Sumber: | Editor: Dikky Setiawan
Sentra kerajinan batik di Giriloyo, Imogiri merupakan sentra kerajinan batik tulis tertua di Bantul. Sentra ini sudah ada sejak jaman pemerintahan Sultan Agung memerintah kerajaan Mataram. Mayoritas perempuan di daerah ini pembatik dari generasi ke generasi. Saat ini jumlah perempuan yang jadi pembatik di bantul sekitar 1.200 orang
Daerah Giriloyo merupakan daerah yang keramat bagi sebagian warga Yogyakarta. Pasalnya, daerah ini merupakan areal makam para raja-raja Mataram, Keraton Yogyakarta, serta makam para seniman agung. Dari Yogyakarta, daerah ini terletak sekitar 20 kilometer (km) ke arah selatan. Imogiri, terutama wilayah Giriloyo merupakan sentra kerajinan batik tulis yang umurnya sudah cukup tua.
Daerah Giriloyo berjarak sekitar 1-2 kilometer dari areal makam raja. Untuk mencapainya, dari makam raja ambil jalan ke arah kiri melewati makam seniman. Daerahnya berbukit-bukit dengan jalan sempit serta turunan dan tanjakan yang tajam. Di kiri kanan jalan banyak hutan dan jalanan aspal sudah lumayan mulus. Jika pengunjung datang memakai mobil memang agak susah masuk sampai kampung bagian dalam.
Giriloyo masuk ke dalam wilayah Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri. Desa ini terdiri atas 16 dusun, 95 rukun tetangga dan 5.600 kepala keluarga atau sekitar 16.000 jiwa. Dari 16 dusun yang ada, hanya enam dusun yang sentra batiknya hidup. Antara lain, Dusun Cengkehan, Giriloyo, Karangkulon, Kedung Buweng, serta Nogosari I dan Nogosari II. Dari enam dusun tersebut, Dusun Cengkehan, Giriloyo dan Karangkulon paling banyak jumlah pembatiknya.
Ketiga dusun ini adalah eks kelurahan Giriloyo. Sehingga hasil batiknya pun dinamakan batik giriloyo. Batik giriloyo terkenal sebagai batikan tangan motif keraton yang halus, dengan ciri khas warna soga (cokelat).
Menurut sejarah, sentra ini sudah berdiri sejak jaman pemerintahan Sultan Agung dari kerajaan Mataram, atau sekitar tahun 1654. Pada tahun tersebut, Sultan Agung memerintahkan daerah perbukitan Imogiri menjadi areal makam para raja.
Sehingga, para abdi dalem kraton pun harus ada yang menjaga daerah tersebut. Selain menjaga makam, para abdi dalem tersebut juga membatik untuk keperluan kraton.
Sampai saat ini, generasi penerus para abdi dalem kraton ini terus membatik untuk melestarikan budaya. Dulu, mereka memasarkan hasil batikannya ke Keraton Yogyakarta dalam bentuk hasil batikan mentah yang belum diberi warna.
Namun uniknya, kebanyakan pembatik adalah para wanita. Tak heran, sebagian besar para perempuan di daerah Giriloyo mempunyai pekerjaan sampingan membatik, selain bekerja di ladang atau mengurus rumah tangga.
Sementara para suami mereka, selain mempunyai pekerjaan lain, juga menjadi pemasar hasil batikan istri mereka. Bahkan beberapa diantaranya mendirikan sanggar khusus untuk menjual batik tulisnya. "Saat ini, jumlah pembatik di Giriloyo sekitar 1.200 orang. Hampir semuanya wanita," ujar Agus Basuki Tafip, pengelola Paguyuban Batik Giriloyo.
Namun, ada juga pembatik pria. Salah satunya Nur Ahmadi, pemilik showroom Sekar Arum. "Saya termasuk pembatik generasi muda di Giriloyo," tutur pemenang lomba Wirausaha Muda Mandiri dari Kementrian Pemuda dan Olahraga tahun 2009 lalu ini.
