kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.909.000   5.000   0,26%
  • USD/IDR 16.300   0,00   0,00%
  • IDX 7.231   117,32   1,65%
  • KOMPAS100 1.056   17,89   1,72%
  • LQ45 813   11,10   1,38%
  • ISSI 232   2,76   1,20%
  • IDX30 423   5,92   1,42%
  • IDXHIDIV20 496   6,77   1,38%
  • IDX80 118   1,45   1,24%
  • IDXV30 120   1,17   0,98%
  • IDXQ30 137   1,74   1,29%

Vielga besar berkat kebaya bordir


Rabu, 15 Oktober 2014 / 14:25 WIB
Vielga besar berkat kebaya bordir
ILUSTRASI. Masjid Agung Banten menjadi ikon sejarah di kota Serang yang letaknya berada di kawasan kota lama.


Reporter: J. Ani Kristanti, Marantina | Editor: Tri Adi

Kekayaan budaya di kampung halaman bisa menjadi inspirasi untuk merintis bisnis sendiri. Apalagi, jika budaya itu punya unsur  keunikan dan khas yang sulit ditiru oleh daerah lainnya.

Kerajinan bordir yang menjadi budaya di Simalanggang, Payakumbuh, Sumatra Barat, menginspirasi Vielga Wennida berbisnis kebaya encim berhias bordir. Bukan semata-mata untuk mendatangkan penghasilan, Wenni, panggilan akrab Wennida, berharap bisa mengangkat kembali kerajinan bordir yang sudah mulai ditinggalkan oleh perajinnya di sana.

Awal 2010, Wenni mengawali bisnisnya sejak masih bekerja sebagai tenaga pemasar salah satu distributor alat kesehatan. Kebetulan saat itu, dunia fashion memang tengah naik daun. Perempuan asal Payakumbuh ini melihat peluang berbisnis kebaya encim karena banyak warga Ibukota yang gemar membeli pakaian jadi.

Dengan modal Rp 5 juta, dia memesan kebaya encim berhias bordir ke sejumlah perajin di Payakumbuh. “Saya memodifikasi model kebaya sesuai dengan style orang Jakarta karena model kebaya bordir di sana masih konvensional dan klasik,” terang Wenni.

Dari satu pameran ke pameran lainnya yang biasanya berlangsung di gedung-gedung perkantoran, Wenni menjemput pecinta kebaya encim. Tak disangka, respons konsumen cukup bagus. Stok awal kebaya encim ludes terjual. “Saya sampai ngumpet dari kantor kalau ikut pameran,” kenang dia.  

Bisnis Wenni pun terus berlanjut ke sejumlah pameran lain. Selain gedung perkantoran, dia juga mulai merambah pameran yang diselenggarakan oleh pusat belanja. Konsumennya pun makin beragam.

Dari pertemuannya dengan para pelanggannya, Wenni mengetahui produknya disukai karena berkualitas. “Banyak orang mulai mengenal produk Rumah Kebaya. Mereka bilang, bordir rapi dan halus, kombinasi warna dan kainnya juga oke,” ujar dia senang.

Berbekal kepercayaan dari para konsumennya, Wenni memberanikan diri melangkah lebih jauh, dengan mengikuti  pameran yang lebih bergengsi, seperti Indonesia Fashion Week, Jakarta Food and Fashion Festival. “Alhamdulillah, produk kami bisa memenuhi semua kurasi untuk ikut pameran itu,” kata Wenni yang kemudian menetapkan target pasar menengah atas.


Ikut belajar bordir

Lantaran ingin fokus menggeluti bisnisnya, Wenni memilih mengundurkan diri dari pekerjaan. Dia ingin lebih banyak memberi perhatian pada produksi kebaya encim ini.

Karena hobi menggambar, Wenni kemudian memutuskan untuk mendesain sendiri, baik model kebaya maupun motif bordir yang menghiasi kebaya encim bikinannya. “Saya ingin motif yang lebih bervariasi dengan perpaduan warna indah,” tutur perempuan ini ramah.  

Apalagi, Wenni juga telah membuka gerai Rumah Kebaya di Thamrin City. Dari pameran yang diselenggarakan di pusat belanja itu, dia mendapatkan tawaran untuk menyewa kios dengan harga miring. Pada tahun 2012,  dua dari tiga gerai yang ia gunakan di Thamrin City menjadi milik sendiri.

Namun, meski sudah punya gerai, Wenni tetap setia mengikuti pameran. Lantaran selalu menjadi target pengunjung di setiap pameran, pengelola department store (depstore) ternama ikut meliriknya. Kemudian, datanglah berbagai tawaran dari pengelola depstore tersebut agar Rumah Kebaya memajang produknya di depstore, seperti Sogo, Metro, Alun-alun Indonesia, dan lainnya.

Berkat jaringan penjualan yang makin luas, bisnis Wenni  terus melaju. Dari ratusan  kebaya setiap bulan, produksi terus meningkat hingga ribuan potong. Kini, dalam sebulan, dia bisa memproduksi hingga 1.000 potong kebaya dengan harga mulai dari Rp 500.000 per potong.

Untuk mengerek produksinya, Wenni tentu tidak bisa mengandalkan perajin secara freelance, seperti ketika merintis usaha ini. Dia juga mengangkat perajin tetap untuk produksi kebaya di Payakumbuh.

