Reporter: Hendra Gunawan, Rizki Caturini, Anastasia Lilin Y | Editor: Tri Adi
Siapa yang tidak kenal martabak. Kudapan yang biasanya menjamur dari sore hingga malam ini memiliki banyak penggemar dari semua lapisan masyarakat.
Kehadiran aneka jajanan lainnya tak pernah menyurutkan penggemar martabak. Bahkan, di mana ada martabak enak, pasti banyak pembeli yang sedang mengantre.
Martabak tak hanya mantap disantap sehari-hari. Makanan ini tetap mempunyai citra sebagai makanan istimewa, seperti sebagai salah satu buah tangan kala berkunjung ke rumah kerabat, teman, atau pun kenalan.
Itu sebabnya, sekalipun sudah bertebaran di mana-mana, potensi usaha ini tetap masih menjanjikan. Hingga kini, masih banyak penjaja martabak baru bermunculan. Mulai dari yang independen hingga yang ikut kemitraan atau waralaba dari merek tertentu.
Bagi yang tidak mau repot membuka usaha baru, cara paling gampang berusaha martabak adalah menjalin kerjasama dengan pemegang lisensi waralaba. Toh, saat ini sudah banyak tawaran waralaba martabak. Pilihan kerja sama dan besaran investasinya juga bervariasi, sehingga calon pemodal bisa memilih sesuai dengan kemampuannya.
Paulus Gunawan, pemilik Martabak House di Semarang, Jawa Tengah, masih optimistis usaha berjualan martabak mempunyai potensi untuk terus berkembang. "Dari dulu sampai sekarang terus berkembang dan hingga sekarang belum terlihat ada kejenuhan. Jadi, saya melihat tren usaha ini tetap akan naik terus," ujarnya.
Meski begitu, Paulus menyarankan bagi para calon pedagang yang baru mau membuka usaha ini agar lebih jeli melihat pasar. Penerapan konsep untuk setiap segmen akan selalu berbeda.
Dia mencontohkan, lokasi usaha di pasar tradisional masih memungkinkan pedagang berjualan memakai gerobak. Jika berdagang di sentra bisnis, dia menyarankan agar pengusaha tampil beda.
Suhanto, pemilik waralaba Martabak Alim, ikut menambahkan pernyataan Paulus. Menurutnya, selain harus memilih lokasi yang bagus, pemilik gerai martabak perlu terus melakukan inovasi dengan meluncurkan produk-produk martabak baru. Tujuannya agar pelanggan tidak bosan dengan rasa dan bentuk martabak yang itu-itu saja.
Meski cerah, Suhanto mengaku memiliki kendala seputar tenaga kerja. Dia kesulitan melatih para pegawainya dalam jajaran manajemen Martabak Alim, baik dalam hal pengelolaan waralaba dan teknis pembuatan waralaba. Saat ini, Suhanto telah mengorganisir 1.300 tenaga kerja di Martabak Alim.
Nah, mari kita tinjau kondisi terkini beberapa waralaba martabak.
Martabak Alim
Pemain martabak yang bisa dibilang cukup ekspansif adalah Martabak Alim. Terakhir kali KONTAN mewawancarai Suhanto pada awal tahun ini. Ketika itu gerainya berjumlah 103 buah. Delapan bulan berselang, gerai Martabak Alim sudah mencapai 181 unit. Dari total gerai yang ada saat ini, mayoritas berada di wilayah Jakarta Selatan, yaitu, sebanyak 30 gerai.
Jumlah gerai Martabak Alim bakal mencapai 200 gerai pada akhir tahun ini. Saat ini, banyak calon terwaralaba yang masuk dalam daftar inden atau tunggu. "Kalau mau bergabung harus pesan dulu dan masuk waiting list minimal 1,5 bulan sebelumnya," kata Suhanto.
Selain jumlah gerai yang membengkak, Suhanto menetapkan penambahan untuk investasi waralaba. Jika dulu hanya Rp 110 juta, maka kini naik menjadi Rp 125 juta. Tak ada royalty fee. Tapi, jika terwaralaba masih ingin melanjutkan kerjasamanya setelah lima tahun, harus membayar franchise fee Rp 15 juta.
Kenaikan nilai investasi ini lantaran ada penambahan pada sisi investasi peralatan untuk martabak mini. Kalau sebelumnya martabaknya dijual dengan harga Rp 4.000, yang bisa terdiri dari empat rasa sekaligus, maka sejak tahun ini ada produk baru, yaitu martabak mini. Harga satu martabak dengan satu rasa yang berukuran kecil ini hanya Rp 1.000.
Suhanto optimistis perkembangan bisnis martabak masih tetap bagus. Saat ini, rata-rata gerai Martabak Alim beromzet Rp 2 juta per hari. Dengan pemasukan sebesar itu, diperkirakan terwaralaba sudah bisa balik modal dalam kurun waktu satu tahun.