Menggeliat pasca gempa Bantul
Sentra batik Giriloyo di Kecamatan Imogiri, Bantul, mulai bangkit tahun 2004. Sayang, tahun 2006, sentra ini hancur akibat gempa. Setahun setelah gempa, perajin batik di wilayah ini mencoba bangkit kembali. Mereka menandai kebangkitan batik giriloyo dengan membuat selendang sepanjang 1.200 meter.
Sampai tahun 2004, para perajin batik di Giriloyo masih menyetorkan kain batik mentahan ke Yogyakarta. Pasalnya, belum ada perajin yang bisa mewarnai batiknya sendiri. Karena itu, harga jual batik mentahan sangat kecil. Para perajin ini pun kerap kena tipu juragan batik di Yogyakarta. "Sering lakunya banyak tapi dibayar sedikit," kata Nur Ahmadi, pemilik showroom batik tulis Sekar Arum di Giriloyo.
Geram dengan perlakuan tersebut, para pemuda di wilayah Giriloyo pun bangkit. "Kami memutuskan untuk mandiri," kata Agus Tafip, salah satu pengelola Paguyuban Batik Tulis Giriloyo.
Dipelopori Agus Tafip dan rekan-rekannya, pada 2004 para pemuda Giriloyo pun mempelajari pewarnaan batik di bawah bimbingan Balai Besar Kerajinan dan Batik di Yogyakarta dan beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang peduli kelestarian batik. Setahun kemudian, sudah ada dua kelompok perajin batik di seputar Kelurahan Giriloyo yang mandiri.
Sayang, tahun 2006 gempa besar menghancurkan wilayah ini. Tiap perajin merugi sampai puluhan juta rupiah akibat rumah ambruk dan hilangnya peralatan batik. Beruntung, para perajin mendapat bantuan kain dan peralatan dari Pemerintah Daerah bantul dan beberapa LSM. Mereka bisa melanjutkan membatik walau aktivitas ini terpaksa berlangsung di emperan rumah mereka.
Setahun kemudian, tepatnya 27 Mei 2007, para perajin batik di Giriloyo resmi menandai kebangkitan kembali sentra batik tulis Giriloyo. Mereka bahu membahu memproduksi selendang batik sepanjang 1.200 meter dengan lebar 30 centimeter (cm). "Acara ini masuk ke Museum Rekor Indonesia atau MURI," tutur Nur Ahmadi, bangga.
Dukungan dari Pemerintah Daerah juga mengalir dalam bentuk perbaikan sarana transportasi jalan. Aspal pun masuk wilayah ini sejak tahun 2007-2008. Pada tahun yang sama, LSM membantu membuatkan Gazebo, sebuah areal mirip lapangan sebagai tempat pameran dan pelatihan membatik di Giriloyo.
Setelah gempa, jumlah kelompok perajin di Giriloyo bertambah menjadi lima kelompok. Satu kelompok terdiri atas 30-50 perajin. Praktis, di tahun 2007-2008, perajin batik Giriloyo memusatkan usahanya pada pewarnaan semata. Mereka belum fokus pada pemasaran produk. Baru tahun 2009, ketika batik diakui UNESCO sebagai warisan budaya dunia, perajin batik di Giriloyo mulai menggiatkan pemasarannya.
Daerah Giriloyo pun jadi desa wisata andalan Bantul. Maklum, "Saat ini jumlah kelompok perajin di eks-kelurahan Giriloyo sudah menjadi 12 kelompok," ujar Agus Tafip. Agus dan istrinya mengelola kelompok beranggotakan sekitar 100 perajin. Setiap anggota kelompok ini bisa memproduksi tiga lembar batik dalam sebulan.
Adapun Nur Ahmadi bergabung dengan Kelompok Sekar Arum yang memiliki 36 perajin sebagai anggota. Dalam sebulan Kelompok Sekar Arum Nur Ahmadi mampu memproduksi sekitar 120 lembar kain batik. Harga batik di Giriloyo bervariasi, tergantung kerumitan motifnya. Yakni, mulai Rp 150.000 sampai jutaan rupiah per lembar.