Tak berhenti di situ, Wenni  akhirnya belajar soal menjahit dan bordir. Dia ingin, dengan bekal kemampuan membuat pola sendiri, bisa mengembangkan desain kebaya encim. Teknik bordir pun akan membantunya dalam memberi contoh (sampel) bordir yang benar kepada perajin bordir.

Sebab, seringkali, Wenni menemui kesalahpahaman akan desain bordir yang diinginkannya. “Meski mengatakan mengerti, tapi mereka salah menangkap apa yang saya inginkan,” kata Wenni. Nah, dengan memberi contoh bordir, perajin pun bisa meniru teknik bordir dan perpaduan warna yang diinginkannya.

Karena mengutamakan kualitas, Wenni terus memperbaiki produknya. Selain dari jenis benang, kerapian dan perpaduan warna, kualitas bordir yang baik juga ditentukan dari tingkat kepadatan benang pada motif yang dibordir, garis pembatas bordir yang jelas dan kerancang. “Produk kami benar-benar detil, seperti pemakaian warna berbeda-beda untuk mengisi motif, garis pembatas bordir dan penyusunan warna mengikuti motif yang ada,” jelas lulusan Ekonomi Akuntansi, Universitas Indonesia ini.

Sampai saat ini, Wenni masih memusatkan kegiatan produksi di Payakumbuh karena ingin mempertahankan tradisi yang ada di sana. Ada sekitar 190 perajin yang membantunya di Payakumbuh. Perinciannya, sebanyak 170 perajin freelance dan 20 perajin tetap.

Selain menggunakan kain-kain berwarna polos, kini Wenni juga membuat varian kebaya encim dari kain tenun dari seluruh Indonesia. Hal ini dilakukan untuk menyegarkan produknya, sekaligus meminimalisir kemungkinan peniruan. Setiap tiga bulan sekali, Wenni melansir model maupun motif bordiran baru. Hingga kini, dia terlibat langsung dalam desain motif bordir dan model kebaya.

Di luar bordir, dia juga mengembangkan teknik sulaman  menjadi kebaya encim. “Banyak macam sulam di Payakumbuh, saya ingin menghidupkan kembali sulam-sulam yang sudah lama,” jelas perempuan ayu ini.

Meski pasarnya sudah menjangkau beberapa negara di luar negeri, seperti Malaysia dan Australia, Wenni masih ingin melebarkan sayapnya melalui jalur pemasaran online. “Saya ingin mempunyai website sendiri,” ujarnya. Saat ini, di jalur pemasaran online, Rumah Kebaya hanya memajang produknya di dua media sosial, Facebook dan Instagram.    


Menghidupkan lagi kerajinan bordir

Hobi menggambar dan kecintaan terhadap kebaya membawa Vielga Wennida mantap terjun berbisnis kebaya encim. Keputusannya untuk memilih bidang bisnis ini, juga didorong oleh niat untuk membangkitkan lagi semangat perajin kebaya bordir di kampung halamannya, Simalanggan, Payakumbuh, Sumatra Barat.

Setiap kali pulang, Wenni selalu menyempatkan diri untuk melihat perkembangan perajin bordir. Kebetulan, orangtuanya pernah melakoni pekerjaan ini, dan baru berhenti ketika usaha bordir mengalami masa surut pada 1996. “Padahal, sumber daya yang ada di sana bagus, kemampuan orangnya juga bagus,” ujar dia.

Wenni pun merasa prihatin ketika melihat pemasaran produk bordir yang kurang berkembang. “Tidak ada asosiasi yang membantu. Kebanyakan orang di sana mengerjakan semuanya sendirian, mulai membeli kain, membikin bordir, hingga menjualnya,” kata perempuan yang lahir 1 Juli 1977 ini.

Dengan perkembangan bisnisnya, Wenni pun berharap bordir kembali berjaya di Payakumbuh. Bukan hanya bordir, Rumah Kebaya juga ingin mengembangkan sulam-sulam yang sudah lama di sana. “Kami mencoba untuk menghidupkan kembali untuk generasi muda, karena orang-orangnya sekarang sudah tua,”
jelas istri Julianto Budi ini.

Dengan pengetahuan dan kemampuannya sekarang, dia pun ingin terus mengembangkan teknik bordir di Payakumbuh. Salah satunya, dengan terus memperbaiki kualitas seperti keinginan konsumen pecinta bordir.  

Namun, bukan hanya demi pasar, perbaikan kualitas bordir ini juga menjadi penangkis ketatnya persaingan kerajinan bordir. Maklum, kerajinan ini juga dihasilkan oleh daerah lain di Indonesia, seperti Tasikmalaya.

Selain itu, berkat kemajuan teknologi, bordir juga bisa dibuat dengan bantuan komputer. Dengan komputer, bordir bisa lebih cepat selesai. “Komputer itu kalau dilihat hasilnya juga rapi, hingga pengusaha bordir menyukai teknik itu,” kata Wenni.

Dengan tetap mengutamakan kualitas, Wenni masih berpegang untuk memproduksi bordir secara manual. Dia yakin, teknik inilah yang menjadi nilai lebih dari produk bordir Payakumbuh, selain nilai artistiknya.           

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×