kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.888.000   0   0,00%
  • USD/IDR 16.340   30,00   0,18%
  • IDX 7.176   -23,15   -0,32%
  • KOMPAS100 1.044   -7,03   -0,67%
  • LQ45 815   -3,41   -0,42%
  • ISSI 226   -0,18   -0,08%
  • IDX30 426   -2,13   -0,50%
  • IDXHIDIV20 508   0,07   0,01%
  • IDX80 118   -0,55   -0,47%
  • IDXV30 121   0,13   0,11%
  • IDXQ30 139   -0,23   -0,17%

Wayan Widyantara: Penenun tua tulang punggung produksi (2)


Jumat, 11 November 2011 / 15:03 WIB
Wayan Widyantara: Penenun tua tulang punggung produksi (2)
ILUSTRASI. Keberadaan Pantai Greweng memang belum banyak diketahui oleh para pencinta pantai karena letaknya tersembunyi. Dok: Instagram Pantai Greweng 


Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Tri Adi

Untuk memproduksi kain tenun, Wayan Widyantara, pemilik merek kain tenun Sri Widhi memberdayakan warga Klungkung, Bali. Namun karena jumlah penenun saat ini sudah terbatas, Wayan terpaksa mencari penenun pemula yang ia latih sendiri. Saat ini, 30% dari 70 penenun yang bekerja kepadanya adalah penenun muda.

Pertama kali memproduksi dan memasarkan kain tenun khas Bali secara komersial, Wayan Widyantara dibantu oleh enam penenun yang merupakan ibu rumah tangga di Kabupaten Klungkung, Bali. Pemilik merek kain tenun Sri Widhi itu sengaja merekrut para ibu itu karena mereka sudah ahli menenun.

Bersama enam penenun itulah Wayan memulai usaha kain tenun pada 2000 lalu. Ia memanfaatkan tujuh unit alat tenun warisan keluarganya yang kini sudah berkembang berkembang menjadi 70 unit alat tenun plus 70 penenun.

Hampir 70% dari para penenun adalah ibu-ibu yang sudah berusia lanjut. Sisanya, baru anak-anak muda yang sebenarnya masih dalam taraf belajar menenun.

Usaha tenun ini sebenarnya tak terlalu berat dari sisi permodalan. Lihat saja, setidaknya Wayan tak perlu menyediakan ruang besar untuk para penenun bekerja. Sudah menjadi kebiasaan di Klungkung, penenun bisa membawa pekerjaan menenun itu lengkap dengan alat tenunnya.

Bagi Wayan, selain menjadi sumber ekonomi, melalui usaha menenun inilah ia mengabdi pada desanya. Termasuk ketika ia merekrut para ibu-ibu yang masih tetangga sendiri untuk bekerja padanya. "Ini untuk membantu ekonomi warga juga," ujar Wayan.

Wayan pun melibatkan anak muda dalam usaha ini dengan menjadikan mereka penenun. Hitung-hitung, selain mengurangi jumlah pengangguran di desanya, Wayan juga ingin melestarikan tradisi menenun ini. "Sekarang jarang sekali generasi muda mau menenun," terang Wayan.

Memang, banyak pengusaha tenun di Bali belakangan ini mengeluhkan minimnya tenaga penenun untuk mengembangkan usaha mereka.

Nah, Wayan tidak mau usahanya terhambat lantaran kesulitan mencari tenaga kerja. Untuk itulah, sejak beberapa tahun belakangan ini, Wayan rajin memberikan pelatihan gratis menenun untuk anak-anak muda di desanya. "Tujuan saya agar ada regenerasi," terang Wayan.

Hasilnya sekarang sudah kelihatan. Beberapa peserta pelatihan itu kini sudah bekerja padanya. Wayan berharap mereka mau menenun sampai tua agar tradisi menenun di Klungkung tetap lestari.

Dalam memberikan pelatihan, Wayan sengaja menyewa para penenun senior yang sudah ahli untuk menjadi pelatih atau trainer. Mereka pun mendapatkan honor yang sepadan dengan ilmu yang dibagikan. "Pelatih itu kami beri honor antara Rp 40.000 hingga Rp 50.000 per hari," terang Wayan.

Dalam pelatihan itu, ada beberapa teknik menenun yang diajarkan. Mulai proses pemintalan benang, pengoperasian alat tenun bukan mesin, pengenalan bentuk pola, hingga belajar menyisipkan benang perak, benang emas, benang tembaga, atau benang berwarna lainnya.

Untuk belajar menenun setidaknya butuh waktu minimal tiga bulan. Nah, kalau sudah dinyatakan lulus, penenun muda ini baru bisa membuat satu atau dua lembar kain tenun jenis ikat per hari. Berbeda dengan penenun senior yang bisa memproduksi empat lembar kain tenun ikat.

Kini, meski sudah mempunyai penenun relatif banyak, Wayan mengaku tetap belum bisa memenuhi seluruh pesanan kain tenun. Namun, agar pelanggan tak kecewa, Wayan berusaha memenuhi pesanan itu dengan meminta penenun lain untuk membuatkan kain tenun pesanan itu.

Tentu agar mutu tenunan sama dengan buatan Wayan, dia menetapkan standar produksi yang ketat. "Saya punya jaringan penenun, terutama yang berada di kawasan Nusa Penida," terang Wayan.

Meski permintaan terus bertambah, Wayan sendiri tetap kukuh pada usaha tenun tradisional. Menurut dia, mutu tenun tradisional lebih bagus dibanding mutu tenun mesin. Memang penggunaan mesin bisa melipatgandakan produksi.

Wayan memberi contoh, pengerjaan selembar kain tenun jenis songket bisa selesai dalam satu hari dengan mesin tenun. Tapi jika dikerjakan dengan alat tenun tradisional maka akan membutuhkan waktu tiga pekan. "Tapi kerjaan tangan atau hand made lebih menjamin kualitas, apalagi soal keindahan motif," terang Wayan.

(Bersambung)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Banking Your Bank

[X]
×