Menggaet agen travel
Sebagai desa wisata, sentra batik Giriloyo mengandalkan pemasaran produknya dari para wisatawan yang datang ke daerah ini. Mereka menggandeng para agen travel wisata yang mempunyai paket wisata ke makam raja di Imogiri agar mampir ke Giriloyo. Musim liburan pun jadi masa panen para perajin batik di Giriloyo.
Ketika kerajinan batik mulai diakui dunia, sentra kerajinan batik di berbagai daerah di Indonesia pun turut menuai berkah. Tak terkecuali para perajin di sentra batik tulis Giriloyo, di Kecamatan Imogiri, Bantul. Di daerah yang terletak sekitar 1 kilometer dari makam para raja keraton Jawa ini, kini hampir setiap hari kedatangan rombongan tamu dari berbagai daerah, juga dari beberapa negara.
Hal ini tak lepas dari usaha para perajin batik di Giriloyo melobi para agen travel wisata. "Kami melakukan sebar brosur ke para agen. Sekali kunjungan harganya Rp 50.000 per orang," kata Nur Ahmadi, salah satu anggota kelompok batik Sekar Arum.
Selain belajar proses pembuatan batik di gazebo, para turis diajak berkeliling desa untuk berbelanja produk batik tulis khas Giriloyo. Jumlah wisatawan ini akan membeludak saat liburan tiba. "Di saat itu, kami panen," tutur Nur. Harga jual batik tulis di sentra ini bergantung pada rumit tidaknya motif batik. Seperti yang kita tahu, batik Giriloyo terkenal dengan ribuan motif batik klasik ala keraton. Dari ribuan motif tersebut, hanya sekitar 400 motif yang sering dipakai.
Beberapa yang terkenal di antaranya motif sidomukti, sidoasih, wahyu tumurun, truntung, pringgodani, keong renteng, dan sebagainya. "Kami sedang mencari motif unggulan sebagai ikon batik Giriloyo, seperti motif mega mendung di Cirebon," kata Nur.
Untuk motif klasik ini, harga jualnya mulai dari Rp 300.000 sampai jutaan rupiah per lembar kain. Sementara, untuk motif minimalis, atau bentuk minimalis dari motif klasik, harga jualnya mulai Rp 150.000 per lembar kain. "Dari harga tersebut, para perajin bisa untung antara Rp 50.000-Rp 100.000 per lembar kain," imbuh Agus Tafip, pemilik sanggar Agus Batik. Sementara, showroom yang menjualkan produk tersebut kecipratan untung 5% dari harga jual.
Berkah lain dari pengakuan dunia atas batik adalah meningkatnya omzet showroom-showroom di Giriloyo. Ambil contoh, showroom Sekar Arum. Omzet gerai ini naik dari sekitar Rp 10 juta menjadi Rp 15 juta sebulan. Belum lagi jika datang pesanan dari luar daerah. "Kemarin ada pesanan dari Jakarta senilai Rp 12 juta," tutur Nur.
Hal senada juga diungkapkan Sudarto, pemilik sanggar Sri Kuncoro. Penjualan batik di sanggar ini juga naik dari Rp 10 juta menjadi Rp 15 juta sebulan. Pesanan batik ke sanggar Sudarto juga meningkat pesat. Misal, pesanan dari Bali, yang kemudian dijual ke Jepang. Sekali dua bulan, pembeli dari Bali memesan 50 lembar kain. Belum pesanan dari Jakarta dan Surabaya yang jika ditotal berjumlah sekitar 25 lembar kain per bulan.
Walaupun secara nasional batik Giriloyo sudah menancapkan eksistensinya, pemasaran ke luar negeri masih terkendala. "Kami baru mengandalkan website batiktuliswukirsari.com, serta promosi penggunaan pewarna alam," ujar Nur. Sementara, Sudarto sendiri mengaku takut dengan meluasnya penggunaan tekstil bermotif batik ataupun batik cap. "Bagi yang tidak tahu proses membatik seperti apa, batik tulis bakal dianggap terlalu mahal," keluhnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News