Reporter: Elisabeth Adventa, Jane Aprilyani, Teodosius Domina | Editor: Rizki Caturini
Karya seni wayang kulit merupakan seni kriya nusantara yang dikelompokkan dalam fase tradisional klasik. Seni ini secara teknik dan estetik dilandasi oleh pemikiran falsafah hidup dan adab kehidupan dari pengaruh ajaran agama yang berkembang sejak zaman dahulu. Itu sebabnya, UNESCO menetapkan kerajinan wayang kulit sebagai masterpiece of oral and intangible heritage of humaity di 2013.
Pengakuan dunia terhadap wayang sebagai budaya bangsa warisan dari lelulur membuat pamor kerajinan ini makin dikenal masyarakat internasional. Target pasarnya tidak hanya dari dalam negeri namun juga meluas hingga mancanegara. Beberapa perajin wayang yang menghasilkan produk berkualitas lantas merasakan imbasnya.
Sagio Djajaperwita, perajin wayang kulit asal Dusun Gendeng, Kasihan, Bantul mengatakan, pernah mengirim produk wayang buatannya ke beberapa negara diantaranya, Jepang, China, Hongaria, India, Inggris, Prancis, Belanda, Selandia Baru, Australia, Amerika Serikat dan sebagainya. Dia juga pernah melakukan sejumlah rangkaian workshop cara pembuatan wayang di luar negeri.
Wayang buatan Sagio terkenal berkualitas premium, meski ia juga membuat wayang dengan kualitas di bawah premium. "Harga wayang seukuran Krisna biasanya sekitar Rp 2 juta per unit. Itu pengecatannya sudah dilapisi dengan emas 24 karat. Sedangkan kualitas nomor dua harganya kisaran Rp 1 juta per unit," terangnya.
Perajin wayang lainnya, Ki Kasut Dermo Santoso dari Rumah dan Studio Gagrag Yogyakarta memiliki spesialisasi membuat wayang gaya atau gagrag Yogyakarto yang terdiri dari dua versi, yaitu versi keraton dan versi pedalangan. Ia juga wayang berukuran supermini yang banyak digemari para wisatawan asing untuk buah tangan.“Wayang gagrag Kraton Ngayogyakarto pahatannya sangat halus, sementara gagrag Ngayogyakarta versi pedalangan tidak,” ucap Ki Santoso kepada KONTAN.
Ki Santoso bisa membuat wayang mulai dari proses pemahatan atau natah, pewarnaan dan pembuatan tangkai wayang atau gapit. "Tidak semua perajin wayang bisa melakukan semua proses itu. Ada yang hanya bisa natah saja, sunggih saja," terangnya.
Perajin berkurang
Harga jual mulai dari Rp 700.000 hingga Rp 2 juta per unit. Satu kotak wayang pedalangan ada sekitar 175 buah sementara untuk satu kotak wayang keraton ada 600 buah. Ki Santoso mengaku rata-rata bisa meraup omzet Rp 6 juta hingga Rp 7 juta per bulan. Jika sedang ramai pesanan, omzetnya mencapai Rp 15 juta−Rp 20 juta per bulan.
Soemarno, perajin wayang kulit lainnya asal Solo yang juga memiliki sanggar wayang kulit di Rawamangun, Jakarta Timur, sering mendapatkan pesanan dari individu-individu dan ritel untuk toko cenderamata. Banyak pula orang asing yang tertarik, khususnya dari Jepang, Belanda, Australia dan Selandia Baru.
Wayang buatan Soemarno adalah wayang bergaya Solo dan Yogyakarta. Material dasar yang digunakan adalah kulit binatang, seperti kulit sapi, kulit kerbau dan kulit kambing. Proses pengerjaannya minimal 20 hari untuk wayang kualitas biasa ukuran standar, sedangkan membutuhkan waktu hampir dua bulan untuk wayang kualitas kelas satu atau premium.Proses pembuatan wayang kulit membutuhkan waktu cukup lama serta butuh ketelatenan, keahlian khusus serta pengetahuan.
Harga wayang buatan Marno mulai Rp 150.000–Rp 300.000 untuk ukuran kecil dan Rp 1,5 juta–Rp 3 juta untuk ukuran standar dalang. Sedangkan untuk wayang gunungan, harganya mulai Rp 3 juta hingga Rp 7 juta.
Dalam satu bulan, Marno sanggup mengerjakan 30 buah wayang ukuran kecil dan tiga wayang ukuran standar. Omzet yang ia dapatkan tak tentu, jika sedang banyak pesanan bisa mencapai puluhan juta rupiah. Baru-baru ini Marno mengirim 200 buah wayang ukuran kecil ke Selandia Baru dengan omzet ratusan juta rupiah.
Meski industri kriya wayang kulit masih tetap eksis hingga kini, namun Sagio mengatakan, jumlah perajin wayang yang benar-benar paham seni wayang semakin sedikit. Karena banyak perajin yang beralih profesi untuk mencari pendapatan yang lebih baik.
Hal itu dirasakan setelah Indonesia diterpa beberapa krisis ekonomi. Misalnya saja ketika krisis tahun 1998, hampir dua pertiga perajin wayang di desanya alih profesi selain karena tak ada wisatawan yang datang, harga bahan baku terlampau mahal. "Dari sekitar 150 perajin, saat ini tinggal 40-an saja," kata Sagio.
Ki Santoso, juga mengaku perajin di daerahnya berkurang dari 145 perajin menjadi hanya 40 perajin. Soemarno bilang, peran pemerintah melestarikan seni wayang harus ditingkatkan agar industri ini bergairah.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News