Bahkan, omzet tiga gerai milik Suhanto sendiri sudah menembus Rp 5 juta sehari. Omzet ini semakin manis ditambah penjualan bahan baku kepada 178 terwaralabanya. Sayang, Suhanto enggan berbagi soal besaran omzet dari penjualan bahan bakunya.
Martabak House
Meski tidak seperti Martabak Alim, perkembangan Martabak House juga terbilang lumayan. Ketika KONTAN menulis usaha ini di tahun 2008, memang belum ada realisasinya meski sudah banyak yang berminat menjadi mitra.
Paulus mengatakan, ketika itu dia belum menemukan lokasi yang memenuhi kriteria usaha itu. "Kalau sekarang saya sudah memiliki empat mitra," kata dia.
Gerai Martabak House yang baru dibuka pada awal Agustus ini berada di Tebet, Jakarta. Adapun tiga gerai lainnya berdomisili di Yogyakarta dan Semarang, Jawa Tengah.
Paulus mengatakan, lambatnya pertumbuhan gerai Martabak House karena dia menerapkan konsep yang berbeda dengan gerai martabak lainnya. Jika martabak lain menjajakan martabak dengan gerobak, maka Martabak House menggunakan konsep resto. "Kami adalah bisnis martabak yang pertama yang menggunakan konsep restoran," cetus dia.
Meski begitu, Paulus mengatakan, harga produk martabaknya tetap bersaing dengan martabak lainnya. Harga Martabak House masih berkisar Rp 10.000–Rp 20.000.
Dengan konsep restoran, maka pembeli dapat menyantap martabak langsung di lokasi. "Di sini, orang makan martabak di tempat, tidak dibawa pulang," kata Paulus.
Dalam menjajakan Martabak House, Paulus tak hanya menjual konsep yang berbeda dengan martabak lainnya, tapi juga dengan produk martabaknya. Bahkan, baru-baru ini, dia membuat inovasi dengan martabaknya, yaitu, melumuri bagian atas martabak manisnya dengan es krim.
Alhasil, martabak itu seperti panekuk. "Sensasi menyantapnya jadi berbeda. Ada panas dan ada dingin," ujarnya seraya berpromosi.
Menu martabak telor Martabak House masih mengandalkan martabak hot plate. Jadi, cara menyantapnya di atas loyang panas seperti steak.
Martabak Asia
Martabak Asia sudah mulai menawarkan kemitraan sejak tahun 1999 silam. Saat KONTAN mengulasnya di akhir tahun 2007, Martabak Asia memiliki tujuh mitra yang tersebar di Bandung dan Jakarta. Namun, setelah tiga tahun jumlah mitra Martabak Asia tidak mengalami penambahan, justru malah menyusut. Saat ini, mitra Martabak Asia tinggal tersisa lima. Perinciannya, tiga lokasi di Bandung dan sisanya di Jakarta.
Teddy Sutisna, Franchise Manager Martabak Asia, mengatakan, hilangnya dua gerai Martabak Asia disebabkan investornya memiliki kesibukan lain. Kondisi ini mengakibatkan gerai martabak tidak terurus secara benar.
Selain itu, jumlah mitra Martabak Asia tidak berkembang karena sumberdaya manusia yang terbatas di kantor pusat. "Untuk itu kami sementara ini membatasi pengembangan gerai," imbuhnya.
Masalah komitmen calon mitra yang sudah mengajukan aplikasi pembukaan gerai, lanjut Teddy, juga kerap menjadi ganjalan. Belum lagi kesulitan mencari lokasi usaha atau ketidaksiapan manajemen menjadi alasan umum dari para calon mitra.
Meskipun perkembangan jumlah mitra sedikit tersendat, manajemen pusat Martabak Asia terus melakukan pengembangan produk. Salah satunya adalah dengan penambahan varian rasa martabak. Teddy bilang, hingga kini ada sekitar 10 penambahan varian baru. "Salah satunya rasa almond," ujarnya.
Mereka juga menggelar berbagai kegiatan promosi untuk mendongkrak pertumbuhan gerai ke depan. Contohnya, manajemen menurunkan biaya investasi awal dan membaginya dengan beberapa paket. Sehingga mempermudah investor yang berminat menjadi mitra Martabak Asia.
Paket kemitraan yang ditawarkan membutuhkan investasi awal Rp 77 juta, Rp 88 juta, dan Rp 99 juta. Biaya investasi tergantung dari fasilitas ukuran loyang martabak yang akan digunakan mitra. Sebelumnya, Martabak Asia mematok biaya investasi awal sebesar Rp 125 juta.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News