat nasional jaringan madu hutan Indonesia, pada tahun 2000.

Selain mendapat dukungan dari berbagai lembaga donor, Riak Bumi membentuk pusat bisnis sendiri. Mereka mendirikan koperasi dengan basis sosial dan perbaikan lingkungan pada 2003.

Koperasi ini menjadi pusat jual beli madu hutan. Tak hanya madu hasil budidaya masyarakat Danau Sentarum, koperasi juga mengumpulkan madu hutan dari petani madu di berbagai wilayah Indonesia. Seperti dari Sumatra, Sulawesi, Jawa dan wilayah di Kalimantan lainnya.

Dengan peningkatan kualitas madu dari tahun ke tahun, harga madu produksi para petani mulai mengalami perbaikan. Bahkan, harganya bertambah hingga berkali-kali lipat.

Heri bilang, awalnya harga jual madu sekitar Rp 6.000 per kilogram (kg). Saat ini, madu dari petani bisa dijual dengan harga Rp 45.000-
Rp 50.000 per kg.

Untuk mendistribusikan madu hutan ini, Heri bekerjasama dengan perusahaan dagang di Jakarta, yang bertindak sebagai pembeli di tingkat nasional. Tak hanya dari produk masyarakat Danau Sentarum, produksi madu dari anggota jaringan lainnya di Sumatra, Sulawesi, Kalimantan dan Jawa juga disalurkan lewat jalur ini.

Tahun 2009 lalu produksi madu hutan masyarakat di sekitar Danau Sentarum mencapai angka tertinggi, yaitu sebanyak 17 ton per tahun. Dengan harga jual madu Rp 45.000 per kg, Heri mengungkapkan, rata-rata omzetnya mencapai
Rp 535,15 juta per tahun.

Kapasitas produksi madu hutan di daerah ini bisa mencapai 30 ton dalam setahun. Karena itu, ke depan, Heri akan terus mengembangkan area pendampingan budidaya madu. Ia mengumpulkan anggotanya dalam Asosiasi Priau (kelompok tani) Danau Sentarum (APDS).

Dari 23 kampung yang ada, saat ini baru ada delapan kampung atau sekitar 177 Kepala Keluarga yang menjadi anggota APDS. Ia menargetkan, penambahan 10 kampung dalam tiga tahun ke depan untuk ikut dalam program pendampingan budidaya madu ini.

“Hal itu juga dalam rangka mengantisipasi penyebarluasan perkebunan sawit milik para pengusaha besar yang berpotensi merusak lingkungan hutan,” katanya.

Yang membuat Heri bangga, saat ini 19% dari kawasan hutan di sekitar Danau Sentarum yang seluas 132.000 hektare (ha) itu, sudah dikelola sendiri oleh para kelompok petani madu. Mereka menempatkan sarang-sarang lebah di dalam kawasan hutan dengan sistem tikung.

Para petani itu meletakkan bahan tiruan untuk membuat sarang. “Mereka pasang di sepanjang kawasan hutan di sekitar kampung mereka,” kata Heri.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×